Jumat, 26 Desember 2008

Optimistis Perlu Disertai Realistis


Sudah banyak yang memahami dampak krisis keuangan global yang diawali pada Agustus 2008 di Amerika mengakibatkan melemahnya perekonomian banyak negara di dunia. Banyak kalangan memprediksi krisis ini di Indonesia akan mulai terasa pada tahun depan. Mungkin berlanjut sampai 2010.

Menurunnya permintaan barang di negara Amerika dan Jepang sebagai negara tujuan utama ekspor Indonesia mengakibatkan melemahnya sektor ekspor ini dan mengakibatkan ancaman pemutusan kerja di mana-mana. Kadin Jatim memperkirakan, akan ada sebelas ribu pekerja di Jatim akan terkena PHK pada tahun depan. Secara nasional juga diberitakan akan ada seratus ribu bahkan satu juta orang terkena dampak melemahnya perekonomian global tersebut.

Negara-negara yang besaran ekonominya signifikan seperti Jepang, negara-negara Eropa, India, dan Tiongkok merasakan betul akibat krisis keuangan global ini. Tiongkok, misalnya. Tingkat pertumbuhan ekonomi negara dengan jumlah devisa negara pada akhir September 2008 lalu sebesar USD 1,9 trilliun itu harus dikoreksi. Yakni, dari 11,9 persen (2007) dan 9,4 persen (2008) diprediksi akan turun menjadi 7,5 persen pada tahun depan. Ini sebuah penurunan yang lumayan besar meskipun angka pertumbuhannya masih cukup tinggi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun akan terkoreksi dari 6,1 persen (2008) diprediksi turun cukup tajam pada 2009, yakni sekitar 4,5-4,9 persen. Ini berarti perekonomian Indonesia akan melemah tajam dan berdampak besar di semua sektor. Hantu lay off atau pemutusan kerja di mana-mana akan bermunculan.

Namun, tidak semua pesimistis. Ada yang mengatakan bahwa kondisi Indonesia pada krisis kali ini berbeda dengan krisis ekonomi 1997/1998. Negara ini sudah punya pengalaman. Toh, kerugian perbankan nasional lebih sedikit dibandingkan perbankan di Asia. Bank Indonesia (BI) pun berusaha meredamnya dengan berbagai kebijakan: menurunkan BI rate ke 9,25 persen, pengaturan transaksi valas, meningkatkan penjaminan menjadi Rp 2 miliar, dan sebagainya. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia dapat mengambil manfaat dari krisis ini dengan cara mengalihkan pasar ekspor kita ke pasar domestik yang besar. Pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus perekonomian misalkan akan mengucurkan dana Rp 100 triliun untuk belanja infrastruktur dalam rangka meredam ancaman PHK dan menurunkan harga BBM. Alhasil, kita diharapkan tidak terlalu risau pada 2009.

Tapi Harus Realistis

Terdapat pasar baru untuk ekspor memang ideal. Masalahnya, mencari pasar baru itu bukan seperti membalik tangan seketika -ujuk-ujuk besok ada pembeli baru dari pasar baru. Menemukan pasar baru tersebut harus dilakukan secara integral, harus ada lobi-lobi dan kajian yang mendalam tentang kondisi pasar. Perlu diingat, pasar-pasar baru yang potensial seperti negara di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin sudah memiliki long term trade partners terlebih dahulu sebelum kita. Negara-negara kompetitor tentu juga sudah sama-sama melakukan pencarian pasar baru.

Tiongkok, misalnya, mulai mengalihkan produk-produknya ke negara-negara lain seperti Indonesia dengan membanjirinya dengan produk-produk murahnya. Belum lagi yang masuknya secara ilegal. Pasar domestik? Pasar dalam negeri itu sangat besar. Dengan jumlah penduduk besar, idealnya produk-produk sendiri akan mampu diserap oleh konsumen domestik. Dulu (1950-60-an), sebelum menguasai pasar mobil luar negeri, Jepang memfokuskan penjualan mobilnya ke pasar dalam negerinya. Baru pada 1970-an ke atas, Jepang melakukan penetrasi ke pasar global.

Pada tahun-tahun mendatang, negara-negara yang lebih efesienlah yang akan memenangi pertarungan. Negara-negara ASEAN, misalnya, dengan adanya AFTA, mereka berlomba-lomba untuk menjadi efesien karena ada kesepakatan penurunan tarif impor secara gradual dari 20 persen sampai 0 persen. Bayangkan, jika tarif impor 0 persen, produk-produk negara-negara jiran itu akan menjadi murah dan tidak dapat ditolak bila membanjiri pasar domestik kita yang besar. Apabila produk-produk kita dibuat dengan tidak efesien -misalkan karena high cost economy, niscaya produk kita akan kedodoran menghadapi pesaing.

Persoalan Daya Serap Anggaran

Pemerintah memang all-out menghadapi 2009 menggelontorkan dana Rp 100 triliun untuk pembangunan infastruktur, Rp 72 triliun untuk keperluan belanja modal departemen-departmen, dan Rp 24 trilliun untuk ditransfer ke daerah-daerah lewat APBD. Memang, dapat dibayangkan dana sebesar itu akan memiliki multiplier effect atau efek ganda yang besar! Mulai bangkitnya supplier barang-barang modal sampai ribuan orang yang akan jadi tenaga kerja pembangunan infrastruktur itu. Jadi, insya Allah, 2009 bisa kita hadapi sambil tersenyum.

Namun, seperti mencari pasar baru untuk ekpor kita, anggaran pemerintah yang besar itu tidak serta merta dapat dicairkan seperti membalik telapak tangan. Dana pemerintah yang masuk APBD, misalnya, akan menghadapi kendala bisa tidaknya cepat cair. Salah satu hambatan besar ialah soal penganggaran di APBD. Proses anggaran itu melibatkan tari menarik "kepentingan". Pembahasan di DPRD menelan waktu cukup lama.

Alhasil, sering program pembangunan yang dibiayai APBD baru di "gedok" (disetujui) pada Agustus-September, bahkan mendekati akhir tahun. Tidak heran, publik sering menanyakan kenapa pihak eksekutif itu menambal jalan aspal yang berlubang pada musim hujan, bukan pada musim kemarau? Ya, itu disebabkan dana dari APBD baru disetujui pada musim hujan!

Apalagi, 2009 adalah tahun pemilu. Karena itu, perlu ada komitmen yang tinggi bahwa dana sebesar itu tidak terhambat karena alasan politik atau menjadi bulan-bulanan permainan politik jangka pendek. Jadi, untuk menghadapi 2009, harus ada kesadaran komunal yang tinggi dari semua pihak bahwa upaya menghadapi resesi global tahun depan, terutama dalam upaya menghindari pemutusan kerja, pengangguran, dan kemiskinan, adalah agenda nasional bersama.

*. A. Cholis Hamzah, alumnus Fakultas Ekonomi Unair dan Imperial College London. Wakil ketua I IKA Unair Fakultas Ekonomi dan staf pengajar di Perbanas Surabaya.

Tidak ada komentar: