Senin, 22 Desember 2008

Empat Dosa Keuangan Global


Oleh Iman Sugema

Krisis finansial global kini semakin nyata dan telah menimbulkan korban. Lima negara berkembang telah meminta pertolongan IMF dan ekonomi dunia telah memasuki resesi yang diperkirakan paling parah sejak Perang Dunia Kedua. Sebagai catatan akhir tahun, tentu ada baiknya melakukan kilas balik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Ini penting, bukan hanya sebagai arena pembelajaran, tetapi juga untuk memprakirakan apa yang terjadi selanjutnya. Untuk itu, identifikasi mengenai sumber-sumber penyebab krisis menjadi penting.

Harap diingat bahwa krisis kali ini sangatlah berbeda dibanding krisis-krisis sebelumnya. Setidaknya, dunia saat ini menghadapi tiga jenis krisis, yakni krisis di sektor properti yang pada umumnya melanda negara-negara maju dan krisis finansial serta krisis pasar komoditas yang melanda seluruh negara tanpa ada satu pun yang terlewatkan. Ini merupakan jenis krisis yang tidak pernah dialami umat manusia sebelumnya dan mungkin merupakan krisis yang paling besar.

Lantas, apa yang salah? Dari berbagai literatur, kita bisa mengidentifikasi empat penyebab krisis. Kalangan ekonom secara populer menyebutnya sebagai four deadly sins atau empat dosa yang mematikan.

Pertama, kita lupa bahwa untuk menjaga kesinambungan, dibutuhkan sebuah keteraturan yang sangat tertata rapi. Contohnya adalah keteraturan dalam pergerakan jagat raya yang merupakan sunatullah yang menjamin bintang dan planet tidak saling bertubrukan sampai akhir zaman nanti. Dalam pasar finansial global, bentuk keteraturan seperti ini hampir tidak ada. Modal sepenuhnya digerakkan oleh motif mencari untung sebesar-besarnya tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kesinambungan jangka panjang.

Pasar finansial global mungkin satu-satunya pasar yang tidak tersentuh oleh regulasi. Di setiap negara, memang ada regulator yang mengatur pasar dalam negeri. Tetapi, dengan integrasi pasar yang semakin dalam, modal bebas bergerak selama 24 jam sehari dari satu pasar ke pasar lainnya. Liberalisasi telah menyebabkan otoritas keuangan di masing-masing negara telah kehilangan kemampuan dalam mengendalikan para investor besar, terutama hedge fund.

Salah satu contohnya adalah perkembangan pasar derivatif keuangan yang tidak tersentuh oleh regulasi, khususnya yang menyangkut collateralized debt obligation (CDO). Penerbitan CDO merupakan rekayasa keuangan yang dibuat oleh manajer investasi yang telah memungkinkan mereka menyembunyikan risiko yang timbul dari aset-aset yang berkualitas jelek. Akibatnya, aset yang jelek sekalipun--seperti subprime mortgage--menjadi begitu mudah diperjualbelikan karena telah dicampur dengan aset yang berkualitas baik. Harga aset berkualitas jelek menjadi terdongkrak dengan exposure risiko yang semakin besar. Aset berkualitas jelek ini kemudian dibiarkan menggunung dan diserap oleh pasar.

Hasil akhirnya bisa ditebak. Ketika krisis subprime mortgage mulai merebak, harga-harga aset yang berkaitan dengannya ikut jatuh karena portofolionya terkontaminasi. Dalam pasar yang sehat dan tertata baik, seharusnya jenis aset yang jelek disisihkan dari neraca dan tidak diperdagangkan. Bukankah kita dilarang untuk mengurangi timbangan, mencampur yang haram dengan yang halal, dan mencampur barang dagangan yang berkualitas jelek dengan yang berkualitas baik?

Kedua, dalam sistem keuangan modern, telah dimungkinkan untuk mentransfer risiko kepada pihak lain melalui sekuritisasi bank sebagai originator pemberi kredit perumahan yang bisa menjual kreditnya kepada pihak lain melalui pasar modal. Dengan cara ini, bank tidak lagi bertanggung jawab atas risiko gagal bayar yang terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, bank tidak harus peduli dengan kemampubayaran para nasabahnya. Bank mejadi terdorong untuk menerbitkan kredit secara tidak hati-hati karena risiko akan ditanggung oleh pihak lain. Itulah yang disebut dengan moral hazard dalam arti yang sebenarnya. Ini jelas menyalahi kaidah dasar transaksi yang adil.

Ketiga dan mungkin yang paling penting adalah kenyataan bahwa pemerintahan Presiden Bush mendefinisikan American dream sebagai sebuah mimpi yang sangat materialistik. Majalah Newsweek mengulas khusus mengenai dosa Bush ini. Mimpi Amerika didefinisikan sebagai sebuah keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri dengan satu atau dua anak serta memiliki rumah yang luas dengan rumput hijau di halaman depan dan belakangnya plus satu atau dua buah mobil. Untuk mewujudkan impian ini, dibuatlah berbagai kemudahan dalam kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor. Bahkan, ada skema khusus untuk kredit tanpa down payment.

Rumah tangga didorong untuk berutang kepada bank agar dapat mengejar mimpi tersebut. Hasil akhirnya adalah rata-rata utang per rumah tangga di Amerika mencapai 118 ribu dolar. Di lain pihak, rata-rata tabungan per keluarga hanya 380 dolar saja. Rakyat Amerika merupakan masyarakat yang gemar berutang atau lebih besar pasak daripada tiang. Lantas, dari mana utang tersebut dibiayai. Tentunya, dengan cara gali lubang tutup lubang. Cara ini sangat dimungkinkan mengingat kepemilikan kartu kredit per keluarga mencapai 12 buah. Menarik uang dari satu kartu kredit untuk membayar kewajiban kredit yang lainnya.

Keempat, liberalisasi keuangan yang ugal-ugalan dengan agenda untuk menyedot sumber daya keuangan negara berkembang ke negara maju. Melalui liberalisasi, pergerakan modal antarnegara menjadi sangat volatile. Di samping itu, hampir setiap negara didorong untuk mengadopsi rezim nilai tukar mengambang. Dalam rezim ini, nilai tukar sangat ditentukan oleh pergerakan modal. Untuk menghindari fluktuasi yang tajam dalam nilai tukar, negara kecil dan negara berkembang harus memupuk cadangan devisa.

Pada umumnya, cadangan devisa berbentuk mata uang asing dan surat berharga asing yang diterbitkan oleh negara-negara maju. Jadi, dengan memupuk cadangan devisa sebetulnya kita telah memberi pinjaman kepada negara maju, khususnya Amerika. Dengan kata lain, sumber daya keuangan negara berkembang tersedot oleh negara maju untuk membiayai konsumsi mereka. Perlu diketahui bahwa total utang Pemerintah Amerika saja mencapai 12 triliun dolar yang berarti bahwa negara tersebut merupakan pengutang terbesar di dunia.

Sebagai penutup, dunia memang tidak adil. Kita yang membiayai pola konsumerisme negara maju dan kita pun harus terkena imbasnya. Diperlukan sebuah arsitektur keuangan global baru supaya negara berkembang diperlakukan secara adil. Harus ada jalan baru.

(-)

Tidak ada komentar: