Senin, 15 Desember 2008

Nasionalisme Ekonomi


Yonky Karman

Euforia seabad Kebangkitan Nasional tersedak saat Indonesia (juga) terimbas krisis finansial global. Kini ekonomi nasional menjadi perbincangan sehari-hari.

Pemerintah China, juga negara lain, memperkuat daya tahan perusahaan nasional dengan stimulus ekonomi. Indonesia tidak memiliki pilihan lain untuk terhindar dari deindustrialisasi dan gelombang pemutusan hubungan kerja secara massal.

Krisis hubungan antara buruh dan pengusaha yang dipicu peraturan bersama empat menteri adalah potret buram kebijakan politik jalan pintas dalam konteks hubungan industrial segi tiga industri-buruh-pemerintah.

Bukannya pemerintah mengevaluasi praktik pungutan resmi dan liar yang selama ini membebani industri, malah pengusaha dibiarkan berhadapan langsung dengan buruh. Kesinambungan usaha membutuhkan insentif dan keringanan pajak.

Ekonomi sebagai panglima

Birokrasi kita lebih sibuk melakukan pungutan resmi maupun liar daripada memfasilitasi kegiatan industri. Salah satu faktor kemajuan China adalah semua komponen bangsa, dari birokrat hingga rakyat, memiliki kesamaan bahasa. Apa yang baik bagi kemajuan ekonomi, baik bagi negara. Investor disambut dengan karpet merah.

Ketiadaan bahasa ekonomi itulah problem utama Indonesia pascareformasi. Pemerintah hanya menindak secara kasuistik penegak hukum dan aparat pemerintah yang terlibat dalam ”uang jago”. Seharusnya itu menjadi titik awal pembersihan internal. Citra buruk aparat penegak hukum adalah menikmati pemasukan tambahan dari membiarkan praktik ilegal dan pelanggaran hukum.

Saat bertemu di Ruang Oval, Presiden George W Bush bertanya kepada Presiden Hu Jintao apakah di China akan ada demokrasi. Dengan nada diplomatis, Presiden RRC berkata, ”Saya tak mengerti demokrasi yang Anda maksud... jika China tidak memiliki demokrasi, bagaimana terjadi modernisasi.”

Bangsa Indonesia sedang mabuk demokrasi yang hanya menyejahterakan elite politik. Kekuasaan menjadi ajang rebutan untuk memperkaya diri. Lebih besar hasrat berkuasa daripada hasrat mengabdi kepada negeri. Padahal, negeri jiran menjadi maju karena prioritas pembangunan ekonomi dengan demokrasi secukupnya.

Indonesia sebenarnya memiliki modal sosial untuk bangkit. Lamanya pengalaman penindasan dan eksploitasi ekonomi membangun kesadaran baru untuk menjadi warga bangsa yang egaliter dan sejahtera. Sayang, penguasa lalai mewujudkan cita-cita sosial kemerdekaan. Kepentingan ekonomi strategis disandera kepentingan korporatokrasi. Ramah investasi identik dengan menggadaikan kekayaan alam atau obral kebijakan. Dan, Indonesia terjajah secara ekonomi.

Nasionalisme pun mengalami involusi. Cara bangkit dari kemiskinan memanfaatkan nasionalisme sempit (kedaerahan, keagamaan) dengan mengorbankan kekompakan bangsa. Satu sama lain saling curiga. Praktik demokrasi berlangsung liar dan anarki. Francis Fukuyama dalam Trust menegaskan, rasa saling percaya adalah modal sosial prasyarat bangsa sejahtera (Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran, 2002).

Kedaulatan ekonomi

Tahun ini kita melihat kebangkitan industri perfilman nasional. Laskar Pelangi tidak hanya memecah rekor penonton terbanyak, yang membesarkan hati adalah banyak orang Indonesia bermimpi sama tentang kebangkitan Indonesia. ”Mimpi adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia,” kata Nidji.

Dua negara berkembang di Asia diprediksi akan menguasai perekonomian global. Yang satu menaklukkan dunia dengan peranti lunak dan yang lain dengan peranti keras. Indonesia juga harus punya mimpi untuk menaklukkan dunia.

Dengan susah payah, pengusaha kita menembus pasar dunia. Namun, pemerintah membiarkan pasar dalam negeri dikuasai produk impor. Padahal, tak ada bangsa konsumtif yang menguasai dunia. Pasar dalam negeri menjadi kian penting artinya di tengah kian sempitnya pasar ekspor. Saatnya menjadikan produk lokal sebagai tuan di negeri sendiri. Permudah proses pematenan produk dan kreativitas lokal.

India berhasil menjadikan gerakan cinta produk dalam negeri sebagai bagian perjuangan untuk menjadi bangsa mandiri. Mereka mulai dengan menghargai produk sendiri meski kualitasnya tak sebaik produk impor. Setelah daya beli masyarakat membaik, mereka menghasilkan produk yang kualitas dan kemasannya lebih baik. Impor sebatas yang dibutuhkan, bukan untuk memuaskan konsumtivisme. Birokrasinya mampu memberi teladan.

Nasionalisme Indonesia masih sebatas simbol. Bendera. Ritual tahunan. Belum lahir kebijakan politik yang bertanggung jawab dalam mengelola kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa. Belum ada gerakan nasional untuk memakai dan mengonsumsi produk dalam negeri. Pejabat Indonesia lebih bangga memakai produk impor.

Untuk Indonesia, sektor informal terbukti tahan uji saat krisis ekonomi. Harus ada perubahan paradigma dan persepsi pemerintah menangani sektor ini. Yang banyak terjadi adalah penertiban yang identik dengan penggusuran, tanpa jalan keluar.

Hernando de Soto dalam The Other Path menunjukkan jalan yang perlu bagi dunia ketiga untuk mengintegrasikan sektor informal dengan formal dengan hasil yang revolusioner (Masih Ada Jalan Lain, 1991).

Di tingkat kebijakan moneter, pemerintah menyandera diri dengan rezim devisa bebas. Sudah lama rupiah tidak menjadi tuan di negeri sendiri. Pemerintah tidak percaya dengan kekuatan mata uang sendiri. Dollar AS dibiarkan menjadi patokan harga di dalam negeri. Ilusi dikembangkan seolah-olah Indonesia surga dollar dan psikologi pasar terbentuk untuk menyimpan dollar bak perhiasan. Di negara lain, semua nilai transaksi publik ditetapkan dengan mata uang lokal.

Ekonomi nasional tercerabut dari nasionalisme. Devisa hasil ekspor disimpan di bank luar negeri, menjadi bagian cadangan devisa nasional sebatas layar monitor Bank Indonesia (di atas kertas). Perbankan luar negeri diperkuat, rupiah terpuruk, industri berbahan baku impor terancam tutup, spekulan berpesta.

Otoritas moneter dan perdagangan tidak perlu ragu memakai kekuatan koersifnya untuk mengefektifkan repatriasi dollar AS.

Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta

Tidak ada komentar: