Jumat, 26 Desember 2008

Optimistis Perlu Disertai Realistis


Sudah banyak yang memahami dampak krisis keuangan global yang diawali pada Agustus 2008 di Amerika mengakibatkan melemahnya perekonomian banyak negara di dunia. Banyak kalangan memprediksi krisis ini di Indonesia akan mulai terasa pada tahun depan. Mungkin berlanjut sampai 2010.

Menurunnya permintaan barang di negara Amerika dan Jepang sebagai negara tujuan utama ekspor Indonesia mengakibatkan melemahnya sektor ekspor ini dan mengakibatkan ancaman pemutusan kerja di mana-mana. Kadin Jatim memperkirakan, akan ada sebelas ribu pekerja di Jatim akan terkena PHK pada tahun depan. Secara nasional juga diberitakan akan ada seratus ribu bahkan satu juta orang terkena dampak melemahnya perekonomian global tersebut.

Negara-negara yang besaran ekonominya signifikan seperti Jepang, negara-negara Eropa, India, dan Tiongkok merasakan betul akibat krisis keuangan global ini. Tiongkok, misalnya. Tingkat pertumbuhan ekonomi negara dengan jumlah devisa negara pada akhir September 2008 lalu sebesar USD 1,9 trilliun itu harus dikoreksi. Yakni, dari 11,9 persen (2007) dan 9,4 persen (2008) diprediksi akan turun menjadi 7,5 persen pada tahun depan. Ini sebuah penurunan yang lumayan besar meskipun angka pertumbuhannya masih cukup tinggi.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun akan terkoreksi dari 6,1 persen (2008) diprediksi turun cukup tajam pada 2009, yakni sekitar 4,5-4,9 persen. Ini berarti perekonomian Indonesia akan melemah tajam dan berdampak besar di semua sektor. Hantu lay off atau pemutusan kerja di mana-mana akan bermunculan.

Namun, tidak semua pesimistis. Ada yang mengatakan bahwa kondisi Indonesia pada krisis kali ini berbeda dengan krisis ekonomi 1997/1998. Negara ini sudah punya pengalaman. Toh, kerugian perbankan nasional lebih sedikit dibandingkan perbankan di Asia. Bank Indonesia (BI) pun berusaha meredamnya dengan berbagai kebijakan: menurunkan BI rate ke 9,25 persen, pengaturan transaksi valas, meningkatkan penjaminan menjadi Rp 2 miliar, dan sebagainya. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia dapat mengambil manfaat dari krisis ini dengan cara mengalihkan pasar ekspor kita ke pasar domestik yang besar. Pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan stimulus perekonomian misalkan akan mengucurkan dana Rp 100 triliun untuk belanja infrastruktur dalam rangka meredam ancaman PHK dan menurunkan harga BBM. Alhasil, kita diharapkan tidak terlalu risau pada 2009.

Tapi Harus Realistis

Terdapat pasar baru untuk ekspor memang ideal. Masalahnya, mencari pasar baru itu bukan seperti membalik tangan seketika -ujuk-ujuk besok ada pembeli baru dari pasar baru. Menemukan pasar baru tersebut harus dilakukan secara integral, harus ada lobi-lobi dan kajian yang mendalam tentang kondisi pasar. Perlu diingat, pasar-pasar baru yang potensial seperti negara di Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin sudah memiliki long term trade partners terlebih dahulu sebelum kita. Negara-negara kompetitor tentu juga sudah sama-sama melakukan pencarian pasar baru.

Tiongkok, misalnya, mulai mengalihkan produk-produknya ke negara-negara lain seperti Indonesia dengan membanjirinya dengan produk-produk murahnya. Belum lagi yang masuknya secara ilegal. Pasar domestik? Pasar dalam negeri itu sangat besar. Dengan jumlah penduduk besar, idealnya produk-produk sendiri akan mampu diserap oleh konsumen domestik. Dulu (1950-60-an), sebelum menguasai pasar mobil luar negeri, Jepang memfokuskan penjualan mobilnya ke pasar dalam negerinya. Baru pada 1970-an ke atas, Jepang melakukan penetrasi ke pasar global.

Pada tahun-tahun mendatang, negara-negara yang lebih efesienlah yang akan memenangi pertarungan. Negara-negara ASEAN, misalnya, dengan adanya AFTA, mereka berlomba-lomba untuk menjadi efesien karena ada kesepakatan penurunan tarif impor secara gradual dari 20 persen sampai 0 persen. Bayangkan, jika tarif impor 0 persen, produk-produk negara-negara jiran itu akan menjadi murah dan tidak dapat ditolak bila membanjiri pasar domestik kita yang besar. Apabila produk-produk kita dibuat dengan tidak efesien -misalkan karena high cost economy, niscaya produk kita akan kedodoran menghadapi pesaing.

Persoalan Daya Serap Anggaran

Pemerintah memang all-out menghadapi 2009 menggelontorkan dana Rp 100 triliun untuk pembangunan infastruktur, Rp 72 triliun untuk keperluan belanja modal departemen-departmen, dan Rp 24 trilliun untuk ditransfer ke daerah-daerah lewat APBD. Memang, dapat dibayangkan dana sebesar itu akan memiliki multiplier effect atau efek ganda yang besar! Mulai bangkitnya supplier barang-barang modal sampai ribuan orang yang akan jadi tenaga kerja pembangunan infrastruktur itu. Jadi, insya Allah, 2009 bisa kita hadapi sambil tersenyum.

Namun, seperti mencari pasar baru untuk ekpor kita, anggaran pemerintah yang besar itu tidak serta merta dapat dicairkan seperti membalik telapak tangan. Dana pemerintah yang masuk APBD, misalnya, akan menghadapi kendala bisa tidaknya cepat cair. Salah satu hambatan besar ialah soal penganggaran di APBD. Proses anggaran itu melibatkan tari menarik "kepentingan". Pembahasan di DPRD menelan waktu cukup lama.

Alhasil, sering program pembangunan yang dibiayai APBD baru di "gedok" (disetujui) pada Agustus-September, bahkan mendekati akhir tahun. Tidak heran, publik sering menanyakan kenapa pihak eksekutif itu menambal jalan aspal yang berlubang pada musim hujan, bukan pada musim kemarau? Ya, itu disebabkan dana dari APBD baru disetujui pada musim hujan!

Apalagi, 2009 adalah tahun pemilu. Karena itu, perlu ada komitmen yang tinggi bahwa dana sebesar itu tidak terhambat karena alasan politik atau menjadi bulan-bulanan permainan politik jangka pendek. Jadi, untuk menghadapi 2009, harus ada kesadaran komunal yang tinggi dari semua pihak bahwa upaya menghadapi resesi global tahun depan, terutama dalam upaya menghindari pemutusan kerja, pengangguran, dan kemiskinan, adalah agenda nasional bersama.

*. A. Cholis Hamzah, alumnus Fakultas Ekonomi Unair dan Imperial College London. Wakil ketua I IKA Unair Fakultas Ekonomi dan staf pengajar di Perbanas Surabaya.

Pola Pengeluaran Orang Kaya Indonesia


Masih sekitar 35 juta atau 15,4% penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, yang jarang dibahas, cukup banyak jumlah penduduk yang sejahtera bahkan tergolong hidup bergelimang uang.


Data terbaru dari salah satu lembaga penelitian internasional menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jumlah penduduk jutawan di Indonesia rata-rata sebesar 15% per tahun. Ini melebihi tingkat pertumbuhan jumlah jutawan Singapura yang hanya di kisaran angka 7%. Persoalannya, mengapa jumlah jutawan yang begitu besar hampir tidak memberi dampak pada pengurangan penduduk miskin? Bagaimana sesungguhnya penduduk kaya Indonesia mengelola pengeluaran rumah tangga?

Uang untuk Benda

Di abad ke-18 dan ke-19, di beberapa tempat di Indonesia terdapat kemakmuran. Para petani karet dan kopi di Sumatera, petani rempahrempah di Indonesia Timur, petani lada di Bangka,dan petani kopra serta cengkih di Minahasa menikmati berlimpah ruahnya pendapatan.

Uang yang diperoleh umumnya dipergunakan untuk tiga hal, membangun rumah dengan perabotan mahal, biaya menunaikan ibadah haji, dan memenuhi kebutuhan konsumsi melebihi kemampuan konsumsi makanan rata-rata orang Indonesia yang lain. Jika ada kelebihan uang, ada juga yang disimpan untuk persiapan mengadakan berbagai jenis kenduri. Kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh para petani.

Setelah Indonesia merdeka, terutama sejak awal dekade 1980-an banyak orang Indonesia yang hidup dengan uang berlimpah, entah diperoleh dari korupsi atau dari tumbuhnya kesempatan kerja di sektor modern perkotaan.Pola pengeluaran tidak mengalami perubahan. Uang tersebut dibelanjakan dengan pola pengeluaran yang hampir sama dengan pola pengeluaran masyarakat pada 200 tahun yang lalu, yaitu untuk membangun rumah mewah, membeli kendaraan dan perabot rumah tangga yang mahal.

Fungsi uang terbatas sebagai alat pengeluaran untuk mendapatkan benda-benda guna dipertontonkan kepada masyarakat sebagai bagian dari status sosial. Pola pengeluaran rumah tangga orang kaya Indonesia tersebut sejak awal dekade 1980-an secara tidak resmi telah mendapat pengakuan internasional. Orang Indonesia dikenal di Singapura sebagai konsumen atau pembelanja terbesar di mal dan tokotoko di negeri tersebut.Konon,banyak warga Singapura yang terkesima, betapa sebuah bangsa yang sebagian besar rakyatnya masih miskin begitu royal menghamburkan uang.

Ada indikasi kuat bahwa belanja barang konsumsi orang Indonesia melebihi rata-rata uang yang dikeluarkan oleh para turis dari negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang,dan Australia.Citra yang kuat tentang Indonesia di luar sana, yaitu suatu bangsa dengan manusianya yang memperoleh uang dengan cara gampang dan menghamburkan uang dengan cara yang gampang pula.

Saat ini, di tengah kemiskinan sebagian besar penduduk, di beberapa wilayah perdesaan Indonesia terjadi kemakmuran baik yang bersifat absolut maupun yang bersifat relatif. Petani padi yang menguasai tanah luas memiliki kondisi kehidupan yang cukup berlimpah kemewahan dibandingkan para petani penggarap, buruh tani,dan petani gurem. Petani karet Sumatera saat ini sedang menikmati kemakmuran.

Sekadar ilustrasi kecil,di wilayah sentra perkebunan karet rakyat di daerah Komering dan Banyuasin di Sumatera Selatan, Jambi, dan di kawasan pantai timur Sumatera, misalnya, rata-rata seorangpetanikaret,denganluaslahan hanya sekitar satu hektare dapat menghasilkan Rp4 sampai Rp5 juta per bulan. Untuk ukuran setempat, sangat makmur. Kelimpahruahan uang tersebut dapat dibuktikan misalnya dengan mewahnya kehidupan sehari-hari sebagian penduduk desa.Para petani membeli sepeda motor dan bergantiganti merek.

Mereka merehabilitasi rumah dengan bahan bangunan yang mahal.Ponsel yang dipakai melebihi harga dan kualitas para pekerja profesional yang ada di Jakarta.Uang itu minimal sekali yang digunakan untuk investasi bagi penyerapan tenaga kerja kelompok bawah. Di daerah perkotaan,mereka yang mendapat berkah juga sebagian hidup dalam kelimpahruahan. Kita saksikan, misalnya, harga BBM boleh naik atau turun tidak membawa pengaruh.

Keluarga Indonesia memenuhi tempat-tempat belanja dan rekreasi. Kota Bandung, Surabaya, Yogyakarta,Bali,dan beberapa tempat lain mengalami kemacetan parah oleh para pembelanja dan pelancong lokal maupun pendatang dari berbagai penjuru. Hari libur adalah pertunjukan yang sangat menakjubkan bagaimana uang dihambur-hamburkan oleh jutaan manusia Indonesia.

Tidak Berbagi

Kecenderungan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia tersebut sebetulnya bukan fenomena yang aneh. Dulu, ketika Eropa masih berada di abad pertengahan, sekitar 600 tahun yang lalu, keadaannya hampir sama.Pada saat itu apa yang disebut kepemilikan adalah sejumlah harta yang gampang dilihat.

Sangat wajar jika pada saat itu para orang kaya Eropa merealisasikan kepemilikan uangnya dalam wujud kastil, bangunan-bangunan mewah, tandatanda kebesaran dan tingkat konsumsi barang-barang mewah serta pesta dan upacara besar-besaran. Tetapi dalam hal pengelolaan uang dan pengeluaran rumah tangga, masyarakat Eropa cepat berubah. Masyarakat belahan dunia yang lain tidak, itu yang ditulis oleh Richard Heillbroner dalam The Making of Economic Society. Seperti itulah kirakira yang saat ini terjadi di Indonesia.

Pola-pola penggunaan uang pada 200 tahun yang lalu untuk sekadar pemuas nafsu kebendaan (dan di Eropa 600-700 tahun yang lalu) tampaknya masih mirip dan tidak banyak mengalami perubahan.Persoalan kita saat ini adalah betapa sulitnya mengelola pengeluaran rumah tangga dan menjadikan uang sebagai modal. Terkait dengan investasi, menabung memang telah tumbuh, tetapi walaupun bunga bank telah diturunkan pada level yang sangat rendah, masyarakat tidak tertarik untuk menginvestasikan uangnya. Uang itu akan ditarik jika kelak akan ada kenduri, akan berbelanja ke luar negeri, atau akan membeli rumah yang lebih bagus.

Dalam konteks ini pula kita semakin menyadari bahwa persoalan pengelolaan pengeluaran adalah persoalan yang berhubungan dengan kebudayaan, nilai-nilai dan kepedulian, serta perasaan empati yang ada di masyarakat yang kian hari terasa kian melemah. Kita miskin sense of reciprocity(semangat berbagi). Dalam konteks ini, kita pun maklum jika kemiskinan sulit dikurangi.

Program-program antikemiskinan yang ada akan kesulitan mengurangi kemiskinan secara maksimal tanpa dukungan masif masyarakat dalam bentuk investasi dan semangat saling berbagi. Di 2009 angka kemiskinan tampaknya masih akan tetap tinggi.(*)

Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Humas dan Hukum Badan Pusat Statistik (BPS)

Krisis 1998 vs Krisis 2008


Ketika Thailand terkena krisis moneter 1997, seketika itu pula Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia mengumandangkan pernyataan bahwa Indonesia tidak perlu khawatir karena, katanya, fundamen ekonomi kita kuat.


Presiden Soeharto dan rakyat pun tenang mendengar penegasan itu. Tapi tak lama kemudian, krisis moneter melanda Indonesia yang menunjukkan fundamen ekonomi kita rapuh. Pernyataan fundamen ekonomi Indonesia kuat hanya dikenang bak lagu Melayu tua atau propaganda ala pedagang obat kuat di pasar malam di alun-alun.

Makroekonomi Indonesia pada saat itu (1997/98) memang rapuh karena banyak faktor seperti banyaknya utang dalam valas, proyek jangka panjang yang dibiayai dengan utang jangka pendek, proyek berpenghasilan rupiah dibiayai valas, pengambilan kredit perbankan yang jauh melebihi nilai proyeknya,APBN defisit yang tidak efisien dan efektif,devisa hasil ekspor yang disimpan di luar negeri,perbankan yang kurang sehat, jumlah orang miskin dan pengangguran yang relatif masih besar, dan seterusnya.

Dalam banyak hal, kondisi ekonomi Indonesia sekarang ini sebenarnya belum banyak berubah dari kondisi 11 tahun yang lalu. Bahkan kini daya beli masyarakat relatif menurun, semakin banyak porsi APBN yang dialokasikan untuk birokrasi dan penyelenggara negara, serta defisit APBN, dan utang negara meningkat/ bertambah. Menjelang maupun setelah krisis 1997/1998 maupun krisis 2008, neraca perdagangan sama-sama surplus dengan kecenderungan ekspor menurun drastis, kurs rupiah dan IHSG sama-sama melemah, bunga sama-sama naik meski tidak segila kenaikan 1998.

Tetapi harga komoditas primer Indonesia pada 1998 naik tajam (utamanya karena kenaikan kurs rupiah), sementara dalam krisis keuangan global sekarang ini justru volume dan harganya anjlok. Kedua krisis ini sama-sama telah menaikkan angka inflasi dan seretnya kredit perbankan yang melemahkan sektor riil.Kondisi perbankan juga sama-sama kurang sehat, meski dengan tingkat kekhawatiran yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi Indonesia sebenarnya tidak banyak beda dengan sebelum krisis 1997/98 maupun krisis 2008.

Bedanya justru pada saat krisis dan periode-periode sesudahnya. Krisis 1998 telah mengakibatkan pertumbuhan ekonomi negatif, sedangkan dalam krisis 2008, pertumbuhan ke depan diperkirakan masih tetap positif,meski menurun. Tetapi hal ini tidak berarti karena fundamen ekonomi 2008 lebih baik dari fundamen ekonomi 1997. Bila pertumbuhan ekonomi 2009 masih diharapkan positif semata-mata karena krisis sekarang ini bukan krisis orisinal kita seperti tahun 1997/1998, tetapi cuma (kena) imbas dari krisis keuangan Amerika Serikat.

*** Krisis moneter (krismon) 1997/98 berdaya rusak luar biasa besarnya karena persoalannya tidak cuma ekonomi, tapi juga politik, yaitu agenda kekuatan tertentu dalam negeri dan asing untuk menumbangkan pemerintahan Soeharto yang diikuti dengan penjarahan aset-aset nasional. Selain itu, krisis 1997/98 tidak ditangani dengan benar, tetapi dengan resep-resep sesat IMF atau yang sengaja dikelirukan. Dalam krisis keuangan sekarang ini seharusnya SBY dapat lebih bebas dan berdaulat mengatasinya karena tidak ada lagi LoI-IMF.

Yang penting SBY harus berangkat dari pengakuan bahwa lagu “fundamen ekonomi kita kuat” itu keliru dan membuat kita lengah. Fundamen ekonomi yang masih rapuh itulah yang menyebabkan nilai tukar rupiah merosot melebihi merosotnya mata uang negara sekitar terhadap dolar Amerika dan bunga rupiah harus dinaikkan ketika di negara-negara lain diturunkan antara 40–90%.Selain itu, inflasi naik tajam meski realisasi pembelanjaan APBN terseok-seok. Itulah sebabnya meski APBN dirancang defisit, tapi dalam realisasinya sering surplus.

Sebenarnya kalau mengikuti RJPM 2004– 2009, seharusnya APBN sudah zero deficit, tetapi pemerintah tetap saja mengajukan APBN defisit dan stok utang terus bertambah. Untuk 2009, ekspor dan investasi diprediksi menurun. Kedua krisis ini juga sama-sama menimbulkan gelombang PHK dan logikanya sama-sama menambah jumlah orang miskin.Bedanya,dalam periode sebelum krisis 1997/1998 APBN tidak mempunyai pos anggaran penanggulangan kemiskinan, sedangkan sebelum krisis keuangan global 2008 APBN telah lama menganggarkannya.

Dalam tahun 2007 dan 2008 anggaran penanggulangan kemiskinan masing-masing Rp50 triliun dan Rp78 triliun yang disalurkan dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT), beras untuk masyarakat miskin, dan lain-lain.Anggaran ini akan terus meningkat signifikan yang mengindikasikan antisipasi pemerintah terhadap kenaikan jumlah orang miskin, atau sekurang-kurangnya untuk menekan jumlah orang miskin. Bila diasumsikan jumlah orang miskin versi BPS 35 juta, maka bila dirata-ratakan per orang mendapat bantuan dana kemiskinan Rp2.200.000/tahun.

Artinya, tanpa dana bantuan penanggulangan kemiskinan itu sebenarnya jumlah orang miskin di Indonesia 2007/2008 jauh lebih besar lagi. Bisa jadi jumlahnya seperti yang pernah diasumsikan dalam perhitungan Askin bahwa terdapat 19 juta keluarga miskin.Bila satu keluarga terdiri atas 5 orang, berarti jumlah orang miskin 95 juta. Itu jumlah yang tidak jauh beda dengan hasil perhitungan kemiskinan ala Bank Dunia yang menggunakan batas USD2/orang/hari.

*** Untuk mengklarifikasi keraguan ini, pemerintah dan BPS seharusnya menghitung jumlah orang miskin dengan mengeluarkan pos anggaran penanggulangan kemiskinan agar diperoleh angka yang tidak bias.Jangan sampai pemanfaatan uang anggaran negara untuk dibagi-bagi pada si miskin diklaim seolah-olah sebagai sukses partai politik tertentu.

Membagi uang tunai dari APBN adalah suatu pekerjaan populer yang amat mudah—yang dapat dilakukan oleh siapa pun presidennya.Tetapi harus diingat bahwa policyseperti ini bukan saja tidak mendidik, tetapi juga identik dengan tindakan putus asa pemerintah.Artinya,pemerintah bukannya memerangi kemiskinan, tetapi justru “memelihara” kemiskinan tersebut, dan menggunakannya sebagai alat propaganda murahan untuk memperoleh dukungan politik.

Kesimpulannya, krisis ekonomi 2008 bagaimanapun akan berdampak serius kepada perekonomian Indonesia khususnya jumlah pengangguran dan kemiskinan yang akan meningkat tajam. Karena itu, sebaiknya langkah-langkah yang diambil pemerintah harus dilandasi kejujuran dan pemahaman bahwa fundamen ekonomi Indonesia tidak sekuat yang dipropagandakan tim ekonomi pemerintah.(*)

DR Fuad Bawazier
Mantan Menkeu, Ketua DPP Hanura

Investor Madoff Bunuh Diri


Jumat, 26 Desember 2008 | 00:40 WIB

New York, Rabu - Kasus penipuan investasi oleh mantan pemimpin Bursa Nasdaq, Bernard Madoff, semakin rumit. Salah satu manajer investasi yang menanamkan dana pada perusahaan Madoff ditemukan mati bunuh diri.

Thierry de la Villehuchet (65) telah kehilangan lebih dari 1 miliar dollar AS karena menanamkan dana investasi di perusahaan milik Madoff. Villehuchet ditemukan tewas di apartemennya di Manhattan, Selasa (23/12). Di sekelilingnya berserakan pil dan dia menyayat kedua lengannya dengan pisau, serta kemungkinan besar mati karena kehabisan darah.

Sebagai eksekutif di Access International, Villehuchet mengelola dana sekitar 2 miliar euro atau 2,79 miliar dollar AS. Tiga perempat dari dana itu telah diinvestasikan pada perusahaan investasi Madoff.

Juru bicara Kepolisian New York Paul Browne tidak menemukan pesan apa pun dari Villehuchet.

Ellen Borakove, juru bicara rumah sakit yang memeriksa jenazah Villehuchet, memperkirakan hasil otopsi akan diperoleh Rabu pekan depan. Pelaku pemeriksaan soal kematian itu kini sedang menantikan hasil laporan tentang racun di tubuh korban.

Villehuchet merupakan pengelola keuangan ternama dan dipercaya nasabah-nasabah dari Eropa. Masih belum jelas bagaimana Villehuchet berkenalan dengan Madoff atau siapa saja nasabahnya.

Villehuchet terlihat sangat lemah setelah merebaknya skandal Madoff. Pada Senin malam, para petugas kebersihan curiga karena diminta meninggalkan kantornya pada pukul 19.00.

Seorang mitranya meminta petugas keamanan memeriksa pada malam hari apakah Villehuchet masih di sana, tetapi pintunya terkunci.

Ketika petugas keamanan datang pagi hari sekitar 13 jam kemudian, lelaki Perancis itu ditemukan tidak bernyawa.

Tak banyak yang diketahui mengenai kegiatan bisnis Villehuchet. Namun, Bill Rapavy, mantan mitra Access, menggambarkan dia dalam tiga kata, ”Dia tak bercela”.

Para sahabat menduga ia merasa telah melakukan kesalahan besar karena telah mendorong para teman dan kenalan agar melakukan investasi pada Madoff.

”Thierry melibatkan semua sahabatnya, orang-orang terdekatnya. Tampaknya ia tak kuat menahan hal itu. Ia memang telah bersikap naif, tetapi seorang pria yang terhormat,” ujar sahabat dan rekan bisnisnya, Jean Karoubi.

”Dia telah berupaya siang dan malam untuk mendapatkan kembali dana dari para investornya. Dia tidak dapat menanggung kesalahan yang akan ditimpakan para investor Eropa kepadanya,” ujar salah seorang sumber kepada harian La Tribune, Paris.

Dana universitas lenyap

Kematian investor itu semakin memperkeruh keadaan setelah Madoff mengakui dana investasi sebesar 50 miliar dollar AS menguap karena dia melakukan praktik yang tidak wajar dalam pengelolaan investasinya.

”Sekarang tangan Bernie berlumuran darah,” demikian judul berita utama New York Post.

Sementara itu, yayasan amal yang dikelola pemenang Nobel, Elie Wiesel, menyatakan kehilangan dana sebesar 15 juta dollar AS karena Madoff. Jumlah dana sebesar itu hampir mencapai 100 persen aset yayasan.

”Kami sangat sedih dan tertekan bahwa kami bersama beberapa orang lain telah menjadi korban dari salah satu penipuan investasi terbesar dalam sejarah,” demikian pernyataan dari Yayasan Kemanusiaan Elie Wiesel pada situsnya.

Selasa lalu, perwakilan dari 30 yayasan Yahudi mengadakan pertemuan di New York untuk mendiskusikan tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi persoalan ini.

Universitas New York yang juga merupakan salah satu korban menyatakan akan membawa kasus ini ke pengadilan. New York Times melaporkan, universitas tersebut telah memasukkan perkara ke Pengadilan Tinggi New York melawan Ezra Merkin. Merkin adalah seorang pengelola dana investasi yang telah menginvestasikan dana sebesar 94 juta dollar AS ke firma Madoff.

Universitas itu menyatakan bahwa Merkin dan dua rekannya diduga telah menginvestasikan dana dalam jumlah besar ke firma Madoff tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak universitas. (AFP/AP/REUTERS/JOE)

Ekonomi Syariah Diharapkan Bisa Menjadi Solusi Krisis


Jakarta, Kompas - Ekonomi syariah memiliki potensi besar sebagai solusi dari krisis keuangan yang terjadi saat ini.

Sifatnya yang menekankan pada etika, adil, menjauhi unsur spekulasi, dan terkait erat dengan sektor riil sangat dibutuhkan untuk terciptanya sistem perekonomian berkelanjutan yang tidak mudah bergejolak.

”Ekonomi syariah diharapkan tak sekadar sebagai sebuah landasan ekonomi yang bisa mencegah terjadinya krisis ekonomi, tetapi juga harus menawarkan solusi,” kata Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Muliaman D Hadad.

Muliaman yang juga Deputi Gubernur Bank Indonesia dikukuhkan sebagai Ketua Umum MES periode 2008-2011, Selasa (23/12) malam di Jakarta, menggantikan Aries Muftie.

Menurut Muliaman, ada sejumlah tantangan dalam mengembangkan ekonomi syariah. Pertama, membangun sumber daya manusia yang memadai.

Kedua, membangun perekonomian syariah dengan semangat keterbukaan agar manfaat menjadi bagian dari ekonomi global bisa diraih.

Ekonomi syariah bukan sistem yang eksklusif hanya untuk orang Muslim. Ekonomi syariah adalah sistem yang bisa digunakan seluruh insan pelaku ekonomi.

Untuk itu , dalam menyusun pengurus MES yang baru, Muliaman mengedepankan semangat pluralisme, baik dari segi profesi, disiplin ilmu, maupun agama.

Tantangan ketiga ialah mengintensifkan edukasi dan sosialisasi mengenai ekonomi syariah kepada masyarakat luas. Sebab, masih banyak masyarakat yang belum paham mengenai ekonomi syariah.

Seperti halnya perekonomian konvensional, industri perbankan juga menjadi tulang punggung dalam perekonomian syariah. Tingginya animo masyarakat dan potensi pasar yang besar membuat industri perbankan syariah nasional terus berekspansi.

Beberapa bank konvensional, seperti BRI dan BNI, akan memisahkan (spin off) unit usaha syariahnya menjadi bank umum tersendiri.

Untuk meningkatkan skala, BRI menggabung unit syariahnya dengan bank yang diakuisisi, yakni Bank Jasa Arta.

Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Islamic Corporation for Development Private Sector yang merupakan afiliasi dari Islamic Development Bank untuk mendirikan bank umum syariah.

BCA pun telah mengakuisisi Bank UIB untuk selanjutnya dikonversi menjadi bank umum syariah. Saat ini perbankan syariah nasional terdiri atas tiga bank umum syariah dan 28 usaha syariah.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia, total aset perbankan syariah per Oktober 2008 sebesar Rp 46,28 triliun, naik 40 persen dibandingkan periode sama tahun 2007 sebesar Rp 33,02 triliun. (FAJ)

Kamis, 25 Desember 2008

Peritel Keberatan 3 Poin Trading Term







Konsumen Sedang Berbelanja (Nurul/detikcom)
Jakarta - Kalangan peritel keberatan atas 3 poin trading term sesuai dengan Permendag No 53/M-Dag/Per/12/2008 mengenai petunjuk pelaksanaan Perpres pasar modern No 112 tahun 2007. Tiga poin itu adalah mengenai listing fee, conditional rebate dan fixed rebate.

Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Benyamin Mailol di Jakarta, Selasa (23/12/2008).

"Harusnya sikap pemerintah jangan terlalu me-regulary, masalah tiga kondisi tersebut yaitu listing fee, conditional rebate, fixed rebate, tidak sesuai dengan usulan Aprindo," katanya.

Meskipun begitu, secara umum pihaknya setuju dengan permendag tersebut. Namun katanya, 3 poin trading term tadi masih menjadi ganjalan pengusaha ritel.

"Kalau dipaksakan yang tiga tadi melanggar perpres 112 azas kesepakatan yang diserahkan ke mekanisme pasar, kalau dipaksakan kebijakan ini tidak bersikap pro pasar," katanya.

Dalam permendag tersebut dijelaskan mengenai listing fee atau biaya administrasi untuk produk baru yang meliputi kategori hypermart paling banyak Rp 150.000 untuk setiap jenis produk setiap gerai dengan biaya paling banyak Rp 10.000.000 untuk setiap jenis produk semua gerai.

Untuk supermarket paling banyak Rp 75.000 dengan biaya maksimal Rp 10.000.000 untuk semua jenis produk disemua gerai dan terakhir katagori minimarket paling banyak Rp 5000 setiap produk dengan maksimal biaya Rp 20.000.000.

Selain itu ada potongan harga tetap atau fixed rebate yaitu berupa potongan harga yang diberikan oleh pemasok kepada toko moderen tanpa dikaitkan dengan target penjualan yang dilakukan secara periodik maksimum 3 bulan yang besarnya maksimum 1%.

Yang terakhir mengenai potongan harga khusus atau conditional rebate berupa pemotongan harga yang diberikan oleh pemasok apabila toko moderen dapat mencapai atau melebihi target penjualan sesuai perjanjian dagang dengan kreteria penjualan yaitu:
  • Mencapai jumlah yang ditargetkan sesuai dengan perjanjian sebesar 100% mendapat potongan harga khusus paling banyak 1%.
  • Melebihi 101% sampai 115% maka kelebihannya mendapat potongan harga khusus maksimal 5%
  • Melebihi 115% maka kelebihannya dapat potongan harga khusus paling banyak 10%.

Departemen Perdagangan telah menerbitkan permendag No 53 tahun 2008 pada tanggal 12 Desember tahun ini yaitu mengenai penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan dan toko moderen.

Syarat-syarat Perdagangan Toko Modern Diatur Lebih Rinci






(Foto: Nurul-detikcom)
Jakarta - Masalah syarat-syarat perdagangan (trading term) antara toko modern dan pemasok sempat menjadi perdebatan panas. Kini aturan syarat-syarat perdagangan diatur lebih rinci dalam Peraturan Menteri Perdagangan penataan dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern.

Aturan tersebut tertuang dalam Pertauran Menteri perdagangan RI Nomor : 53/M-DAG/PER/12/2008 tertanggal 12 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Mendag Mari Elka Pangestu.

Berapa jumlah potongan harga yang harus diberikan pemasok dan jangka waktunya ditetapkan dalam aturan ini. Pihak-pihak yang melanggar akan dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sampai pencabutan izin usaha.

Aturan Trading Term tersebut dirinci pasal 7 yang berisi:

1. Dengan tidak mengurangi prinsip kebebasan berkontrak, syarat-syarat perdagangan antara Pemasok dengan Toko Modern harus jelas, wajar, berkeadilan, dan saling menguntungkan serta disepakati kedua belah pihak tanpa tekanan.

2. Dalam rangka mewujudkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka wajib memenuhi pedoman sebagai berikut:

a. Potongan harga reguler (regular discount) berupa potongan harga yang diberikan oleh Pemasok kepada Toko Modern pada setiap transaksi jual-beli. Potongan harga reguler ini tidak berlaku bagi Pemasok yang memberlakukan sistem harga netto yang dipublikasikan secara transparan ke semua Toko Modern dan disepakati dengan Toko Modern.

b. Potongan harga tetap (fixed rebate) berupa potongan harga yang diberikan oleh Pemasok kepada Toko Modern tanpa dikaitkan dengan target penjualan yang dilakukan secara periodik maksimum 3 bulan yang besarnya maksimum 1%.

c. Jumlah dari Potongan harga reguler (regular discount) maupun potongan harga tetap (fixed rebate) ditentukan berdasarkan presentase terhadap transaksi penjualan dari pemasok ke Toko Modern baik pada saat transaksi maupun secara periodik.

d. Potongan harga khusus (conditional rebate) berupa potongan harga yang diberikan oleh Pemasok, apabila Toko Modern dapat mencapai atau melebihi target penjualan sesuai perjanjian dagang, dengan kriteria penjualan:

-Mencapai jumlah yang ditargetkan sesuai perjanjian sebesar 100% mendapat potongan harga khusus paling banyak sebesar 1%.

-Melebihi jumlah yang ditargetkan sebesar 101% sampai dengan 115%, maka kelebihannya mendapat potongan harga khusus paling banyak sebesar 5%.

-Melebihi jumlah yang ditargetkan di atas 115%, maka kelebihannya mendapat potongan harga khusus paling banyak sebesar 10%.

e. Potongan harga promosi (Promotion Discount) diberikan oleh Pemasok kepada Toko Modern dalam rangka kegiatan promosi baik yang diadakan oleh Pemasok maupun oleh Toko Modern yang diberikan kepada pelanggan atau konsumen akhir dalam waktu yang dibatasi sesuai kesepakatan antara Toko Modern dengan Pemasok.

f. Biaya Promosi (Promotion Cost) yaitu biaya yang dibebankan kepada Pemasok oleh Toko Modern sesuai kesepakatan kedua belah pihak yang terdiri dari:

-Biaya promosi melalui media massa atau cetakan seperti brosur atau mailer, yang ditetapkan secara transparan dan wajar sesuai dengan tarif harga dari media dan biaya-biaya kreativitas lainnya.

-Biaya Promosi pada Toko Setempat (In-Store Promotion) dikenakan hanya untuk area promosi di luar display/pajangan reguler toko seperti floor display, gondola promosi, block shelving, tempat kasir (Check out Counter), wing gondola, papan reklame di dalam dan di luar toko, dan tempat lain yang memang digunakan untuk tempat promosi.

-Biaya promosi yang dilakukan atas kerjasama dengan pemasok untuk melakukan kegiatan mempromosikan produk pemasok seperti sampling, demo produk, hadiah, games, dan lain-lain.

-Biaya yang dikurangkan atau dipotongkan atas aktivitas promosi dilakukan maksimal 3 bulan setelah acara berdasarkan konfirmasi kedua belah pihak. Biaya promosi yang belum terpakai harus dimanfaatkan untuk aktivitas promosi lainnya baik pada periode yang bersangkutan maupun untuk periode yang berikutnya.

g. Biaya-biaya lain di luar biaya sebagaimana dimaksud pada huruf f tidak diperkenankan untuk dibebankan kepada Pemasok.

h. Biaya yang dikeluarkan untuk promosi produk baru sudah termasuk di dalam Biaya Promosi sebagaimana dimaksud pada huruf f.

i. Pemasok dan Toko Modern bersama-sama membuat perencanaan promosi baik untuk produk baru maupun untuk produk lama untuk jangka waktu yang telah disepakati.

j. Penggunaan jasa distribusi Toko Modern tidak boleh dipaksakan kepada Pemasok yang dapat mendistribusikan barangnya sendiri sepanjang memenuhi kriteria (waktu, mutu, harga produk, jumlah) yang disepakati kedua belah pihak.

k. Biaya administrasi pendaftaran barang (Listing fee) hanya untuk produk baru dengan besaran sebagai berikut:

-Kategori Hypermarket paling banyak Rp 150 ribu untuk setiap jenis produk setiap gerai dengan biaya paling banyak Rp 10 juta untuk setiap jenis produk di semua gerai.

-Kategori Supermarket paling banyak Rp 75 ribu untuk setiap jenis produk setiap gerai dengan biaya paling banyak Rp 10 juta untuk setiap jenis produk di semua gerai.

-Kategori Minimarket paling banyak Rp 5.000 untuk setiap jenis produk setiap gerai dengan biaya paling banyak Rp 20 juta untuk setiap jenis produk di semua gerai.

l. Perubahan biaya administrasi pendaftaran barang sebagaimana dimaksud pada huruf k dapat disesuaikan setiap tahun berdasarkan perkembangan inflasi.

m. Toko Modern dapat mengembalikan produk baru kepada Pemasok tanpa pengenaan sanksi apabila setelah dievaluasi selama 3 (tiga) bulan tidak memiliki prospek penjualan.

n. Toko Modern harus memberikan informasi tertulis paling sedikit 3 (tiga) bulan sebelumnya kepada Pemasok apabila akan melakukan stop order delisting atau mengurangi item produk atau SKU (Stock Keeping Unit) Pemasok.

o. Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern harus berlaku adil dalam pemberian pelayanan kepada mitra usaha baik sebagai pemilik/penyewa ruangan usaha maupun sebagai pemasok.

p. Toko Modern dilarang melakukan promosi penjualan dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga di Pasar Tradisional terdekat untuk barang-barang kebutuhan pokok masyarakat.

Sementara di pasal 8 yang masih terkait dengan trading term adalah:

1. Pembayaran barang dari Toko Modern kepada Pemasok Usaha Mikro dan Usaha Kecil wajib dilakukan secara tunai untuk nilai pasokan sampai dengan Rp 10 juta atau dalam jangka waktu 15 hari setelah seluruh dokumen penagihan diterima.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 outlet atau 1 jaringan usaha.(ir/ir)

Minimarket Hanya untuk Pengusaha Lokal






(Foto: Nurul-detikcom)
Jakarta - Peraturan Menteri Perdagangan mengenai penataan dan pembinaan pusat perbelanjaan dan toko modern kembali mempertegas usaha minimarket hanya untuk pengusaha lokal.

Dalam Peraturan Menteri perdagangan RI Nomor : 53/M-DAG/PER/12/2008 tertanggal 12 Desember 2008 yang ditandatangani oleh Mendag Mari Elka Pangestu dijelaskan soal posisi minimarket ini.

Dijelaskan bahwa Usaha Toko Modern dengan modal dalam negeri 100% adalah:
a. Minimarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 400 m2.
b. Supermarket dengan luas lantai penjualan kurang dari 1.200 m2.
c. Department Store dengan luas lantai penjualan kurang dari 2.000 m2.

Dengan aturan itu, maka supermarket yang luasnya 1.200 m2 ke atas boleh dimiliki asing.

Kriteria minimarket adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang Minimarket melalui satu kesatuan manajemen dan sistem pendistribusian barang ke outlet yang merupakan jaringannya.

Batasan luas lantai penjualan Toko Modern adalah sebagai berikut:
a. Minimarket, kurang dari 400 m2.
b. Supermarket, 400 m2 sampai dengan 5.000 m2
c. Hypermarket, lebih dari 5.000 m2.
d. Department Store, lebih dari 400 m2.
e. Perkulakan, lebih dari 5.000 m2.

Pendirian Minimarket baik yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan atau bangunan lain wajib memperhatikan:

a. Kepadatan penduduk
b. Perkembangan pemukiman baru
c. Aksesibilitas wilayah (arus lalu lintas)
d. Dukungan / ketersediaan infrastruktur dan
e. Keberadaan Pasar Tradisional dan warung/toko diwilayah sekitar yang lebih kecil daripada Minimarket tersebut.

Pendirian Minimarket diutamakan untuk diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi Minimarket dimaksud.

Rabu, 24 Desember 2008

Kekayaan Bakrie Menguap 90 Persen



Laporan: Yayat R. Cipasang

Jakarta, myRMnews. Gara-gara krisis keuangan dunia, Aburizal Bakria bukan lagi orang terkaya di Indonesia.

Majalah Forbs Asia seperti ditulis Jawa Pos, Jumat (12/12), posisinya bahkan terjun bebas hingga posisi sembilan.

Saat ini kekayaan Bakrie tercatat tinggal US 850 juta dolar AS (Rp 9,35 triliun). Tahun lalu Bakrie, yang menjadi orang pribumi pertama paling kaya di tanah air, masih punya harta US 5,4 miliar dolar (Rp 59,4 triliun). Kemerosotan kekayaan itu adalah yang terbesar dalam daftar yang dirilis Forbes Asia tahun ini.

Ical -sapaan karib Aburizal Bakrie- tak menyangkal bahwa krisis finansial telah menggerogoti kekayaannya. Secara terbuka dia juga mengakui bukan lagi menjadi orang terkaya di Indonesia.

''Pokoknya, sekarang di bawah sekali,'' kata Ical kepada wartawan di Jakarta kemarin (Kamis, 11/12).

Dia menyebut, lebih dari 90 persen kekayaannya menyusut tajam sejalan dengan merosotnya harga saham.

''Ya, masih ada sekitar 10 persen,'' ujarnya.

Mengenai kepemilikan saham di PT Bumi Resources Tbk -tambang uang utama Bakrie--dia menyebut masih punya meski dalam skala kecil.

''Masih ada, tapi kecil. Nggak dihabisin semua,'' tambahnya seraya tersenyum.

Perjalanan bisnis keluarga Bakrie memang mengalami pasang surut. Pada 2007, kekayaan Bakrie melonjak lebih dari empat kali lipat dalam tempo setahun.

Harta Bakrie berlipat ganda dari lonjakan harga saham PT Bumi Resources Tbk. Harga saham perusahaan batu bara terbesar di tanah air itu melesat dari Rp 800-an menjadi Rp 6.000-an per lembar.

Bahkan, pada pertengahan 2008 harga saham Bumi sempat nangkring di Rp 8.500 per lembar. Namun, akibat terlalu agresif menumpuk utang, harga saham Grup Bakrie langsung tumbang dihantam krisis global.

Saat ini harga saham Bumi tinggal Rp 1.000 per lembar dan Bakrie dililit utang USD 1,3 miliar (Rp 14,3 triliun). Untuk menutupi utang-utangnya, Bakrie dengan terpaksa melepas saham-sahamnya. [yat]

Pelajaran Finansial Bagi Asia

Dr Gerard Lyons
Chief Economist Standard Chartered Bank Plc

Selama setahun belakangan ini terjadi cerita finansial dari dua dunia: booming di Asia dan wilayah berkembang lainnya yang terlihat kontras dengan krisis finansial yang terus memburuk di dunia Barat. Namun, krisis ekonomi dan finansial tampaknya tak sekadar masalah batasan wilayah karena globalisasi telah meletakkan Asia lebih mendekat lagi ke wilayah ekonomi global ketimbang menjauh. Meski demikian, kebutuhan nyata dari pasar domestik serta reformasi finansial yang terjadi beberapa tahun belakangan di Asia memungkinkan wilayah ini menyikapi dan menangani kejatuhan finansial di negara-negara Barat secara lebih baik.

Tapi, apakah pelajaran jangka panjang yang diperoleh oleh Asia dan wilayah ekonomi berkembang lainnya dari permasalahan finansial yang terjadi di Barat? Salah satu dari banyak pelajaran dari krisis ekonomi Asia 1997/98 adalah keperluan mengadakan deregulasi sektor finansial dalam kecepatan yang disesuaikan dengan kebutuhan domestik masing-masing. Setelah krisis 1997/98 sejumlah negara Asia dengan tergesa-gesa melakukan deregulasi guna menyelamatkan dirinya, tapi sering kali tanpa kelengkapan infrastruktur lembaga yang sesuai.

Tidak ada satu ketentuan kecepatan yang sama untuk seluruh negara dalam deregulasi. Sejumlah negara yang terkena krisis pada waktu itu tidak mengalami kekurangan uang walaupun kurang likuid, seperti contoh gamblangnya Korea Selatan.

Sejak krisis tersebut, ekonomi Asia terus membangun ketahanan dan kemampuannya menghadapi kejutan permasalahan. Cadangan devisa di wilayah ini meningkat. Ada penekanan yang lebih kuat akan disiplin fiskal dan pada kredibilitas kebijakan moneternya. Kenaikan inflasi pada pertengahan tahun ini seakan ujian dan dalam banyak kasus telah membuktikan kredibilitas dari bank-bank sentral Asia.

Hal ini menempatkan Asia dalam posisi lebih baik untuk berhadapan dengan permasalahan. Kebanyakan ekonomi Asia juga telah menyaksikan lonjakan utang di sejumlah negara Barat. Negara-negara Asia khususnya dalam sektor belanja masyarakat domestik tidak merasa perlu menahan laju belanja masyarakat seperti yang harus dilakukan oleh AS.

Tapi, saat resesi dan dampak balik finansial memukul AS, penting bagi wilayah-wilayah ekonomi berkembang mencermati pesan-pesan tersebut. Salah bila wilayah ekonomi berkembang berpikir mereka harus menghentikan atau bahkan berbalik arah dalam pelaksanaan deregulasi sektor keuangannya.

Dua kesalahan tidak akan menghasilkan sesuatu yang benar. Faktanya, kejadian permasalahan finansial di AS tidak boleh menghentikan proses deregulasi di Asia. Mengadakan dan memperluas deregulasi sektor finansial justru membantu wilayah ini mencapai potensinya, yaitu dengan cara menjangkau masyarakat kelas menengah yang bebas utang yang jumlahnya meningkat serta memanfaatkan kekuatan belanja serta investasi mereka.

Pelajaran pentingnya, pengembangan finansial harus dilakukan dalam tatanan yang wajar yang dapat dibagi dalam tiga bagian utama yang saling berhubungan: risiko, likuiditas, dan faktor-faktor yang mendukung peredaran. Pertama, manajemen risiko. Penetapan harga akan suatu risiko yang tidak sesuai adalah penyebab utama krisis. Kesan risiko kredit yang didistribusikan ke sejumlah basis investasi lewat produk derivatif yang inovatif akan dapat mengurangi risiko sistematis sesungguhnya ilusi semata.

Permasalahan terbesar pada dasarnya lembaga-lembaga keuangan itu sendiri dan struktur insentif untuk agen >credit rating tidak membantu. Dari sudut pandang regulator, kebutuhan untuk mengikuti inovasi produk dan kerja sama lintas negara juga penting. Kedua, manajemen risiko likuiditas, khususnya di saat-saat penuh tekanan, haruslah ditangani. Saat bank-bank hilang kepercayaannya ke pasar dan dana tunai mereka pertahankan, pemikiran bahwa bank sentral selalu dapat menjaga pasar uang yang likuid benar-benar tengah diuji. Likuiditas adalah raja.

Ketiga, faktor-faktor yang mendukung peredaran jelas berkontribusi ke situasi krisis, termasuk kebijakan bank sentral yang tidak tepat, serta struktur insentif di perusahaan. Orang dapat berpikir ini sama seperti menuangkan bensin ke api yang berkobar.

Negara-negara Asia dan pasar-pasar yang berkembang harus melihat bagaimana mengembangkan sektor finansialnya hingga dapat menjadikan simpanan mereka yang besar menjadi suatu investasi yang terus meningkat, mengupayakan masyarakat meminjam dengan melihat pendapatan masa depannya, dan memungkinkan perusahaan mengakses pasar saat dibutuhkan. Namun, kecepatan dari pengembangan ini harus dikelola secara hati-hati. Dengan kondisi dunia yang cenderung untuk menghindar dari risiko, konsistensi kebijakan dan adanya sesuatu yang dapat lebih diperkirakan sebelumnya merupakan hal yang amat dihargai.

Sebaliknya, inkonsistensi serta kebijakan yang mundur-maju akan amat mengurangi kepercayaan investor. Ketimbang melihat apa yang terjadi sekarang sebagai suatu ancaman ke wilayah ini, ini suatu kesempatan untuk merefleksikan kemajuan yang dicapai Asia dalam 10 tahun terakhir.

Akhirnya, pesan yang mencuat dari krisis saat ini adalah keinginan dari perusahaan finansial Barat memperoleh bantuan modal dari lembaga pendanaan yang beberapa ada di Asia. Walaupun sejumlah investasi ini anjlok dalam harga, pesan yang ditangkap adalah kondisi ini suatu pertanda lebih lanjut akan terjadinya peralihan keseimbangan kekuatan ekonomi dan keuangan dari Barat ke Timur.

Ikhtisar:
- Sejak krisis 1998 ekonomi Asia terus membangun ketahanan dan kemampuannya menghadapi kejutan permasalahan.
- Permasalahan terbesar pada dasarnya lembaga-lembaga keuangan dan struktur insentif untuk agen credit rating tidak membantu.
- Pada tahun mendatang bukan tak mungkin jika perusahaan-perusahaan Asia menjadi lebih internasional dalam ambisinya.

Tujuh Proyek Jalan Tol Ditunda

Tak Diminati Swasta, Pemerintah Bangun Sendiri
Rabu, 24 Desember 2008 | 03:17 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah menunda pembangunan tujuh proyek jalan tol yang tersebar di Jawa dan Sumatera. Langkah ini dilakukan sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan kondisi krisis keuangan global yang diperkirakan akan mempersulit pihak swasta dalam memperoleh sumber pembiayaan proyeknya.

Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah, Kementerian Koordinator Perekonomian, Bambang Susantono mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Selasa (23/12), seusai membuka ”Diskusi Nasional, Infrastruktur Indonesia: Proyeksi Kinerja Kerja Sama Pemerintah Swasta 2009 Sektor Transportasi dan Jalan”.

Tujuh jalan tol yang akan ditunda pembangunannya adalah Pandaan-Malang (37 kilometer) dengan total investasi Rp 2,85 triliun; Medan-Binjai (15,80 km) nilai proyeknya Rp 0,97 triliun; Medan-Kuala Namu-Tebing Tinggi (60 km) senilai Rp 2,60 triliun; dan Palembang-Indralaya (22 km) senilai Rp 0,49 triliun.

Selain itu, ruas Tegineneng- Babatan (51 km) senilai Rp 2,80 triliun; Pasir Koja-Soreang (15 km) senilai Rp 0,52 triliun; dan Sukabumi-Ciranjang (31 km) senilai Rp 1,48 triliun.

Menurut Bambang, penundaan dilakukan agar proyek jalan tol tidak bertumpuk pada tahun 2009. Penumpukan pada tahun yang sama dikhawatirkan akan memengaruhi kemampuan pembiayaan swasta yang akan melaksanakan pembangunannya.

Sumber pembiayaan proyek diperkirakan akan mengalami pengetatan pada tahun 2009 sehingga tidak mudah didapatkan oleh perusahaan pembangun jalan tol, terutama sumber pendanaan proyek luar negeri.

Pengetatan likuiditas

Saat ini, lanjut Bambang, terjadi pengetatan likuiditas di pasar keuangan dunia sehingga kucuran dana untuk kredit investasi dari lembaga-lembaga keuangan internasional menjadi sulit.

”Ini yang harus kami antisipasi. Tahun 2009 itu sumber dananya terbatas, tetapi jumlah proyek yang perlu didanai sangat banyak. Atas dasar itu, kami ingin agar pembangunan proyek infrastruktur bisa jauh lebih fokus. Sebab, kita tidak hanya perlu jalan tol, tetapi juga pembangkit listrik. Oleh karena itu, dengan sumber dana yang terbatas, kami fokuskan pada proyek yang sangat dibutuhkan,” ujar Bambang Susantono.

Penundaan ketujuh proyek tol tersebut, tutur dia, dilakukan hingga kondisi pasar modal membaik. Dengan demikian, penundaan ketujuh proyek tol ini berbeda dengan penundaan proyek tol Yogyakarta-Solo.

”Proyek tol Yogyakarta-Solo itu perlu dipertimbangkan lagi kondisi sekitarnya, sebab masih ada jalan arteri dan penduduk pun masih bisa menggunakan kereta api,” ujar Bambang.

Pekan lalu, Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Nurdin Manurung mengatakan, banyak proyek jalan tol yang tidak diminati investor.

Akan tetapi, karena proyek jalan tol seperti Medan-Kuala Namu sangat penting untuk mobilitas masyarakat ke bandara, ada kemungkinan akan dibangun oleh pemerintah.

Dana pembangunannya akan meminjam dari negara donor dengan suku bunga yang rendah. Sebelumnya, pemerintah juga membangun sendiri tol akses Tanjung Priok (Rorotan-Cilincing-Tanjung Priok-Ancol) sepanjang 12 kilometer.

Biaya konstruksi jalan tol tersebut berasal dari pinjaman Japan International Bank for International Cooperation (JBIC).

Jangan dipaksakan

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menegaskan, jangan memaksakan pembangunan jalan tol yang tidak layak secara ekonomi.

”Beberapa proyek jalan tol yang ditunda pembangunannya juga berada di luar Jawa. Saya berpikir jalan biasa masih memadai. Bila dipaksakan sehingga lalu lintas hariannya rendah, proyek merugi,” ujar Djoko.

Untuk jalur tol yang berimpit dengan jalur kereta api, sebaiknya tidak usah dibangun. ”Tol Pasir Koja-Soreang sejajar dengan jalur KA Cikudapateuh-Banjaran- Soreang, tol Sukabumi-Ciranjang sejajar dengan jalur KA Sukabumi-Cianjur-Bandung, dan tol Pandaan-Malang sejajar jalur KA Surabaya-Malang. Jadi, seharusnya tak perlu dibangun karena memboroskan uang,” ujar dia. (OIN/RYO)

Produksi Minyak 978.000 Barrel


Investasi Tahun Depan Turun
Rabu, 24 Desember 2008 | 03:17 WIB

Jakarta, Kompas - Realisasi produksi minyak mentah dan kondensat tahun ini sebanyak 978.000 barrel per hari atau hanya sedikit di atas target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2008 yang sebesar 977.000 bph.

Produksi tahun depan diperkirakan juga hanya akan pas-pasan memenuhi target. Pencapaian target tersebut disampaikan Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas R Priyono dalam laporan akhir tahun, Selasa (23/12) di Jakarta.

Bagian minyak yang siap jual (lifting) tahun ini bisa mencapai 988.000 barrel disebabkan masih ada sisa stok minyak tahun-tahun sebelumnya yang tidak terangkut.

Priyono menyatakan yakin upaya pengeboran yang dilakukan tahun depan akan lebih tinggi tingkat keberhasilannya karena ditunjang studi seismik yang memadai pada tahun 2008.

Meski aktivitas seismik meningkat, dari segi penambahan cadangan terbukti belum ada peningkatan yang berarti dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Jumlah cadangan terbukti tahun ini turun menjadi 3,7 miliar barrel dari 3,989 miliar barrel pada tahun 2007. Adapun cadangan potensial naik sedikit dari 4,3 miliar barrel menjadi 4,5 miliar barrel.

Menurut Priyono, tahun depan produksi minyak dan kondensat diperkirakan masih bisa mencapai target 960.000 barrel per hari sesuai APBN.

Target konservatif

Target itu merupakan target konservatif. Ia beralasan meski ada tambahan produksi dari lapangan-lapangan baru, penurunan yang cukup signifikan dari lapangan milik Chevron Pacific Indonesia membuat produksi akan berada pada kisaran 960.000.

Tahun 2009, tambahan produksi yang cukup signifikan datang dari lapangan Banyu Urip, Blok Cepu, yang dikelola oleh ExxonMobil dan Pertamina.

Produksi Banyu Urip ditargetkan sudah bisa stabil pada angka 20.000 barrel per hari mulai Maret 2009.

Selain itu, PetroChina juga menjanjikan tambahan produksi sebesar 7.000 barrel per hari dari lapangan mereka di Blok South Jabung, Jambi, dan Blok Salawati, Papua.

Sebagai tambahan, ada sembilan lapangan baru yang diproyeksikan menambah produksi minyak sebanyak 5.300 barrel per hari. Lapangan-lapangan itu, antara lain, Tangguh yang dioperasikan BP, empat lapangan yang dioperasikan Pertamina EP, lapangan Sabak yang dioperasikan bersama oleh Pertamina dan Bumi Siak Pusako, lapangan Anggor yang dioperasikan oleh Pertamina dan Costa, serta lapangan Duri 11 yang dikelola Chevron.

BP Migas memperkirakan kondisi krisis ekonomi dunia dan penurunan harga minyak belum menunjukkan pengaruh signifikan terhadap rencana kerja eksplorasi maupun eksploitasi migas tahun depan.

Jika dilihat dari target investasi, terdapat penurunan yang besar. Tahun ini target investasi migas 14,44 miliar dollar AS, sementara tahun depan target investasi 12,9 miliar dollar AS.

Realisasi investasi hulu migas sampai kuartal ketiga tahun ini 8,65 miliar dollar AS. Tahun lalu, dari target investasi migas 11,1 miliar dollar AS, realisasi 10,7 miliar dollar AS. (DOT)

Senin, 22 Desember 2008

Empat Dosa Keuangan Global


Oleh Iman Sugema

Krisis finansial global kini semakin nyata dan telah menimbulkan korban. Lima negara berkembang telah meminta pertolongan IMF dan ekonomi dunia telah memasuki resesi yang diperkirakan paling parah sejak Perang Dunia Kedua. Sebagai catatan akhir tahun, tentu ada baiknya melakukan kilas balik mengenai apa yang sesungguhnya terjadi. Ini penting, bukan hanya sebagai arena pembelajaran, tetapi juga untuk memprakirakan apa yang terjadi selanjutnya. Untuk itu, identifikasi mengenai sumber-sumber penyebab krisis menjadi penting.

Harap diingat bahwa krisis kali ini sangatlah berbeda dibanding krisis-krisis sebelumnya. Setidaknya, dunia saat ini menghadapi tiga jenis krisis, yakni krisis di sektor properti yang pada umumnya melanda negara-negara maju dan krisis finansial serta krisis pasar komoditas yang melanda seluruh negara tanpa ada satu pun yang terlewatkan. Ini merupakan jenis krisis yang tidak pernah dialami umat manusia sebelumnya dan mungkin merupakan krisis yang paling besar.

Lantas, apa yang salah? Dari berbagai literatur, kita bisa mengidentifikasi empat penyebab krisis. Kalangan ekonom secara populer menyebutnya sebagai four deadly sins atau empat dosa yang mematikan.

Pertama, kita lupa bahwa untuk menjaga kesinambungan, dibutuhkan sebuah keteraturan yang sangat tertata rapi. Contohnya adalah keteraturan dalam pergerakan jagat raya yang merupakan sunatullah yang menjamin bintang dan planet tidak saling bertubrukan sampai akhir zaman nanti. Dalam pasar finansial global, bentuk keteraturan seperti ini hampir tidak ada. Modal sepenuhnya digerakkan oleh motif mencari untung sebesar-besarnya tanpa sepenuhnya mempertimbangkan kesinambungan jangka panjang.

Pasar finansial global mungkin satu-satunya pasar yang tidak tersentuh oleh regulasi. Di setiap negara, memang ada regulator yang mengatur pasar dalam negeri. Tetapi, dengan integrasi pasar yang semakin dalam, modal bebas bergerak selama 24 jam sehari dari satu pasar ke pasar lainnya. Liberalisasi telah menyebabkan otoritas keuangan di masing-masing negara telah kehilangan kemampuan dalam mengendalikan para investor besar, terutama hedge fund.

Salah satu contohnya adalah perkembangan pasar derivatif keuangan yang tidak tersentuh oleh regulasi, khususnya yang menyangkut collateralized debt obligation (CDO). Penerbitan CDO merupakan rekayasa keuangan yang dibuat oleh manajer investasi yang telah memungkinkan mereka menyembunyikan risiko yang timbul dari aset-aset yang berkualitas jelek. Akibatnya, aset yang jelek sekalipun--seperti subprime mortgage--menjadi begitu mudah diperjualbelikan karena telah dicampur dengan aset yang berkualitas baik. Harga aset berkualitas jelek menjadi terdongkrak dengan exposure risiko yang semakin besar. Aset berkualitas jelek ini kemudian dibiarkan menggunung dan diserap oleh pasar.

Hasil akhirnya bisa ditebak. Ketika krisis subprime mortgage mulai merebak, harga-harga aset yang berkaitan dengannya ikut jatuh karena portofolionya terkontaminasi. Dalam pasar yang sehat dan tertata baik, seharusnya jenis aset yang jelek disisihkan dari neraca dan tidak diperdagangkan. Bukankah kita dilarang untuk mengurangi timbangan, mencampur yang haram dengan yang halal, dan mencampur barang dagangan yang berkualitas jelek dengan yang berkualitas baik?

Kedua, dalam sistem keuangan modern, telah dimungkinkan untuk mentransfer risiko kepada pihak lain melalui sekuritisasi bank sebagai originator pemberi kredit perumahan yang bisa menjual kreditnya kepada pihak lain melalui pasar modal. Dengan cara ini, bank tidak lagi bertanggung jawab atas risiko gagal bayar yang terjadi di kemudian hari. Dengan kata lain, bank tidak harus peduli dengan kemampubayaran para nasabahnya. Bank mejadi terdorong untuk menerbitkan kredit secara tidak hati-hati karena risiko akan ditanggung oleh pihak lain. Itulah yang disebut dengan moral hazard dalam arti yang sebenarnya. Ini jelas menyalahi kaidah dasar transaksi yang adil.

Ketiga dan mungkin yang paling penting adalah kenyataan bahwa pemerintahan Presiden Bush mendefinisikan American dream sebagai sebuah mimpi yang sangat materialistik. Majalah Newsweek mengulas khusus mengenai dosa Bush ini. Mimpi Amerika didefinisikan sebagai sebuah keluarga yang terdiri atas sepasang suami istri dengan satu atau dua anak serta memiliki rumah yang luas dengan rumput hijau di halaman depan dan belakangnya plus satu atau dua buah mobil. Untuk mewujudkan impian ini, dibuatlah berbagai kemudahan dalam kredit pemilikan rumah dan kendaraan bermotor. Bahkan, ada skema khusus untuk kredit tanpa down payment.

Rumah tangga didorong untuk berutang kepada bank agar dapat mengejar mimpi tersebut. Hasil akhirnya adalah rata-rata utang per rumah tangga di Amerika mencapai 118 ribu dolar. Di lain pihak, rata-rata tabungan per keluarga hanya 380 dolar saja. Rakyat Amerika merupakan masyarakat yang gemar berutang atau lebih besar pasak daripada tiang. Lantas, dari mana utang tersebut dibiayai. Tentunya, dengan cara gali lubang tutup lubang. Cara ini sangat dimungkinkan mengingat kepemilikan kartu kredit per keluarga mencapai 12 buah. Menarik uang dari satu kartu kredit untuk membayar kewajiban kredit yang lainnya.

Keempat, liberalisasi keuangan yang ugal-ugalan dengan agenda untuk menyedot sumber daya keuangan negara berkembang ke negara maju. Melalui liberalisasi, pergerakan modal antarnegara menjadi sangat volatile. Di samping itu, hampir setiap negara didorong untuk mengadopsi rezim nilai tukar mengambang. Dalam rezim ini, nilai tukar sangat ditentukan oleh pergerakan modal. Untuk menghindari fluktuasi yang tajam dalam nilai tukar, negara kecil dan negara berkembang harus memupuk cadangan devisa.

Pada umumnya, cadangan devisa berbentuk mata uang asing dan surat berharga asing yang diterbitkan oleh negara-negara maju. Jadi, dengan memupuk cadangan devisa sebetulnya kita telah memberi pinjaman kepada negara maju, khususnya Amerika. Dengan kata lain, sumber daya keuangan negara berkembang tersedot oleh negara maju untuk membiayai konsumsi mereka. Perlu diketahui bahwa total utang Pemerintah Amerika saja mencapai 12 triliun dolar yang berarti bahwa negara tersebut merupakan pengutang terbesar di dunia.

Sebagai penutup, dunia memang tidak adil. Kita yang membiayai pola konsumerisme negara maju dan kita pun harus terkena imbasnya. Diperlukan sebuah arsitektur keuangan global baru supaya negara berkembang diperlakukan secara adil. Harus ada jalan baru.

(-)

Setitik Harapan di Tahun 2009


A Tony Prasetiantono

Tahun 2008 yang segera berakhir telah meninggalkan serangkaian ”drama” perekonomian yang menggemaskan.

Mulai dari kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai 147 dollar AS per barrel (11 Juli), hancurnya pasar modal sesudah kebangkrutan Lehman Brothers (15 September), kenaikan harga BBM bersubsidi, yang diralat lagi pada akhir tahun. Meski perekonomian Indonesia goyah, ternyata pertumbuhan ekonomi 2008 masih terjaga di level 6 hingga 6,1 persen.

Tahun 2009, perjalanan ekonomi Indonesia bakal lebih terjal. Melambatnya perekonomian global diperkirakan akan tertransmisi ke perekonomian domestik. Meski demikian, negara-negara emerging markets diproyeksikan memiliki derajat kekebalan tertentu, yang agak dapat menetralisasi dampak negatif krisis global.

Mengapa cukup kebal?

Dalam versi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, pertumbuhan ekonomi 2009 negara-negara maju hampir semuanya negatif. Amerika Serikat akan tumbuh -0,91 persen, Inggris -1,12 persen, Jerman -0,75 persen, Perancis 0,36 persen, Italia -1,03 persen, Belanda -0,17 persen, dan Jepang -0,15 persen.

Sebaliknya, negara-negara berkembang, khususnya emerging markets, masih mengalami pertumbuhan positif meski melambat. Misalnya, China tumbuh 8 persen, versi lain bahkan 9 persen, India 7,3 persen, Korea Selatan 2,67 persen, Brasil 3 persen, Afrika Selatan 3 persen. Bagaimana Indonesia? OECD masih optimistis Indonesia bisa tumbuh 5,4 persen. Beberapa versi lain juga masih berani meyakini ekonomi kita tumbuh 5 persen. Mengapa demikian?

Yang membedakan antara negara maju dan negara berkembang adalah karakteristik sektor finansialnya. Negara maju didominasi bank investasi (investment bank), sedangkan negara berkembang bertumpu pada perbankan konvensional. Namun, justru sistem perbankan tradisional inilah yang selamat dari hantaman krisis.

Sebenarnya, krisis finansial global merupakan koreksi dari fenomena yang berkembang pesat sejak 1990-an, saat bank investasi di negara maju, terutama AS, tumbuh cepat, amat agresif, hingga jauh melampaui kemampuan sektor riil untuk menyangganya. Bank investasi beroperasi tidak secara konvensional seperti bank-bank komersial (di Indonesia disebut bank umum). Bank investasi ”membiakkan” dana dari nasabah (baik individu kaya maupun institusi) ke berbagai portofolio, yang bisa memberi hasil (yield) tinggi. Misalnya, diinvestasikan ke berbagai bentuk surat berharga, seperti saham, obligasi, reksadana, bahkan derivatif.

Produk-produk sektor finansial ini kian lama kian beragam, bertambah setiap saat sehingga jenis derivatif melampaui lebih dari 200 varian. Portofolio ini cepat memberi keuntungan berlipat. Namun, sebagaimana diingatkan teori ekonomi, perolehan keuntungan yang besar juga mengandung risiko kerugian yang besar pula (high risk, high return).

Dibanding bank komersial, karakteristik bank investasi ini berbeda. Bank-bank komersial beroperasi secara konvensional. Mereka mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) atau masyarakat, mulai dari kelompok yang pendapatannya paling rendah hingga superkaya tanpa pandang kriteria. Semua orang bisa menyimpan dananya di bank komersial. Dana ini lalu ”diputar”, terutama ke sektor riil, misalnya memberi kredit pabrik semen, pabrik sepatu, usaha kecil dan menengah, kredit sepeda motor, dan kartu kredit.

Adapun bank investasi lebih menonjol dalam exposure yang menghasilkan margin keuntungan sebesar-besarnya dan sesingkat-singkatnya. Konsekuensinya, hal ini sering ”diboncengi” unsur spekulatif.

Karena itu, krisis kali ini lebih memberi dampak negatif langsung terhadap perbankan investasi (di negara maju) daripada imbas terhadap perbankan konvensional (di negara berkembang). Itu sebabnya proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 di emerging markets masih positif, sementara di negara maju sudah negatif (kontraktif). Negara berkembang, terutama Asia, termasuk cukup kebal terhadap hantaman krisis global.

Pertumbuhan 5 persen?

Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 yang paling moderat adalah antara 4,5 persen hingga 5 persen. Dari mana asal pertumbuhannya? Dalam struktur produk domestik bruto (PDB) kita, variabel yang paling dominan adalah konsumsi, yang menyumbang sekitar 60 persen dan investasi yang berkontribusi 24 persen. Artinya, jika kita masih bisa menjaga kedua variabel ini, pertumbuhan ekonomi tetap bisa didorong.

Modal terbesar menghadapi 2009 adalah inflasi yang lebih rendah. Tahun ini, inflasi saya perkirakan sekitar 10,8 persen, lebih rendah dari perkiraan semula 12 persen, yang disebabkan turunnya harga minyak dunia. Untuk perekonomian Indonesia yang biasanya sensitif terhadap kenaikan harga BBM domestik, angka ini tidak terlalu jelek. Pada 2005, saat harga BBM dinaikkan, inflasi kita 17,11 persen.

Selanjutnya, tahun 2009 inflasi pasti akan turun karena harga minyak dunia terus menurun. Akhir pekan lalu, harga minyak dunia anjlok ke 34 dollar AS/barrel (19/12/2008), terendah sejak krisis minyak pertengahan 2005. Fenomena ini amat tidak inspiratif bagi efisiensi penggunaan energi, dan tidak mendorong energi alternatif yang berbasis kelapa sawit. Kita rugi saat harga sawit juga ikut turun.

Sisi positifnya adalah, inflasi 2009 bakal banyak terpangkas. Boleh jadi kembali ke level normal 6 atau 6,5 persen. Meski dengan catatan, inflasi yang rendah sebenarnya juga mencerminkan melemahnya daya beli (purchasing power). Jika expected inflation 6,5 persen, bisa menjadi momentum penurunan suku bunga. Saat ini, BI Rate masih 9,25 persen, dan diharapkan akan turun secara agresif tahun 2009. Saya perkirakan BI Rate akan mencapai sekitar 8 persen pada pertengahan 2009. Selanjutnya, jika tren inflasi rendah berlanjut, BI Rate bisa diturunkan lagi, misalnya menjadi 7,5 persen.

Semoga skenario ini dapat berjalan, sejalan tren global saat ini. Suku bunga di AS, Fed Rate, dipangkas drastis dari 1 persen ke 0,25 persen. Jepang juga sudah memotong suku bunga dari 0,3 persen menjadi 0,1 persen. Bunga Zona Eropa 2,5 persen, Australia 5,25 persen, China 5,58 persen, dan Korea Selatan 3,0 persen. Tampaknya, tren penurunan suku bunga masih mungkin berlanjut. Bahkan, AS kemungkinan segera menyamai Jepang, yang lebih dulu menjalankan zero interest rate, pada level bunga 0,1 persen.

Dengan suku bunga rendah, gairah konsumsi dan investasi dapat dipertahankan. Sepanjang 2008, kredit sektor perbankan tumbuh 30 persen hingga mencapai Rp 1.400 triliun, berbanding dana masyarakat yang masuk ke bank Rp 1.700 triliun. Pada 2009, kredit masih tumbuh meski melambat menjadi 20 persen.

Kombinasi antara inflasi rendah dan suku bunga rendah diharapkan dapat mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi 2009, setidaknya 4,5 persen atau 5 persen. Agresivitas pemerintah membelanjakan APBN, melalui defisit anggaran 2,0 persen terhadap PDB, akan menjadi kunci lain bagi pencapaian ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

ANALISIS EKONOMI


Reorientasi Kebijakan Fiskal Moneter




M Ikhsan Modjo

Dalam literatur ilmu ekonomi kontemporer kerap dinisbahkan bahwa kebijakan moneter adalah instrumen pengendalian harga, sementara kebijakan fiskal adalah wahana untuk melakukan stimulus counter-cyclical.

Untuk mengantisipasi pelambatan ekonomi, penisbahan kedua instrumen makro ini agaknya harus diputar balik.

Kebijakan moneter diorientasikan sebagai stimulus, sementara kebijakan fiskal diorientasikan sebagai alat pengendalian harga. Reorientasi ini perlu karena ada beberapa alasan untuk menyangsikan keefektifan stimulus fiskal saat ini.

Pertama, peningkatan defisit anggaran saat krisis rentan terhadap budgetary capture. Pemberian insentif yang ditujukan sebagai stimulus justru menjadi ajang mencari rente kelompok kepentingan. Saat ini, berbagai desakan yang menjebak pemerintah masuk dalam perangkap itu sudah terdengar. Insentif penundaan pembayaran pajak atau subsidi bea masuk adalah contoh kasus.

Selain memberatkan anggaran akibat potential loss pendapatan yang bisa mencapai triliunan rupiah, kebijakan itu juga bisa mengakibatkan lebih dalamnya dampak krisis. Subsidi bea masuk yang bersifat gebyah uyah, justru akan mengakibatkan kebocoran dalam bentuk peningkatan impor.

Satu insentif fiskal yang bersifat one-off tidak diiringi perbaikan fundamental tidak akan efektif. Hanya sekadar menggelembungkan tabungan domestik. Lebih celaka jika justru dilarikan ke luar negeri.

Delapan puluh persen peningkatan pendapatan golongan menengah atas di AS, yang didapat dari insentif fiskal berupa pemotongan pajak sebesar 100 miliar dollar AS awal 2008, misalnya, hanya diparkir di tabungan, tidak mendongkrak konsumsi sebagaimana diharapkan.

Kedua, stimulus melalui kebijakan fiskal saat ini juga mendesak keluar ketersediaan kredit bagi sektor swasta. Dengan demikian, kebijakan yang diambil akan bersifat netral terhadap pengeluaran karena terkompensasi penurunan kredit di sektor swasta.

Ketiga, peningkatan defisit berisiko fiskal yang tinggi karena minimnya alternatif pembiayaan. Salah satu imbas krisis adalah pengetatan likuiditas. Keketatan terjadi akibat meningkatnya preferensi likuiditas dari perusahaan dan rumah tangga yang dilandasi keinginan berjaga-jaga dari berbagai risiko bisnis yang meningkat. Kondisi ini menyulitkan upaya pencarian dana talangan dari luar untuk menambal peningkatan defisit anggaran.

Demikian pula keketatan likuiditas akan terjadi pada perekonomian domestik. Rumah tangga konsumen dan perusahaan cenderung menahan belanja, berjaga dari hal yang tidak diinginkan bila ada guncangan. Repatriasi modal keluar terus dilakukan oleh banyak anak perusahaan asing di dalam negeri sebagai upaya penguatan likuiditas induknya.

Sementara itu, perbankan domestik akan lebih berhati-hati dan menahan laju pertumbuhan kredit untuk meminimalkan risiko pasar dan pinjaman. Oleh karena itu, pembiayaan defisit melalui pasar uang domestik bisa kontraproduktif karena akan menambah tekanan terhadap likuiditas, pada gilirannya menekan suku bunga ke atas, yang berimplikasi balik pada rumah tangga dan perusahaan.

Tingginya suku bunga menambah beban bunga utang dan pembiayaan, serta menekan nilai aset, yang akan menurunkan daya beli rumah tangga dan memperburuk neraca perusahaan.

Keempat, peningkatan defisit terganjal lemahnya daya serap anggaran pemerintah, yang sering dibelanjakan pada akhir satu siklus fiskal untuk berbagai kegiatan yang konsumtif sehingga tak memiliki dampak berganda seperti diharapkan.

Menjaga harga

Dari berbagai kelemahan itu, patut diragukan efektivitas kebijakan fiskal sebagai stimulus pengeluaran.

Kebijakan fiskal sebaiknya dibatasi untuk menjaga lonjakan harga yang bersumber dari sisi penawaran, seperti subsidi pada pangan, energi, dan infrastruktur yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Sebaliknya, stimulus pengeluaran seharusnya dilakukan melalui kebijakan moneter yang masih memiliki ruang manuver luas. Stimulus ini juga melalui mekanisme perbankan, yang relatif bersifat netral dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kekhawatiran bahwa ekspansi akan menyebabkan pelarian modal dan depresiasi itu berlebihan. Sebab, pergerakan modal saat krisis bukan dilandasi perbedaan paritas suku bunga, tetapi lebih dilandasi motif berjaga-jaga.

Kekhawatiran itu juga ahistoris karena kebijakan moneter ketat, seperti saat krisis ekonomi 1997/1998, justru dampaknya bertolak belakang dengan yang diharapkan. Kebijakan moneter ketat menekan pasar modal dan memperburuk neraca rumah tangga, yang akhirnya berimbas pada perbankan dan otoritas moneter serta pemerintah.

M Ikhsan Modjo Direktur Indef; Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Unair

Jumat, 19 Desember 2008

Kembali ke Konsep Kurs Tetap


Dalam situasi ekonomi dunia yang penuh ketidakpastian berkepanjangan, semestinya setiap negara berkepentingan mengurangi jumlah variabelvariabel liar ekonomi.

Salah satu variabel itu adalah kurs atau nilai tukar mata uang nasional terhadap mata uang asing, khususnya terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang masih berjaya sebagai mata uang dunia. Dalam ilmu ekonomi, khususnya perdagangan dan keuangan internasional, dikenal nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dan nilai tukar mengambang (floating).

Kedua sistem nilai tukar ini mempunyai modifikasinya masing-masing. Misalnya ada currency board arrangement, ada pula kurs tetap, tetapi dengan band (naik-turun) yang terbatas. Indonesia mempunyai cukup banyak pengalaman dengan rezim nilai tukar rupiah.

Pernah menjalankan kurs tetap, kurs tetap dengan bandyang sedikit demi sedikit dilonggarkan, dan kurs mengambang penuh seperti sekarang ini. Secara teoretis, kurs mengambang penuh artinya sepenuhnya diserahkan pada mekanisme atau kekuatan pasar. Tetapi dalam praktiknya bank sentral diam-diam atau terangterangan sering campur tangan untuk menjinakkan kurs.

Intervensi ini sering gagal meski dengan biaya yang mahal.Selain itu, dalam beberapa kejadian,intervensi bank sentral ini justru merangsang para spekulan di pasar uang untuk lebih giat bermain. Setiap sistem nilai tukar tentu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Persoalannya adalah mana yang lebih cocok untuk dipilih pada waktu (periode) tertentu dan wilayah (negara) tertentu.

Bagi negeri dengan skala ekonomi internasional yang relatif kecil seperti Indonesia, dalam ekonomi perdagangan dunia yang penuh uncertainty ini, kurs tetap merupakan pilihan yang lebih tepat atau layak dipertimbangkan mengingat hal-hal sebagai berikut. Pertama, kurs tetap lebih memberi kepastian dalam kalkulasi harga/cost bagi eksportir dan importir. Kedua, memudahkan penyusunan APBN,khususnya pos-pos anggaran yang berkaitan dengan valuta asing seperti penerimaan migas dan pembayaran utang luar negeri berikut bunganya.

Ketiga, tidak dipusingkan dengan naik turunnya nilai tukar rupiah yang dapat mengganggu ekonomi pada umumnya dan ekspor-impor serta inflasi pada khususnya. Kita juga sering melihat fluktuasi berbagai mata uang dunia yang sebenarnya sulit dibaca atau dijelaskan alasannya secara ekonomis.

Dengan perkataan lain, fluktuasi kurs yang tidak beralasan itu lebih mencerminkan kekuatan spekulan pasar yang berburu keuntungan dengan menggonjang-ganjingkan kurs. Keempat, mengurangi hasrat spekulasi di pasar valas karena setiap penukaran rupiah ke mata uang asing vice-versa terkena komisi penukaran,sementara kursnya tetap. Kelima, mengembalikan fungsi utama uang sebagai alat pembayaran dan penyimpanan kekayaan, bukan sebagai barang dagangan.

Keenam, dengan rezim kurs tetap diharapkan para pemilik uang terdorong menggunakan uangnya untuk diinvestasikan di sektor riil—bukan untuk spekulasi valas—agar bisa menyerap tenaga kerja. Ketujuh, stabilitas kurs mata uang juga bisa mengurangi permainan pressure group atau politisasi atas fluktuasi rupiah dari kekuatan dalam negeri maupun luar negeri.

Dalam era globalisasi ini, rezim fixed exchange rate akan lebih mencapai sasaran stabilitasnya bila diikuti oleh sebanyak mungkin negara. Meski secara teoretis mudah dikatakan, tidak berarti kebijakan kurs tetap tidak berisiko seperti terjadinya devaluasi. Karena itu apabila dipilih kebijakan kurs tetap, harus didukung dengan paket kebijakan pengamanannya. Misalnya, setiap hasil ekspor harus disimpan di dalam negeri dan importir dijamin keperluan valasnya.

Tetapi dalam keadaan ekonomi yang serbaliar seperti sekarang, tampaknya kurs mengambang jauh lebih mahal dan besar risikonya seperti yang kita alami selama ini. Malaysia dengan kebijakan kurs tetapnya terbukti lebih berhasil atau sekurang-kurangnya lebih selamat ekonominya daripada Indonesia.

Walaupun pemilihan rezim fixed exchange rate itu sesuatu yang amat biasa dan merupakan kedaulatan ekonomi suatu negara, tetapi khusus untuk Indonesia bisa menjadi luar biasa karena banyaknya pihak yang berkepentingan dengan Indonesia, baik secara politik maupun ekonomi.Artinya, pada tahap awal ide kembali ke kebijakan fixed exchange rate di Indonesia dapat diduga akan memperoleh tantangan keras seperti yang pernah dialami Malaysia.

Lebih-lebih Indonesia merupakan negara yang sarat dengan utang luar negeri, dan percaya atau tidak dalam sebelas tahun terakhir ini kebijakan pokok ekonominya diatur dari Washington DC. Nah, siapa sebenarnya pemegang kedaulatan ekonomi Indonesia?(*)

DR Fuad Bawazier
Mantan Menkeu/ Ketua DPP Hanura

Kamis, 18 Desember 2008

Konsumsi, Resesi, dan Kemiskinan


ALI KHOMSAN

Setiap ada pembagian makanan, selalu terjadi rebutan. Ini mengindikasikan bangsa ini masih miskin secara ekonomi, serta miskin etika ketertiban, antre, dan disiplin.

Mengapa rakyat kita rela antre berjam-jam dan berebutan kupon, misalnya daging kurban? Karena mereka jarang makan daging. Rendahnya konsumsi daging tecermin dari data yang menunjukkan, pada tahun 2005 rata-rata konsumsi daging hanya 7,1 kg/kapita/tahun, lebih kecil dibanding Malaysia (48 kg), Thailand (25 kg), atau Filipina (18 kg).

Pada tahun yang sama bangsa Indonesia hanya minum susu 6,8 liter/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 25 liter, Thailand 24.9 liter, dan Filipina 11.3 liter. Dengan peningkatan konsumsi susu yang amat lambat, diprediksi kita baru bisa mengejar Malaysia setelah 120 tahun. Bahkan, jika kita ingin menyamai AS yang konsumsi susunya 100 liter, diperlukan waktu enam abad. Untuk konsumsi telur, kita juga masih tertinggal, yakni Indonesia 50 butir/kapita/tahun, Malaysia 246 butir, dan Thailand 130 butir.

Terjemahan gambaran itu, hanya satu hari dalam seminggu rata-rata rakyat Indonesia bisa makan empat sehat lima sempurna. Enam hari sisanya, mereka menjadi vegetarian karena kemiskinan. Tak mengherankan jika 25 persen anak balita Indonesia tergolong stunted (pendek). Juga anak-anak usia sekolah banyak yang tak bisa mencapai tinggi badan optimal.

Kualitas konsumsi

Di tengah polemik swasembada pangan, kita disentak kenyataan, kualitas konsumsi bangsa kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Dari konsumsi pangan, potret kemiskinan kita mungkin membuat para pemimpin tidak bisa tidur nyenyak. Meski data BPS menunjukkan terjadi pengurangan rakyat miskin, tetapi kenyataan menunjukkan banyak masyarakat masih hidup susah dan makan seadanya.

Kemiskinan bangsa Indonesia mungkin akan kian parah saat tsunami resesi dunia menghampiri kita tahun 2009. Rendahnya permintaan produk ekspor dan PHK di mana-mana akan memunculkan gelombang besar pengangguran. Dampaknya, angka kemiskinan bakal meningkat. Menteri Keuangan kini masih bingung, siapa yang akan ditolong lebih dulu? Masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau pengusaha yang mulai pingsan.

Dunia yang kurang adil telah menyebabkan kemiskinan kian sulit teratasi. Kemiskinan menjadi masalah dunia, bukan hanya bangsa Indonesia. Dari enam miliar penduduk bumi, 2,8 miliar di antaranya hanya berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS/hari. Sekitar 1,2 miliar penduduk hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dollar AS/hari.

Jika di negara kaya hanya satu dari 100 anak balita yang tidak dapat melangsungkan hidupnya, di negara miskin 20 anak dari 100 anak balita mati sebelum menginjak usia lima tahun. Lima puluh persen anak balita di negara miskin mengalami kurang gizi.

Kesejahteraan global dan perkembangan teknologi yang diraih manusia melaju seabad terakhir ini. Namun, pertumbuhan mencengangkan ini tidak terdistribusi secara adil. Rata-rata penghasilan masyarakat di 20 negara terkaya adalah 37 kali lipat dibandingkan 20 negara termiskin.

Evolusi program pengurangan kemiskinan telah terjadi sejak 50 tahun lalu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, investasi berupa pembangunan sarana fisik dan infrastruktur dianggap sebagai strategi jitu untuk melawan kemiskinan. Sekitar tahun 1970-an, baru disadari, investasi seperti itu tidak cukup. Maka, mulai diterapkan kebijakan yang berorientasi pada perbaikan pendidikan dan kesehatan.

Dua strategi

World Development Report 1990 mengusulkan dua strategi mengatasi kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja melalui keterbukaan ekonomi dan terus menekankan pentingnya perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan.

Indonesia perlu mengacu pada tren pengurangan kemiskinan yang mengedepankan tiga hal: promoting opportunity, facilitating empowerment, dan enhancing security. Maksud promoting opportunity adalah memberi kesempatan kepada orang miskin untuk mengakses pekerjaan, sarana transportasi, listrik, pasar, sekolah, air bersih, sanitasi, dan kesehatan.

Arah Indonesia sudah benar saat meluncurkan askeskin sehingga orang miskin dapat gratis mengakses layanan kesehatan. Begitu juga dengan program pendidikan dasar gratis (meski belum menyeluruh). Berbagai kebijakan yang sudah pro rakyat miskin perlu dikawal dengan pengawasan. Jika tidak, implementasi di lapangan akan rawan penyelewengan. Bukankah negara kita termasuk paling korup?

Facilitating empowerment adalah bagaimana mewujudkan harmoni antara proses politik, ekonomi, dan sejumlah kelembagaan yang ada sehingga menjadi responsif terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat miskin. Aneka kendala akibat perbedaan jender, etnis, dan status sosial harus disingkirkan. Semua warga negara berhak mendapat layanan sama. Memberdayakan perempuan secara langsung atau tidak akan membuka kesempatan ekonomi bagi orang miskin. Perempuan adalah pilar ekonomi kedua rumah tangga. Ketahanan pangan keluarga akan menjadi lebih baik bila perempuan ikut mencari nafkah. Penghasilan perempuan dalam rumah tangga miskin cenderung dialokasikan untuk kesejahteraan anak-anaknya.

Enhancing security adalah mengurangi tingkat kerawanan akibat ketidakstabilan ekonomi, bencana alam, kesakitan, dan aneka tindak kekerasan. Ini menjadi pendorong terwujudnya SDM berkualitas.

Dibutuhkan aksi nyata pemerintah untuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak berat bagi orang miskin. Tanpa strategi ekonomi memadai, orang miskin akan kian menderita akibat gejolak pasar dunia. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Kredit UMKM Tak Menjadi Andalan


Rasio NPL Kredit Usaha Rakyat 0,84 Persen

Jakarta, Kompas - Dalam kondisi krisis seperti sekarang, perbankan nasional ternyata tidak mengandalkan kredit usaha mikro, kecil, dan menengah sebagai penopang pertumbuhan kredit. Terbukti, porsi kredit UMKM terhadap total kredit cenderung menurun belakangan ini.

Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia, posisi kredit UMKM per Oktober 2008 sebesar Rp 625,95 triliun atau 48 persen dari total kredit yang mencapai Rp 1.298 triliun.

Porsi tersebut jauh menurun dibandingkan periode yang sama tahun 2007 sebesar 52 persen. Artinya, dalam setahun terakhir, pertumbuhan kredit korporasi lebih cepat dibandingkan kredit untuk UMKM.

Kredit korporasi merupakan kredit dengan plafon di atas Rp 5 miliar. Adapun kredit UMKM berplafon Rp 5 miliar ke bawah.

Pengamat perbankan, Ryan Kiryanto, Rabu (17/12) di Jakarta, mengatakan, sepanjang tahun ini perbankan memang cukup agresif menyalurkan kredit korporasi bernominal besar, seperti di antaranya infrastruktur dan perkebunan.

Relatif lambatnya penyaluran kredit UMKM, ujar Ryan, juga dipicu oleh melemahnya kinerja UMKM akibat penurunan permintaan produk.

Perilaku perbankan yang tidak mengutamakan penyaluran kredit ke sektor UMKM sangat berisiko mengingat sektor korporasi amat rentan terguncang krisis keuangan global.

Sebaliknya, berdasarkan pengalaman krisis tahun 1997-1998, sektor UMKM terbukti mampu bertahan. Karena itu, perbankan diharapkan lebih mengutamakan penyaluran kredit UMKM.

Salah satu jenis kredit UMKM yang risikonya kecil ialah kredit usaha rakyat (KUR). Risiko KUR kecil karena menggunakan skema penjaminan.

Mengurangi penganggur

Hingga November 2008, posisi KUR mencapai Rp 12,03 triliun yang disalurkan kepada 1,6 juta debitor. Komposisinya, KUR dengan nominal di atas Rp 5 juta sebesar Rp 2,85 triliun dan KUR Rp 5 juta ke bawah senilai Rp 5,75 triliun.

Jumlah debitor KUR di bawah Rp 5 juta mencapai 1,48 juta debitor atau 94 persen dari total debitor KUR. Dalam konteks ini, program KUR bisa mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan.

Dari total KUR yang disalurkan, sebanyak 60,13 persen disalurkan ke sektor perdagangan, restoran, dan hotel; sebanyak 21,26 persen ke sektor pertanian; dan 3,27 persen ke sektor jasa.

Selebihnya, sebanyak 2,11 persen ke sektor industri pengolahan, 1,9 persen ke sektor konstruksi, 1,57 persen ke sektor pertambangan, dan sisanya ke sektor lain.

Dilihat dari jumlah debitor yang mendapat kredit, pangsa terbesar dipegang BRI sebanyak 1,5 juta debitor atau 96,17 persen. Bank Mandiri sebanyak 36.974 debitor (2,52 persen), BNI 8.982 debitor (0,61 persen), Bank Syariah Mandiri sebanyak 5.956 debitor (0,43 persen), dan Bank Bukopin sebanyak 2.952 debitor (0,2 persen).

Sekretaris Perusahaan BRI Hartono Sukiman mengatakan, posisi KUR BRI per akhir November 2008 mencapai Rp 8,6 triliun. Rasio kredit bermasalah (NPL) KUR secara nasional mencapai 0,84 persen dengan nominal sebesar Rp 52,8 miliar yang dimiliki oleh 5.483 debitor. (FAJ/OSA)

Berakhirnya Rezim Kontrak Karya


Harapan akan adanya perbaikan tata kelola kekayaan tambang kini muncul. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Selasa lalu. Dengan undang-undang baru ini, pemerintah berpeluang menegosiasikan ulang semua kontrak karya pertambangan yang dianggap merugikan negara.

Perlunya evaluasi total atas rezim kontrak karya yang dipayungi Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 ini sesungguhnya sudah lama disuarakan. Sepuluh tahun yang lalu Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat, bahkan menuding kontrak karya yang diteken perusahaan tambang raksasa Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia berbau kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Salah satu keganjilan yang disorot Winters adalah perpanjangan masa kontrak tambang buat Freeport di Papua selama 30 tahun. Kontrak baru ini diberikan jauh sebelum masa kontrak pertama berakhir pada 2003. Freeport rupanya berkepentingan untuk segera mengamankan posisinya karena berhasil menemukan Grasberg, lahan baru tambang emas dan tembaga bernilai US$ 60 miliar, setelah sejak 1973 hanya mengandalkan Ertsberg. Pesan Winters saat itu: perlu negosiasi ulang kontrak karya Freeport.

Anjuran serupa dikemukakan oleh Profesor Joseph E. Stiglitz ketika bertandang ke Indonesia tahun lalu. Menurut pemenang Nobel Ekonomi 2001 ini, globalisasi pada prakteknya tak berlaku adil bagi negara-negara berkembang. Kekayaan sumber daya alam yang dikeruk dan diisap lebih banyak dinikmati negara-negara maju. Itu sebabnya, bekas Kepala Ekonom Bank Dunia ini mendorong Indonesia menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan negara. Pengalaman Bolivia mengajarkan, berkat renegosiasi, negeri miskin di Amerika Latin itu kini mencecap keuntungan lebih besar dari ladang-ladang minyak dan gasnya.

Dalam konteks itu, lahirnya undang-undang tambang yang baru perlu disambut, kendati tidak serta-merta menghapus kontrak-kontrak lama. Kelemahan inilah yang membuat tiga fraksi--Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera--menolak menyetujuinya. Tapi ada sejumlah kemajuan berarti dalam aturan baru yang digodok sejak tiga setengah tahun lalu ini.

Salah satunya, sistem perizinan yang menggantikan sistem kontrak karya memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah untuk melakukan intervensi jika terjadi pelanggaran. Izin penambangan diperpendek dari 30 menjadi 20 tahun. Pemberian kuasa pertambangan tidak lagi dengan penunjukan langsung, melainkan lewat tender terbuka. Luas wilayah pertambangan juga dibatasi maksimal 25 ribu hektare.

Untuk mengakomodasi kepentingan revisi atas kontrak-kontrak lama, pasal 169 undang-undang baru ini bisa dijadikan pintu masuk. Di situ disebutkan, ketentuan dalam kontrak karya disesuaikan paling lambat setahun sejak undang-undang baru disahkan.

Persoalannya kini terpulang pada political will dan keseriusan pemerintah untuk melakukannya. Pemerintah tidak perlu ragu menggelar negosiasi ulang. Rakyat niscaya bakal mendukung, seperti ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan renegosiasi kontrak penjualan gas alam cair Tangguh ke Cina, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.

Rabu, 17 Desember 2008

Korupsi Tetap Mewabah


Parlemen Indonesia Paling Mudah Tergoda

Singapura, selasa - Potret penanganan korupsi di kawasan Asia masih belum menunjukkan banyak kemajuan. Meski Indonesia dicatat menunjukkan perkembangan yang bermakna, Filipina dan Malaysia justru menunjukkan penurunan, sedangkan Thailand dipandang belum banyak berubah dari sebelumnya.

Hal itu disampaikan organisasi Transparansi Internasional (TI) dalam laporan potret korupsi global 2008 yang dirilis pekan lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters, Selasa (16/12).

Di antara negara-negara ASEAN, menurut TI, Kamboja dan Myanmar tergolong paling korup. Korupsi di Malaysia dan Filipina memburuk terkait tuduhan korupsi terhadap kepala negara mereka yang tidak pernah jelas tindak lanjutnya.

Korupsi kroni dan patron politik tertanam dalam di Malaysia, terutama karena sistem yang memberikan keistimewaan bagi etnis Melayu melalui kontrak- kontrak pemerintah yang cenderung akan diberikan kepada orang kaya, yang punya hubungan kuat dengan pejabat pemerintah.

Abdul Jalil Rashid, Manajer Investasi Aberdeen Asset Management Malaysia, menyatakan korupsi sebagai ”hambatan terbesar” bagi investasi di Malaysia. ”Juga ada kesenjangan transparansi yang kemudian mengarah kepada persepsi bahwa terjadi sesuatu yang tidak benar,” kata manajer yang mengelola dana 1,38 miliar dollar AS itu.

TI menyebutkan, posisi Indonesia membaik dalam penanganan korupsi. Fauzi Ichsan, ekonom pada Standard Chartered Bank di Jakarta, mengatakan, korupsi tidak lagi dilihat sebagai salah satu hambatan utama bagi investasi asing di Indonesia. ”Kampanye antikorupsi pemerintah cukup revolusioner,” kata Fauzi.

Di Thailand, tiga pemerintahan jatuh dalam waktu yang singkat terkait dengan korupsi. Potret penanganan korupsi di negara itu tidak bergerak maju.

Laporan tahunan ”Indeks Pembayar Suap” TI menyebutkan, perusahaan-perusahaan di negara yang ekonominya tumbuh besar, seperti China, India, dan Rusia, sering terlibat dalam kasus suap.

Tidak terkejut

Lembaga di kawasan Asia yang dipandang paling mudah tergoda menerima suap adalah parlemen Indonesia. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Muhaimin Iskandar mengaku tidak terkejut dengan penilaian TI. TI menyebutkan bahwa DPR sebagai parlemen Indonesia termasuk yang paling mudah tergoda untuk melakukan korupsi.

Penilaian itu muncul karena belakangan ini banyak terungkap kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan anggota Dewan dan hal itu banyak dipublikasikan media.

”Penilaian TI ini harus jadi pemicu bagi DPR untuk menegakkan aturan. Kalau perlu, pengaturan soal kode etik itu dimasukkan dalam Tata Tertib atau dalam Undang-Undang Susduk DPR agar lebih kuat,” kata Muhaimin.

Meski demikian, Muhaimin yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa proses pembelajaran demokrasi di DPR baru berjalan sangat singkat, yaitu sekitar 10 tahun setelah reformasi.

DPR masih terus menata sistem. Badan Kehormatan DPR, misalnya, baru dibentuk 2004. Adapun Tata Beracara Badan Kehormatan DPR baru diselesaikan satu tahun belakangan.

Muhaimin tidak percaya bahwa korupsi merupakan budaya Indonesia. Dengan adanya aturan dan pelaksanaan yang tegas, dia yakin korupsi dapat diberantas. ”Jadi, satu-satunya cara adalah mempercepat penegakan aturan untuk mengontrol perilaku,” ucapnya.

Polisi dan bea cukai

Polisi Malaysia, dan petugas- petugas bea cukai Filipina juga tergolong paling mudah disuap. Secara keseluruhan, catatan soal negara masing-masing di kawasan ini tentang korupsi sangat beragam. Banyak negara telah melakukan upaya menghilangkan penyuapan, tetapi masalah tetap muncul. Masalahnya, perusahaan-perusahaan tidak lagi melihat kasus suap sebagai sebuah kejahatan.

Analis Bank Dunia, Daniel Kaufman, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi, menyimpulkan dalam studi terbaru mereka, ”Kami tentu saja tidak mempunyai bukti tentang kemajuan berarti soal pemberantasan korupsi di semua pemerintahan di seluruh dunia.”

Pertumbuhan perdagangan internasional dan globalisasi dalam dua dekade terakhir justru memperluas kesempatan melakukan korupsi. ”Melalui globalisasi, kompetisi telah meningkat dan begitu juga kompetisi korupsi,” kata Presiden TI Malaysia Ramon Navaratman, sambil menambahkan, masih banyaknya insentif untuk korupsi.

Masuknya pebisnis besar baru dari India dan China yang mempunyai kebiasaan berbisnis berbeda dari pebisnis Barat membuat tindak korupsi dalam berbagai bentuk semakin meluas. (Reuters/OKI/SUT)

Apa Kabar Pemberdayaan UMKM?
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO / Kompas Images
Rohman (21) menjemur hasil kerajinan dari eceng gondok di Desa Bugel, Kabupaten Kulonprogo, Jawa Tengah, Senin (24/11). Hasil kerajinan itu selanjutnya disetorkan kepada pengekspor seharga Rp 40.000- Rp 70.000 per buah. Rohman termasuk salah satu yang bergiat di usaha mikro, kecil, dan menengah yang seharusnya bisa dibina dan diberdayakan. Namun, usaha seperti dilakukan Rohman adakalanya hanya dijadikan sasaran proyek sesaat dari instansi pemerintah yang mengurus koperasi dan UKM.



Stefanus Osa

Menjelang berakhirnya masa efektif penggunaan anggaran tahun 2008, diputuskan dana bergulir untuk perkuatan modal usaha mikro, kecil, dan menengah tidak dicairkan oleh Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Dana itu dikembalikan ke kas Departemen Keuangan.

Dengan keputusan itu, praktis semangat Kementerian Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemennegkop dan UKM) menjadikan tahun 2008 sebagai Tahun Kebangkitan UMKM pupus sudah.

Menteri Negara Urusan Koperasi dan UKM Suryadharma Ali dalam rapat regional wilayah IV Pemberdayaan Koperasi dan UKM di Balikpapan, Kalimantan Timur, akhir November, menegaskan, ”Dana tersebut dikembalikan kepada Departemen Keuangan. Jika tidak, saya khawatir akan terjadi kecerobohan dan kasusnya berujung di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).”

Anggaran yang dikembalikan ke Departemen Keuangan itu sebesar Rp 381 miliar. Dana itu sebelumnya lebih dikenal dengan sebutan dana bergulir.

Keputusan mengembalikan dana tersebut ke Departemen Keuangan terkait dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99 Tahun 2008 yang mewajibkan dana bergulir harus dikembalikan.

Sebelumnya, sejak pengucurannya tahun 2005, dana bergulir tidak perlu dikembalikan. Ketentuan mengembalikan dana bergulir itulah yang membuat kalangan Kemennegkop dan UKM kalang kabut.

Padahal, terbitnya PMK No 99/2008 semata-mata bertujuan menertibkan keuangan negara, yaitu setiap sen yang dikeluarkan harus dapat dipertanggungjawabkan.

Keluarnya PMK No 99/2008 beralasan bila dikaitkan dengan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang memberi status disclaimer terhadap laporan keuangan Kemennegkop dan UKM.

Selain itu, sebagai dana penguatan modal, dana bergulir pada dasarnya adalah dana investasi, bukan dana sosial. Oleh karena itu, harus dikembalikan.

Selama ini, karena tidak ada ketentuan untuk mengembalikannya, pengguliran dana bergulir acapkali menjadi ajang seremonial pejabat. Ini setidaknya tampak dari catatan pengguliran dana bergulir yang belum diterima BPK secara utuh.

Meski demikian, beberapa deputi di Kemennegkop dan UKM menyatakan dapat menunjukkan jumlah pengucuran dana tersebut, termasuk bunganya, yang masih terus berjalan.

Kredit usaha rakyat

Ketentuan untuk mengembalikan dana bergulir seharusnya tidak perlu dirisaukan. Usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) telah menunjukkan kemampuannya mengembalikan setiap rupiah yang dipinjamkan kepadanya.

Hal itu setidaknya telah dibuktikan dalam program kredit usaha rakyat (KUR), yang diluncurkan pemerintah untuk menggerakkan UMKM.

Para pelaku usaha banyak yang telah memanfaatkan KUR. Ini terlihat dari nyaris dicapainya target penyaluran KUR, yaitu Rp 14,5 triliun.

Dengan keberhasilan itu, pada penghujung tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen akan meningkat program KUR pada tahun 2009, yaitu dengan menaikkan jumlah kredit yang disalurkan menjadi Rp 20 triliun.

Namun, karena penjaminannya yang disetujui dalam APBN baru Rp 1 triliun, kepastian kredit yang bisa dikucurkan baru Rp 10 triliun. Untuk mewujudkan komitmen pemerintah mengucurkan Rp 20 triliun, menunggu persetujuan DPR dalam Perubahan APBN 2009.

KUR dapat menjadi cermin bagi pembelajaran masyarakat bahwa menjalankan bisnis, sekecil apa pun, harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Tidak ada kata ”gratis” dalam membangun usaha dan mengembalikan utang adalah kewajiban yang harus dipenuhi.

Begitu pula yang seharusnya terjadi pada dana bergulir. Jika tidak ada kewajiban mengembalikan, program yang bernuansa kerakyatan itu bisa tergelincir dimanfaatkan untuk ”permainan” politik.

Oleh karena itu, kehadiran PMK No 99/2008 seharusnya tidak perlu ditanggapi emosional karena sebenarnya hanya sebuah aturan untuk menertibkan pengelolaan keuangan negara.

Era pembelajaran

Anggaran Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM tahun 2008 ditetapkan Rp 1,098 triliun. Itu terdiri atas anggaran yang direalisasikan Rp 761 miliar (65,26 persen) dan anggaran yang direalisasikan Lembaga Pengelolaan Dana Bergulir (LPDB) Rp 381 miliar (34,71 persen).

Sebagian besar dana yang dialokasikan dalam daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) dimasukkan dalam pos belanja sosial, bukan belanja modal.

Bantuan perkuatan bagi kelompok usaha mikro pun dimasukkan ke dalam belanja sosial. Dengan demikian, perlakuannya pun penuh ”nuansa sosial”. Mengabaikan sisi bisnis.

Perlakuan ”bernuansa sosial” itu telah membuat usaha mikro dan kecil yang mendapat dana penguatan kurang berkembang sisi bisnisnya.

Sebaliknya, apabila diberi perkuatan modal berbasis komersial, usaha mikro dan kecil tidak mampu menjangkaunya. Mereka tidak menguasai prosedurnya, tidak mampu menyediakan agunan, dan tidak dapat memenuhi persyaratan bank.

Jalan keluar mengatasi dilema itu dinyatakan dalam UU No 20/2008 tentang UMKM. Pasal 21 (1) undang-undang tersebut menyebutkan, pemerintah pusat dan daerah menyediakan pembiayaan untuk UMKM.

Memberdayakan UMKM setidaknya dapat dilakukan dalam tiga l;angkah. Pertama, menciptakan skim pendanaan yang lebih bervariasi, produktif, dan inovatif, serta dapat diakses oleh usaha mikro. Selama ini skim kredit untuk UMKM sangat terbatas.

Kedua, mendorong perbankan agar melaksanakan skim-skim tersebut sebagai produk bank. Selama ini, usaha mikro seolah dipaksa untuk mempunyai kriteria layak bank (bankable), yakni mengharuskan usaha mikro memiliki kelayakan usaha sesuai ukuran perbankan.

Ketiga, memobilisasi potensi dan sumber daya berbagai instansi, baik di pemerintah pusat maupun daerah, untuk menyediakan paket pembiayaan usaha khusus bagi skala mikro. Persyaratan paket ini hendaknya lebih longgar dan dapat berupa subsidi bunga, penjaminan, bantuan pemasaran, ataupun pendampingan.

Mau tidak mau, tanggung jawab pemberdayaan usaha mikro dan kecil ada pada pemerintah. Ini karena perbankan dan lembaga keuangan mikro (LKM) kurang insentif melayani usaha mikro.

Skala usaha yang kecil dengan tingkat risiko bervariasi, dengan lokasi geografis yang tersebar luas, membuat biaya layanan (service cost) per debitor relatif tinggi.

Komitmen memberdayakan usaha rakyat sangat ditunggu. Namun, syaratnya, harus dengan prosedur yang sederhana. Prosedur dan syarat yang rumit hanya akan membuat pelaku usaha mikro dan kecil enggan. Ini pula yang membuat mereka enggan berurusan dengan bank.