Kamis, 21 Januari 2010

Menghadapi FTA

Priyo Suprobo
Rektor ITS

Perjanjian perdagangan bebas ASEAN dan Cina yang membuka lembaran baru di tahun 2010 ini disikapi dengan konotasi pesimistis ibarat 'tsunami' oleh banyak pengamat. Diperkirakan ada 10 sektor yang berpotensi termarginalkan serta berdampak PHK sekitar tujuh juta tenaga kerja, karena lemahnya daya saing. Di antaranya industri permesinan, besi baja, alas kaki, makanan minuman, petrokimia, plastik, dan pertanian.

Lemahnya daya saing secara global seharusnya memacu semua stakeholder bisnis, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat intelektual untuk duduk bersama menyelaraskan energi untuk bersaing. Tulisan berikut berhubungan dengan peran intelektual akademisi dan pendidikan dalam mensinergikan stakeholder untuk meningkatkan daya saing dalam menghadapi dampak 'tsunami' perdagangan bebas.

Daya saing dan pengaruhnya

Daya saing menjadi jargon populer di era globalisasi. Negara dengan daya saing tinggilah yang akan memenangkan persaingan bebas. Model penilaian daya saing suatu negara secara relatif terhadap negara lain diwujudkan dalam berbagai model, antara lain, Human Development Indexes (HDI), Global Competitiveness Indexes (GCI), dan sebagainya. Salah satu komponen daya saing merujuk pada model GCI berhubungan dengan kualitas pendidikan tinggi dan pelatihan (training). Kualitas pendidikan tinggi dan training dalam model GCI dikelompokkan sebagai faktor stimulus bagi penggerak efisiensi ekonomi suatu negara. Selain hal tersebut, maka kemampuan berinovasi dianggap sebagai faktor stimulus bagi penggerak ekonomi inovatif.

Dari model GCI tersebut, maka spirit dari faktor efisiensi dan inovasi tersebut sebenarnya adalah penerjemahan dari konsep Knowledge Based Economic (KBE). Sebagai negara dengan kapasitas sumber daya alam yang berlimpah, maka kita akan memperoleh hasil yang optimal apabila KBE mampu diaplikasikan dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut.

Kemampuan untuk mensinergikan KBE untuk mengelola sumber daya alam melimpah, atau Resources Based Economic (RBE) akan meningkatkan daya saing. Efek domino dari peningkatan daya saing adalah penyerapan tenaga kerja, peningkatan devisa, dan penguatan pilar ekonomi maupun iptek yang inovatif sebagai komponen penting daya saing.

Spirit entrepreneur

Model daya saing tentunya membutuhkan keterpaduan strategi serta keselarasan program antar-stakeholder. Keterpaduan strategi bisa diperoleh bila road map nasional pengembangan antardepartemen fungsional saling connected dan alligned. Tentunya hal ini membutuhkan visi, kepemimpinan, dan good will dari ketiga komponen stakeholder Bussiness, Intelectual, Government (BIG) (Bisnis, Intelektual, dan Government). Selain itu, faktor kondusif yang harus ditumbuhkan di seluruh stakeholder adalah spirit entrepreneur.

Spirit entrepreneur tidaklah mutlak hanya untuk kalangan pebisnis, tetapi spirit entrepreneur yang basis utamanya adalah kreativitas dan inovasi sekarang ini telah diaplikasikan secara luas di segala bidang. Kita kenal istilah intrapreneur sebagai entrepreneur dari para profesional di perusahaan, sociopreneur adalah entrepreneur di bidang pemberdayaan masyarakat, hingga birokat entrepreneur adalah entrepreneur yang mengubah sistem kerja birokrasi menjadi automatikrasi.

Dalam rangka meningkatkan daya saing, maka baik pemerintah, bisnis, maupun intelektual (selanjutnya disingkat BIG : Bussiness, Intelectual, Government) perlu berbagi tugas. Pemerintah sebagai mediator kebijakan seharusnya menciptakan kebijakan yang secara socioengineering telah dikaji dampak positifnya bagi analisis persaingan bisnis nasional maupun tujuan strategis nasional. Sebagai contoh yang bisa dikemukakan adalah pilihan strategis Cina apakah mendukung industri padat karya atau industri teknologi tinggi. Menperindag Cina, Zhong San, mengatakan bahwa mengekspor satu unit pesawat Boeing 747 yang diproduksi Cina adalah lebih rendah manfaat ekonomisnya dibandingkan nilai ekspor yang sama dengan cara mengekspor 30 juta potong kaus buatan Cina.

Dari sisi bisnis, maka dibutuhkan pebisnis andal yang berjiwa 'nasionalis' dengan kultur agresif, pantang menyerah, serta jujur. Adapun dari sisi intelektual, maka pendidikan tinggi sebagai sumber utama penciptaan intelektual harus mampu membentuk karakter mahasiswanya sebagai manusia unggul dan berbudi luhur.

Mengingat bahwa daya saing berbasis pendidikan tinggi yang inovatif hanya bisa diperoleh dengan menggabungkan strategi bersaing dan disesuaikan dengan tujuan strategis nasional, maka pendidikan tinggi, baik yang berbasis iptek maupun sosial, sudah seharusnya membuka perspektifnya dengan cara mengajarkan ilmu manajemen, ilmu manajemen strategis, dan ilmu entrepreneurship sebagai bagian dari penciptaan suasana akademis 'berdaya saing'. Selain itu, ilmu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat perlu diberikan sebagai pelengkap dalam memahami tujuan strategis nasional yang berbasis kebutuhan lokal.

(-)