Rabu, 27 Mei 2009

Peraih Nobel: Perang Irak Pengaruhi Pelambatan Ekonomi AS


NEW YORK,MINGGU - Pemenang Nobel Ekonomi, Joseph Stiglitz menyatakan, perang Irak memberikan kontribusi terhadap pelambatan ekonomi Amerika Serikat. Perang Irak juga menghambat pemulihan ekonomi negara adidaya tersebut. Hal itu disampaikan Stiglitz dan rekannnya, Linda Bilmes dalam buku mereka, "The Three Trillion Dollar War", yang akan diluncurkan Senin (3/3) ini.

Perang yang hampir 5 tahun ini, pernah disebut-sebut dibiayai sendiri oleh Irak melalui peningkatan ekspor minyaknya, ternyata telah menguras kantong Uncle Sam secara langsung sebesar 845 miliar dollar AS. "Pernah ada gagasan bahwa perang itu baik untuk ekonomi. Namun Tidak ada ekonom yang percaya akan hal itu lagi," sebut Stiglitz seperti dikutip Reuters.

Stiglitz dan Blimes menyebutkan, melalui perhitungan ultrakonservatif, sesungguhnya perang Irak menelan biaya 3 triliun dollar AS dan bahkan bisa melebihi biaya yang telah dikeluarkan untuk Perang Dunia II setelah disesuaikan dengan inflasi, yang diperkirakan mencapai 5 triliun dollar AS.

Biaya langsung diluar bunga dari utang untuk mendanai perang yang terus meningkat, adalah biaya kesehatan untuk para veteran yang telah pulang dan mengganti peralatan yang hancur dan rusak selama perang. Di dalam buku diperinci lagi, sebagai tambahan, masih ada ongkos-ongkos yang tidak dihitung dalam anggaran, seperti kenaikan harga minyak serta biaya sosial dan makorekonomi.

Stiglitz dan Blimes dalam bukunya mengilustrasikan, bahwa anggaran tahunan AS untuk riset autis sebesar 108 juta, dihamburkan begitu saja dalam empat jam di Irak. Sedang 1 triliun dollar AS bisa digunakan untuk
memperoleh 15 juta tambahan guru sekolah negeri selama setahun atau untuk beasiswa 43 juta pelajar selama 4 tahun di universitas negeri.

Saat ditanya apakah perang Irak mempengaruhi pelambanan ekonomi AS, Stiglitz mengatakan, "Amat sangat.""
Menurutnya, peran juga telah mengubah bagaimana AS bereaksi menghadapi kesulitan ekonomi. "Saat lembaga finansial AS bermasalah, mereka pergi mencari dana ke Timur Tengah, untuk rekapitalisasi, untuk mencari
talangan," katanya.

"Alasannya sangat jelas. Perang menyebabkan membumbungnya harga minyak dunia. Perang juga membuat Amerika harus meminjam lebih banyak uang. Tidak ada lagi sumber dana yang likuid di AS. Sumber dana yang likuid ada di Timur Tengah," sebutnya.

Terjebak "Fenomena Stiglitz-Wise"

KOMPAS.com - SEKTOR finansial menjadi sektor dalam perekonomian yang paling terpukul oleh krisis keuangan dan ekonomi global. Dilihat dari nilai kerugian, angkanya mungkin melebihi kerugian sektor manufaktur sebagai sektor kedua paling terpukul yang sejauh ini sudah merumahkan lebih dari 30.000 pekerja.

Jika krisis finansial global disebut-sebut mengakibatkan lenyapnya nilai aset global hingga 50 triliun dollar AS, di Indonesia angkanya juga sangat spektakuler untuk ukuran skala pasar dan perekonomian lokal.

Seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas mengatakan, akibat krisis global, 60 persen konglomerat di Indonesia nyaris tersapu habis networth-nya. BUMN keuangan juga tergerus tajam labanya.

Akibat terpuruknya harga saham, kerugian yang dialami investor di pasar modal, seperti dilaporkan Infobank, sudah mencapai Rp 457,31 triliun hanya dalam kurun Oktober-September 2008 karena kapitalisasi pasar anjlok dari Rp 1.464,32 triliun menjadi Rp 1.007,01 triliun. Dalam setahun (akhir 2008 dibandingkan dengan akhir 2007), kerugian mencapai Rp 911,83 triliun!

Ditambah sejumlah kasus yang sempat mencoreng citra pasar modal dan finansial, banyak investor memilih menarik diri.

Kondisi sama terjadi di perbankan. Menurut seorang panelis, periode 2007-2008 bisa dikatakan adalah masa bulan madu bagi perbankan Indonesia, yang mencetak rekor demi rekor kinerja yang sangat fantastis. Aset perbankan untuk pertama kali menembus Rp 200 triliun, jauh melampaui volume APBN yang kini Rp 1.000 triliun. Dana masyarakat meningkat pesat, mencapai Rp 1.750 triliun. Pertumbuhan kredit 2009 juga mencapai angka rekor 31 persen (di atas target BI yang 24 persen) dengan volume kredit dua tahun terakhir melampaui Rp 1.000 triliun.

Namun, ia pesimistis kondisi itu bisa berlanjut tahun ini. Perbankan secara keseluruhan mengalami keketatan likuiditas kendati kondisinya tak merata untuk semua bank. Adanya kepercayaan yang hilang, ditambah kasus-kasus yang sempat menimpa sejumlah bank, seperti Bank Century dan BPR Tripanca, bank jadi semakin risk averse.

Mereka memilih mencari aman dengan menjaga likuiditas lebih tinggi dari yang dibutuhkan dan memilih menaruh dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ketimbang meminjamkan kepada bank lain yang kekurangan likuiditas atau melakukan ekspansi kredit ke nasabah.

Kondisi likuiditas ketat ini bakal menjadi-jadi dengan meningkatnya penerbitan instrumen surat utang oleh pemerintah untuk pembiayaan APBN.

Kecenderungan risk averse, ditambah lagi adanya informasi yang asimetris, membuat mekanisme transmisi kebijakan moneter oleh bank sentral pun tak jalan. Seharusnya, penurunan BI Rate oleh Bank Indonesia diikuti oleh penurunan suku bunga kredit. Tetapi ini tak terjadi. Dalam istilah panelis, perbankan terjebak ”Fenomena Stiglitz- Wise”.

Untuk mengatasi situasi ini, panelis mengatakan, diperlukan langkah-langkah untuk memperbaiki arus informasi dan juga tingkat kepercayaan. Salah satu yang diminta perbankan adalah adanya jaminan terhadap pinjaman antarbank, tetapi gagasan ini ditolak pemerintah antara lain karena alasan moral hazard.

Terobosan

Namun, di tengah kondisi perbankan yang cenderung memilih tiarap ini, ada juga bank yang nyeleneh. Buktinya, masih ada bank, seperti Bank Papua, yang berlimpah likuiditas, berburu nasabah hingga ke wilayah Ibu Kota.

Tetapi, ada juga bank yang karena terlalu bernafsu atau alasan lain terseret keluar dari core business-nya sehingga harus bergumul dengan problem kenaikan kredit bermasalah.

Sejumlah panelis mengingatkan ancaman lonjakan angka kredit bermasalah (NPL), baik yang berasal dari debitor korporasi maupun debitor individual (produktif dan konsumtif). Kondisi ini terutama mengancam bank-bank BUMN atau bank pembangunan daerah (BPD) karena penyelesaian NPL di kelompok bank-bank ini terkendala masalah hukum.

Salah satunya, ketentuan pencadangan (provisi) dan aturan yang melarang mereka memberikan potongan uang (haircut) untuk NPL karena dianggap merugikan negara. NPL yang menumpuk dan menuntut pencadangan besar ini membuat bank-bank tersebut juga semakin tak leluasa berekspansi kredit.

Dalam kondisi seperti ini, mungkin yang diperlukan adalah langkah-langkah yang tidak biasa untuk menerobos kebuntuan di perbankan dan transmisi kebijakan moneter. Dalam kasus NPL bank-bank BUMN, misalnya, harus ada political will untuk mengubah ketentuan yang terlalu kaku kalau tak ingin momok kredit bermasalah jadi masalah yang tak pernah tuntas (never ending story) di bank-bank BUMN

Minggu, 24 Mei 2009

Ekonomi Neoliberal


Ismatillah A Nu'ad
Peminat Historiografi Indonesia Modern

Cawapres pendamping SBY, Prof Dr Boediono, dicap banyak kalangan sebagai agen Neoliberal (Neolib). Pandangan dan kebijakan ekonominya diduga pro terhadap pasar bebas selama ia menjalankan roda kebijakan ekonomi dalam pemerintahan SBY. Tim sukses dari pasangan dengan jargon SBY-Berbudi tampaknya harus berjuang keras untuk menepis anggapan bahwa Boediono adalah agen Neolib. Secara khusus, Boediono harus menunjukkan secara praksis, bukan hanya retoris, bahwa dia bukanlah agen Neolib seperti selama ini dituduhkan.

Pertanyaannya, apa itu Neolib sehingga bagi masyarakat Indonesia tampaknya masih sangat tabu dan seperti barang najis yang harus dijauhi? Sebenarnya tak mudah mendefinisikan Neolib. Tapi, bila disederhanakan, doktrin ini memperjuangkan fundamentalisme pasar, yaitu pandangan yang menekankan bahwa mekanisme pasar akan berjalan dengan baik apabila ia bebas bergerak tanpa kendali dan intervensi dari pemerintah.

Friedrich von Hayek, pemenang Nobel Ekonomi 1974, yang bersama gurunya, Ludwig von Mises, selama ini dipandang sebagai bapak Neolib, memang sangat dikenal sebagai penganjur utama deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi. Doktrin Neolib dewasa ini lalu sering dikaitkan dengan Washington Consensus, yang pada intinya juga memberi anjuran sama, yaitu liberalisasi pasar, kebijakan fiskal ketat sebagai bentuk pengurangan intervensi pemerintah, dan privatisasi.

Lawan dari Neolib adalah Neososialis yang kini berkembang di Amerika Latin. Seperti diketahui bersama, negara-negara Amerika Latin kini menjadi arus Neososialis yang anti pada kebijakan-kebijakan ekonomi Neolib. Negara-negara, seperti Venezuela (Hugo Chavez), Bolivia (Evo Morales), dan Nikaragua (Daniel Ortega), bersatu melawan ketidakadilan Neolib. Presiden Venezuela, Hugo Chavez, dalam hal itu menjadi ikon bagi para pemimpin di negara-negara Amerika Latin, yang memberi inspirasi, semangat, dan perlawanan pada ketidakadilan praktik-praktik kebijakan ekonomi Neolib. Hugo Chavez berani melakukan penolakan penandatanganan sejumlah traktat penting kerja sama ekonomi antara perusahaan-perusahaan milik AS di Venezuela. Alasan yang menjadi prinsip idealnya cukup populis, karena selama ini perusahaan-perusahaan itu hanya mengeruk natural resource, namun tak mempedulikan dampak pada lingkungannya. Selain itu, juga tak memberi kesejahteraan pada penduduk lokal.

Kebijakan Hugo Chavez yang anti-Neolib itu bukanlah tindakan individu dia sebagai seorang pemimpin, namun kebijakan itu didukung sepenuhnya oleh mayoritas masyarakat Venezuela pada umumnya. Hal itu menyimbolkan bahwa kuatnya arus anti-Neolib sudah tak terbendung lagi. Di sisi lain, fenomena itu juga menyimbolkan kekuatan sosialisme baru (Neososialis) di Venezuela, sebuah kekuatan people power yang dikendalikan dan diarahkan oleh seorang pemimpin negara yang pro pada rakyat. Neososialisme di situ tak lagi bergerak secara top down atau perintahnya dieksekusi oleh seorang pemimpin lalu diikuti oleh rakyatnya. Neososialisme kini bersifat demokratik, yang bergerak secara bottom up, yaitu isunya muncul berdasarkan pada harapan dan keinginan rakyat, kemudian selanjutnya dieksekusi oleh pemimpin negara. Itulah kehebatan yang kini tengah terjadi di Venezuela.

Neososialisme berbeda dengan fenomena sosialisme yang sebelumnya juga pernah terjadi di negara-negara Amerika latin. Di Chili, misalnya, pada dekade 90-an dipimpin oleh presiden yang berideologi sosialis, namun sosialismenya cenderung bersifat top down. Sosialisme pada tataran itu banyak menimbulkan pertumpahan darah dan bermunculannya sejumlah fenomena kekerasan, yang melibatkan rakyat Chili sendiri, karena sebuah kebijakan di situ dipaksakan oleh seorang pemimpin yang belum tentu sesuai dengan keinginan bersama sehingga menimbulkan huru-hara sosial. Tujuan-tujuan sosialisme yang lazimnya ditujukan bagi kesejahteraan, kesetaraan, dan hak-hak rakyat yang berdaulat, justru kontraproduktif karena yang terjadi sentralisme kepemimpinan yang cenderung menafikan hasrat dan keinginan rakyat.

Pelajaran bagi Indonesia
Di tengah gencar-gencarnya gerakan Neososialis, terutama kini yang melanda negara-negara Amerika Latin, pada saat bersamaan justru kita melihat fenomena yang berlainan di negara kita sendiri, Indonesia. Saat ini pemerintah banyak membuka kebijakan deregulasi ekonomi, sebuah program ekonomi pemerintah yang membuka selebar-lebarnya pasar dan investor asing. Padahal, kita melihat sendiri, perusahaan-perusahaan asing terutama yang datang dari AS, seperti Exxon dan Freeport, persis apa yang sudah ditolak di Venezuela, karena perusahaan-perusahaan itu telah merusak ekosistem. Dan, pada saat bersamaan, perusahaan-perusahaan itu tak banyak memberi manfaat dan kesejahteraan pada masyarakat lokal. Mestinya, kini pemerintah mempertimbangkan lagi eksistensi perusahaan-perusahaan asing itu, bukan malah ingin menambah kuotanya, seperti dalam kebijakan deregulasi ekonomi dengan cara membuka kemungkinan pasar yang seluas-luasnya itu.

Tapi, semuanya terlambat. Jika melihat di jalan-jalan, misalnya, bagi kita jika ingin mengisi BBM untuk kendaraan, kita tak lagi hanya harus mengisinya di POM Pertamina, karena kini di jalan-jalan sudah ada POM Shell atau Petronas.

Apa Neoliberalisme Itu?


Dengan dipilihnya Boediono sebagai cawapresnya SBY, diskusi tentang neoliberalisme (neolib) menjadi marak. Namun, diskusinya tidak memberikan gambaran jelas.

Liberalisme adalah paham yang sangat jelas digambarkan oleh Adam Smith dalam bukunya yang terbit pada 1776 dengan judul An inquiry into the Nature and the Causes of the Wealth of Nations. Buku ini sangat terkenal dengan singkatannya The wealth of nations dan luar biasa pengaruhnya. Dia menggambarkan pengenalannya tentang kenyataan hidup. Intinya sebagai berikut.

Manusia adalah homo economicus yang senantiasa mengejar kepentingannya sendiri guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yang dimilikinya. Kalau karakter manusia yang egosentris dan individualistis, seperti ini dibiarkan tanpa campur tangan pemerintah sedikitpun, dengan sendirinya akan terjadi alokasi yang efisien dari faktor- faktor produksi, pemerataan dan keadilan, kebebasan, daya inovasi, dan kreasi berkembang sepenuhnya. Prosesnya sebagai berikut.

Kalau ada barang dan jasa yang harganya tinggi, sehingga memberikan laba yang sangat besar (laba supernormal) kepada para produsennya, banyak orang akan tertarik memproduksi barang yang sama. Akibatnya, suplai meningkat dan ceteris paribus harga turun. Kalau harga turun sampai di bawah harga pokok, ceteris paribus supply menyusut karena harga meningkat lagi. Harga akan berfluktuasi tipis dengan kisaran yang memberikan laba yang sepantasnya saja (laba normal) bagi para produsen. Hal yang sama berlaku buat jasa distribusi.

Buku ini terbit pada 1776, ketika hampir semua barang adalah komoditas yang homogen (stapel producten), seperti gandum, gula, garam, dan katun. Lambat laun daya inovasi dan daya kreasi dari beberapa produsen berkembang. Ada saja di antara para produsen barang sejenis yang lebih pandai, sehingga mampu melakukan diferensiasi produk. Sebagai contoh, garam dikemas ke dalam botol kecil praktis yang siap pakai di meja makan. Di dalamnya, ditambahi beberapa vitamin dan diberi merek yang dipatenkan. Dia mempromosikan garamnya yang berlainan dengan garam biasa.

Konsumen percaya dan ber-sedia membayar lebih mahal. Produsen bisa memperoleh laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang cukup lama. Selama itu, dia menumpuk laba tinggi (laba supernormal) yang menjadikannya kaya.

Karena semuanya dibolehkan tanpa pengaturan oleh pemerintah, dia mulai melakukan persaingan yang mematikan para pesaingnya dengan cara kotor, yang ditopang oleh kekayaannya. Sebagai contoh, produknya dijual dengan harga yang lebih rendah dari harga pokok. Dia merugi. Kerugiannya ditopang dengan modalnya yang sudah menumpuk. Dengan harga ini semua pesaing akan merugi dan bangkrut. Dia tidak, karena modalnya yang paling kuat. Setelah para pesaingnya bangkrut, dengan kedudukan monopoli, dia menaikkan harga produknya sangat tinggi.

Contoh lain, kasus pabrik rokok yang membeli rokok pesaingnya, disuntik sangat halus dengan cairan sabun. Lantas dijual lagi ke pasar. Beberapa hari lagi, rokoknya rusak sehingga mereknya tidak laku, pabriknya bangkrut.

Yang digambarkan Adam Smith mulai tidak berlaku lagi, karena apa saja boleh. Pengusaha majikan mulai mengerjakan sesama manusia dengan gaji dan lingkungan kerja yang di luar perikemanusiaan. Puncaknya terjadi dalam era revolusi industri, yang antara lain mengakibatkan anak-anak dan wanita hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Perempuan melahirkan dalam tambang di bawah permukaan bumi. Mereka juga dicambuki bagaikan binatang. Dalam era itu seluruh dunia mengenal perbudakan, karena pemerintah tidak boleh campur tangan melindungi buruh.

Dalam kondisi seperti itu, lahir pikiran Karl Marx. Banyak karyanya, tetapi yang paling terkenal menentang Adam Smith adalah Das Kapital yang terbit 1848. Marx menggugat semua ketimpangan yang disebabkan mekanisme pasar yang tidak boleh dicampuri pemerintah. Marx berkesimpulan, untuk membebaskan penghisapan manusia oleh manusia, tidak boleh ada orang yang mempunyai modal yang dipakai untuk berproduksi dan berdistribusi dengan maksud memperoleh laba. Semuanya harus dipegang oleh negara dan setiap orang adalah pegawai negeri.

Persaingan

Dunia terbelah dua. Uni Soviet, Eropa Timur, Tiongkok, dan beberapa negara menerapkannya. Dunia Barat mengakui sepenuhnya gugatan Marx, tetapi tidak mau membuang mekanisme pasar dan kapitalisme. Eksesnya diperkecil dengan berbagai peraturan dan pengaturan. Setelah dua sistem ini bersaing selama 40 tahun, persaingan dimenangkan oleh Barat. Maka tidak ada lagi negara yang menganut sistem komunisme ala Marx-Lenin-Mao.

Semuanya mengadopsi mekanisme pasar dan mengadopsi kapitalisme dalam arti sempit, yaitu dibolehkannya orang per orang memiliki kapital untuk berproduki dan berdistribusi dengan motif mencari laba. Tetapi, kapital harus berfungsi sosial. Apa arti dan bagaimana perwujudannya? Sangat beragam. Keragaman ini berarti juga bahwa kadar campur tangannya pemerintah sangat bervariasi, dari yang sangat minimal sampai yang banyak sekali.

Orang-orang yang menganut paham bahwa campur tangan pemerintah haruslah sekecil mungkin adalah kaum neolib. Mereka tidak bisa mengelak terhadap campur tangan pemerintah, sehingga tidak bisa lagi mempertahankan liberalisme mutlak dan total, tetapi harus militan mengerdilkan pemerintah untuk kepentingan korporatokrasi. Jadi, walaupun yang liberal mutlak, yang total, yang laissez fair laissez aller dan laissez fair laissez passer, yang cut throat competition dan yang survival of the fittest mutlak sudah tidak bisa dipertahankan lagi, kaum neolib masih bisa membiarkan kekayaan alam negara kita dihisap habis oleh para majikannya yang kaum korporatokrat dengan dukungan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan IMF.

Tim ekonomi dalam pemerintahan di Indonesia sejak 1967 adalah kaum neolib yang lebih ekstrem dari rekan-rekannya di negara-negara barat. Perkecualiannya hanya sebentar sekali, yaitu selama kabinet Gus Dur.

Kwik Kian Gie
Penulis adalah Mantan Menko Ekuin
Sumber: Suara Pembaruan, 2009-05-19

Minggu, 10 Mei 2009

DATA BANK IFI PER MARET 2009

DATA BANK IFI PER MARET 2009
Dana pihak ketiga Rp 355,8 miliar
Total kredit Rp 261,9 miliar
Kredit bermasalah Rp 87,1 miliar (24persen)
Total aset Rp 440 miliar
Menurut Kepala Divisi Likuidasi LPS Robert Hutabarat, aset dalam bentuk tanah dan properti ini juga menjadi dari proses verifikasi.

Tapi, verifikasi aset nontunai itu baru dilakukan setelah varifikasi data nasabah rampung dalam waktu dekat. Aset ini akan terlihat dari neraca penutupan. “Sekarang sedang dalam proses inventarisasi,” kata Robert. Verifikasi data nasabah dan inventarisasi aset, kata Robert, akan menentukan apakah semua kewajiban Bank IFI bisa dipenuhi.

Pihaknya belum berencana memverifikasi aset pribadi Bambang N. Rachmadi sebagai pemegang saham pengendali Bank IFI. “Kami belum tahu apakah akan memverifikasi aset pribadi itu,” katanya.

Bambang pernah mengagunkan aset pribadinya untuk mendapatkan subordinated loan dari Bank Indonesia sebesar Rp 50 miliar untuk penyehatan Bank Asta pada 1997. Bank Asta diakuisisi oleh Bank IFI untuk meningkatkan struktur permodalannya seperti yang diminta Bank Indonesia. “Pinjaman ini baru jatuh tempo tahun 2012,” kata Boedi.●

Boedi Armanto,
DIREKTUR PEMERIKSAAN BANK 1 BANK INDONESIA

“Mereka Tidak Punya Dana Cukup”

Benarkah aset Bank IFI berisi aset tidak likuid, seperti tanah dan properti?
Memang ada aset-aset pemegang saham pengendali yang diserahkan ke bank untuk dijual atau dijadikan tambahan setoran modal bank. Penyerahan aset itu untuk mengurangi masalah keuangan bank mengingat mereka tidak dapat menyediakan dana tunai yang cukup untuk menyelesaikan masalah keuangan di bank.

Apakah peraturan Bank Indonesia mengizinkan aset nonlikuid menjadi aset bank?
Sejauh ini tidak ada larangan bagi bank untuk menambah setoran modal berupa aset nontunai sepanjang dapat menambah value perusahaan dan tidak meningkatkan risk exposure bank. Untuk itu, Bank Indonesia memberikan persyaratan untuk melakukan kajian risiko
dan kepatuhan terhadap perundang-undangan.

Dari hasil kajian BI, apakah aset itu bermasalah atau dimarkup untuk kepentingan pemenuhan modal bank?
Sejauh ini Bank Indonesia tidak menemukan masalah signifikan pada aset-aset yang diserahkan pemegang saham pengendali.
Aset tersebut justru menjadi daya tarik bagi calon investor untuk mengambil alih bank, terutama calon investor yang bergerak di bidang finansial dan properti, seperti Group Sabar Sitorus.

Selain itu, apa lagi yang dilakukan Bank Indonesia?
Bank Indonesia telah meminta persyaratan atas penyerahan aset pemegang saham pengendali ke bank. Syarat itu, antara lain, jaminan tidak ada masalah hukum dan tuntutan dari pihak lain atas aset tersebut. Kalaupun ada masalah, pemegang saham bertanggung jawab
baik secara hukum maupun finansial.●

TEMUAN TIM PEMERIKSA

TEMUAN TIM PEMERIKSA
1. Penyewaan mobil dinas:
a.

b.

c.
Penyewaan mobil dinas untuk direksi selama lima tahun di atas harga wajar (kerugian Rp 4,8 miliar).
Sewa/kontrak 27 kendaraan operasional selama lima tahun (kerugian Rp 4,7 miliar).
Pembayaran tiga jasa pengemudi tiap bulan untuk pihak terkait nonpengurus bank, yang seharusnya bukan beban
bank.
2. Pemakaian kendaraan inventaris:
Berupa pembelian dua unit Mercedes Benz yang dicatat sebagai aktiva tetap, namun digunakan keluarga pemegang saham nonpengurus bank (kerugian Rp 5 miliar).
3. Penggelapan aset bank (kompensasi eks PT Bank ASTA):
Dilakukan oleh keluarga pemegang saham (kerugian Rp 170 juta). Berupa pemakaian satu mobil Nissan Serena yang tercatat atas nama PT Maxifero.
4. Pemberian kredit kepada grup terkait: *
a.



b.
PT Lintang Artamas Bahagia (Dia mond Heart Forever/DHF), grup terkait milik Bambang N. Rachmadi di bidang usaha perdagangan berlian (fasilitas kredit Rp 8 miliar, baki debet per 31 Januari 2005 sebesar Rp 5 miliar).
Pinjaman kepada Bambang Harry Rach madi (mantan komisaris) Rp 2,5 miliar dengan bunga nol persen tanpa diikat agunan (baki debet per 31 Januari 2005 sebesar Rp 2,097 miliar).
5. Upaya penggelapan aset agunan yang diambil alih (AYDA):
Bank tidak membukukan AYDA yang berasal dari debitor bermasalah dalam pembukuan bank. Terdiri atas 21 sertifikat tanah dan tujuh BPKB milik 15 debitor.
6. Direksi tidak independen:
Status debitor Helmy Lazuardy yang memperoleh kredit Rp 800 juta diragukan, karena ia hanya staf biasa pada PT Remako
Gerbang Mas (afiliasi Bank IFI) dengan penghasilan rendah.
7. Satuan Kerja Audit Internal tidak independen dan profesional:
Hasil pemeriksaan tidak menyentuh persoalan berikut:
a. Pengeluaran biaya yang merugikan bank:
-
-

-

-



-
Biaya proyek revitalisasi fiktif Rp 6,65 miliar
Pembelian voucher berlian DHF Rp 2,7 miliar yang tidak sesuai dengan tujuan awal.
Biaya uang muka jasa hukum Rp 5 miliar untuk kasus PT Mandira Pelita Utama.
Biaya sumbangan kepada kepolisian secara tunai Rp 1,885 miliar (Januari 2004-Mei 2005) tanpa pertanggungjawaban dan tujuan pengeluaran biaya yang jelas.
Biaya nonkedinasan atas beban bank kepada Bambang Harry Rachmadi Rp 103 juta.
b.

c.


d.
Pemanfaatan ruangan milik bank oleh grup terkait tanpa uang sewa.
Penggelapan aset bank, di antaranya penggunaan dana rekening penampung Rp 1,888 miliar untuk membeli aset
kredit Bank Indovest (dalam likuidasi).
Kegiatan operasional lain, seperti pen jualan agunan (AYDA) yang merugikan bank Rp 45,85 miliar berlokasi di Kali malang, Bekasi.



BAMBANG HARRY RACHMADI:

Tidak Ada Penyelewengan Dana

Sejak izin usaha Bank IFI dicabut pada 17 April lalu, Bambang Nuryanto Rachmadi sulit ditemui. Maklum, juragan restoran cepat saji McDonald’s ini masih tercatat sebagai pemilik 99 persen saham PT Bank IFI melalui PT IFI Bina Utama.

Upaya meminta konfirmasi lewat telepon seluler yang biasa digunakannya juga tak membuahkan respons.Begitu pun pertanyaan yang dikirim melalui pesan pendek.

Kemarin ia tampak mendatangi kantor pusat Bank IFI di Plaza ABDA, Jakarta. Tapi ia tampak masih pelit bicara. Sang adik, Bambang Harry Rachmadi, juga mengambil sikap serupa. Ketika dihubungi pada hari pertama pencabutan izin bank itu, Harry hanya menyampaikan Bambang tidak melarikan diri. “Dia ada di Jakarta,” katanya. Saat ditemui di kantor pusat Bank IFI, Kamis lalu, sejumlah
pertanyaan yang diajukan Tempo hanya dijawabnya singkat.

Pemeriksaan BI menemukan ada dana yang digunakan keluarga pemegang saham secara tidak wajar. Tanggapan Anda?
Buktinya apa? Insya Allah nggak ada itu.

Kalau Anda dipanggil polisi untuk diperiksa bagaimana?
Saya datanglah.

Kakak Anda masih di Jakarta?
Ada, saya baru saja ketemu dia kemarin.

Kenapa dia sulit dihubungi?
Coba telepon sekretaris dia, Bu Rina (Tempo menelepon nomor yang diberikan, tapi tidak ada jawaban).

Anda ke kantor pusat IFI untuk bertemu dengan Lembaga Penjamin Simpanan?
Nggak, saya bertemu dengan karyawan. Saya melihat apa yang bisa dilakukan untuk membantu mereka.

Setelah menjawab beberapa pertanyaan, Harry berjanji akan datang lagi ke Bank IFI sore harinya. Tapi, melalui selarik pesan pendek, dia mengabarkan tidak jadi datang. “Maaf, sepertinya saya tidak jadi ke sana. Thanks,” ujarnya. Sejak itu, ia tak lagi bisa dihubungi.●



Kesabaran bank sentral sudah di ambang batas. Tak adanya kejelasan kabar soal rencana suntikan modal yang dijanjikan Edward Soeryadjaya ke Bank IFI hingga 18 Maret lalu membuat lembaga otoritas perbankan ini mengambil tindakan tegas.

Para petinggi di Kebon Sirih itu langsung membunyikan peluit tanda diskualifikasi, yang meminta Edward keluar dari gelanggang. “Pemegang saham (Bank IFI) diminta segera bernegosiasi dengan investor lain,” kata Boedi Armanto, Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia.

Di tengah situasi serba kepepet itulah keluarga Rachmadi, selaku pemilik Bank IFI, pontang-panting mencari calon investor baru. Direktur Utama Bank IFI Bambang Ariyanto, yang juga saudara sepupu Bambang Rachmadi, meminta dr Yusuf, koleganya, mencarikan modal ke Asahi Permata Finance dengan agunan Plaza ABDA.

Tapi upaya ini pun gagal karena ternyata bangunan itu sudah diagunkan ke HD Capital. Bambang lantas turun tangan. Pada pertemuan 16 Maret pagi di kantor pusat Bank IFI, yang juga dihadiri Edward, ia memperkenalkan Fuad, investor baru yang dapat digandengnya dan berkomitmen akan menyuntikkan dana Rp 130 miliar secara bertahap hingga 2010.

Investor asal Surabaya yang juga bekas eksekutif Grup Lippo tersebut, menurut cerita Edward, pagi itu kabarnya telah menyetor duit Rp 5,5 miliar ke rekening Bank IFI di Bank Mandiri. Setoran berikutnya senilai Rp 9,5 miliar akan dikirim esok harinya dan Rp 15 miliar pada akhir April, sehingga totalnya Rp 30 miliar. Dengan bekal itu, Bambang optimistis Bank IFI tak bakal ditutup.

Bambang boleh berharap, tapi kesimpulan final ternyata telah dibuat bank sentral sehari sebelumnya. Menurut Boedi, yang jelas, hingga tenggat 15 April tak ada suntikan modal baru.

“CAR bank tetap di bawah 8 persen dan melanggar GWM,” ujarnya. Makanya, BI pada hari itu juga menetapkan Bank IFI sebagai bank gagal. “Pada hari yang sama, Bank IFI diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).”

Sehari kemudian, giliran LPS memutuskan tidak akan menyelamatkan Bank IFI. “Atas dasar itu,” kata Boedi, “Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan mencabut izin usaha Bank IFI.”

Soal setoran Rp 5,5 miliar itu? “Sampai 17 April tidak ada laporan ke BI soal setoran calon investor,” kata Boedi. “Kami mendengar adanya dana masuk setelah dilakukan pencabutan izin usaha bank.”

Jika memang begitu, tak ada lagi yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan Bank IFI. Nasi telanjur menjadi bubur. Secarik kertas di pintu masuk kantor pusat Bank IFI menjadi penanda berakhirnya bank
yang telah berusia 54 tahun itu. ●

TERKENA SEMPRIT BANK SENTRAL



Kesabaran bank sentral sudah di ambang batas. Tak adanya kejelasan kabar soal rencana suntikan modal yang dijanjikan Edward Soeryadjaya ke Bank IFI hingga 18 Maret lalu membuat lembaga otoritas perbankan ini mengambil tindakan tegas.

Para petinggi di Kebon Sirih itu langsung membunyikan peluit tanda diskualifikasi, yang meminta Edward keluar dari gelanggang. “Pemegang saham (Bank IFI) diminta segera bernegosiasi dengan investor lain,” kata Boedi Armanto, Direktur Pengawasan Bank I Bank Indonesia.

Di tengah situasi serba kepepet itulah keluarga Rachmadi, selaku pemilik Bank IFI, pontang-panting mencari calon investor baru. Direktur Utama Bank IFI Bambang Ariyanto, yang juga saudara sepupu Bambang Rachmadi, meminta dr Yusuf, koleganya, mencarikan modal ke Asahi Permata Finance dengan agunan Plaza ABDA.

Tapi upaya ini pun gagal karena ternyata bangunan itu sudah diagunkan ke HD Capital. Bambang lantas turun tangan. Pada pertemuan 16 Maret pagi di kantor pusat Bank IFI, yang juga dihadiri Edward, ia memperkenalkan Fuad, investor baru yang dapat digandengnya dan berkomitmen akan menyuntikkan dana Rp 130 miliar secara bertahap hingga 2010.

Investor asal Surabaya yang juga bekas eksekutif Grup Lippo tersebut, menurut cerita Edward, pagi itu kabarnya telah menyetor duit Rp 5,5 miliar ke rekening Bank IFI di Bank Mandiri. Setoran berikutnya senilai Rp 9,5 miliar akan dikirim esok harinya dan Rp 15 miliar pada akhir April, sehingga totalnya Rp 30 miliar. Dengan bekal itu, Bambang optimistis Bank IFI tak bakal ditutup.

Bambang boleh berharap, tapi kesimpulan final ternyata telah dibuat bank sentral sehari sebelumnya. Menurut Boedi, yang jelas, hingga tenggat 15 April tak ada suntikan modal baru.

“CAR bank tetap di bawah 8 persen dan melanggar GWM,” ujarnya. Makanya, BI pada hari itu juga menetapkan Bank IFI sebagai bank gagal. “Pada hari yang sama, Bank IFI diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).”

Sehari kemudian, giliran LPS memutuskan tidak akan menyelamatkan Bank IFI. “Atas dasar itu,” kata Boedi, “Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan mencabut izin usaha Bank IFI.”

Soal setoran Rp 5,5 miliar itu? “Sampai 17 April tidak ada laporan ke BI soal setoran calon investor,” kata Boedi. “Kami mendengar adanya dana masuk setelah dilakukan pencabutan izin usaha bank.”

Jika memang begitu, tak ada lagi yang bisa diperbuat untuk menyelamatkan Bank IFI. Nasi telanjur menjadi bubur. Secarik kertas di pintu masuk kantor pusat Bank IFI menjadi penanda berakhirnya bank
yang telah berusia 54 tahun itu. ●

DI BALIK PENUTUPAN BANK IFI (BAGIAN I)


TARIK-ULUR MENJELANG AJAL

EDWARD SOERYADJAYA GAGAL MASUK BANK IFI.
TERGANJAL MIMPI AMBISIUS BAMBANG RACHMADI.


Janji Edward Soeryadjaya masih terngiang di telinga sejumlah karyawan Bank IFI. “Tidak usah khawatir, nanti kita pindah ke gedung itu,” ujar Edward mantap saat berkunjung ke kantor pusat Bank IFI di Plaza ABDA, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan, sekitar empat bulan lalu.

Yang dimaksud Edward tak lain adalah gedung bekas Bank Mandiri. Para karyawan langsung menyambutnya dengan sukacita. Kabar bakal adanya penutupan bank tempat mereka bekerja pun seolah sirna seketika.

Itu sebabnya, ketika pada pagi hari 17 April lalu secarik kertas yang terpampang di pintu kantor mengumumkan soal penutupan bank swasta ini, kabar tersebut ibarat geledek di siang bolong. “Kami tidak menduga ditutup secepat ini,” kata seorang kepala divisi yang mengaku sudah bekerja selama 15 tahun.

Dalam pengumumannya, bank sentral menyatakan bank milik juragan restoran cepat saji McDonald’s, Bambang Nuryanto Rachmadi, ini dicabut izin usahanya terhitung sejak 17 April 2009. Dengan keputusan ini, otomatis semua kegiatan di kantor pusat dan enam kantor cabang, plus satu unit syariah, Bank IFI serentak dihentikan.

Melihat rapor keuangannya, penutupan Bank IFI sebetulnya memang tinggal soal waktu. Bank ini sejak tujuh tahun silam sudah masuk pengawasan intensif bank sentral gara-gara rasio kredit seretnya di atas 5 persen. “Ada atau tidak ada krisis global, bank ini sudah cacat,” kata Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia Wimboh Santoso.

Terhitung sejak 9 September tahun lalu, menurut Boedi Armanto, Direktur Pengawasan Bank I BI, status Bank IFI malah telah masuk daftar pengawasan khusus (Special Surveillance Unit) Bank Indonesia.

Jika mau selamat, bank ini harus bisa mendongkrak rasio kecukupan modal (CAR)-nya, yang jeblok di bawah 8 persen, dan rasio giro wajib minimum (GWM)-nya, yang terpuruk di bawah 5 persen. Tenggat yang diberikan bank sentral hanya tiga bulan.

Kenyataannya, hingga tenggat berakhir, kondisi keuangan bank tak kunjung membaik. Keluarga Rachmadi sebagai pemegang saham pengendali Bank IFI gagal memenuhi komitmennya menyuntikkanmodal sesuai dengan kerangka program penyehatan bank yang tertuang dalam capital restoration plan.

Sebagai jalan keluar, pemegang saham mengajukan capital restoration plan revisi yang berisi rencana menggandeng calon investor baru, yaitu keluarga Soeryadjaya dan keluarga Sabar Sitorus. BI setuju.

“Batas waktu pengawasan khusus bank tersebut diperpanjang hingga 9 Maret 2009,” kata Boedi.

Menurut Edward, ia tertarik masuk ke bank ini karena punya sejumlah potensi. Ia pun bermimpi bakal memfokuskan Bank IFI dalam penanganan kredit mikro dan usaha kecil-menengah.

Untuk itu, digandenglah Sabar Sitorus. Pertimbangannya, anak D.L. Sitorus, pemilik Torganda Group, itu dinilai punya cukup pengalaman dalam menangani bisnis kredit mikro, karena selama ini kelompok usahanya bergelut dalam pengelolaan 37 bank perkreditan rakyat.

Meski begitu, menurut sumber Tempo di Bank IFI, Edward tak mau gegabah. “Maklum, dia kan pernah tersandung kasus Bank Summa,” ujarnya. Karena itu, ia meminta Enrico Hutapea, teman segereja yang mengajaknya masuk ke bank ini, menjajal dulu “medan” bisnis yang akan digeluti.

Enrico diminta membereskan dulu semua persoalan di tubuh Bank IFI. Sebagai langkah awal, Enrico mengucurkan modal dengan membeli sebagian saham Bank IFI milik IFI Bina Utama. “Tapi jumlahnya tidak besar,” kata sumber tersebut.

DI BALIK PENUTUPAN BANK IFI (BAGIAN II)


DARI NASABAH BUAT PEMILIK

TIM PEMERIKSA BI MENEMUKAN BERBAGAI INDIKASI PELANGGARAN. SALAH SATUNYA MASIH DITANGANI KEPOLISIAN.

Rangkuman hasil pemeriksaan itu tertuang dalam dokumen bertajuk Exit Meeting Pemeriksaan Umum Bank IFI. Meski hanya 12 lembar, laporan Tim Direktorat Pemeriksaan Bank 1 Bank Indonesia yang didapat Tempo itu cukuplah untuk memberi “sedikit” gambaran tentang sepak terjang bank milik Bambang N. Rachmadi, juragan restoran cepat saji McDonald’s, tersebut.

Berhubung hasil pemeriksaan dilakukan per 31 Januari 2005, gambaran ini
belum tentu valid untuk menggambarkan kondisi Bank IFI saat dicabut izin usahanya pada 17 April lalu. Apalagi bank sentral hanya memberi secuil alasan kenapa bank itu ditutup.

Salah satu alasan yang dikemukakan, bank tersebut ditutup gara-gara rapor keuangannya merah menyala. Rasio giro wajib minimumnya di bawah 5 persen. Rasio kecukupan modalnya pun jauh di bawah batas minimum 8 persen. “Pokoknya minuslah,” kata Boedi Armanto, Direktur Pemeriksaan Bank 1 BI kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.

Meski begitu, tak ada salahnya kita melirik lagi laporan Tim Pemeriksa BI yang dibuat empat tahun lalu itu. Boedi pun tak menyangkal keberadaan dokumen tersebut.

“Ada pemeriksaan umum per 31 Januari 2005, dan exit meeting tanggal 1 Juli
2005,” katanya. Isi dokumen tersebut memuat rupa-rupa indikasi pelanggaran, dari indikasi pelanggaran penyaluran kredit bank kepada pihak terkait, yaitu kelompok pemegang saham dan keteledoran bank dalam menilai kelayakan debitor sebagai penerima pinjaman, hingga pemborosan duit oleh pengurus bank yang menyebabkan sejumlah kerugian.

Salah satu kerugian yang ditemukan BI berupa perjanjian sewa empat unit kendaraan dinas untuk anggota direksi Bank IFI. Kendaraan yang disewa terdiri atas satu unit Toyota Camry, dua unit Corolla Altis, dan satu unit Hyundai Trajet.

Setiap bulan biaya sewa empat mobil keluaran 2004 itu Rp 100 juta dengan masa kontrak lima tahun. Total biaya sewa saat kontrak berakhir Rp 6 miliar.
Menurut hitung-hitungan BI, empat kendaraan tersebut bisa dibeli dengan biaya sewa satu tahun. Ini berarti bank itu sebetulnya tidak perlu mengeluarkan uang sewa pada tahun kedua sampai tahun kelima.

Dengan kata lain, terdapat pemborosan hingga Rp 3,8 miliar. Kerugian serupa dialami bank tersebut lantaran menyewa 23 unit kendaraan operasional selama lima tahun.

Masih soal kendaraan, pemeriksaan BI juga menemukan kejanggalan dalam pembelian dua unit Mercedes Benz seharga Rp 5 miliar untuk mobil dinas. Kendaraan ini menjadi aset Bank IFI serta dicatat sebagai aktiva tetap dan inventaris.

Yang kemudian dipersoalkan BI, sejak awal kendaraan itu ternyata digunakan
oleh keluarga pemegang saham nonpengurus Bank IFI. BI menyebutnya sebagai modus pemberian fasilitas kepada pemegang saham.

Beralih ke soal kredit, ditemukan pula sejumlah indikasi penyelewengan. Sebagian kredit ternyata dikucurkan kepada grup bisnis yang masih terkait dengan pemegang saham Bank IFI. Sebut saja pinjaman senilai Rp 8 miliar yang digelontorkan kepada PT Lintas Artamas Bahagia.

Perusahaan perdagangan berlian Diamond Heart Forever (DHF) ini diketahui masih terkait dengan Bambang Nuryanto Rachmadi, pemilik Bank IFI. Kredit dengan agunan berlian itu rencananya digunakan untuk membuka outlet di Kepala Gading, Jakarta Utara.

Kenyataannya, sampai pemeriksaan digelar, gerai ini tak kunjung dibuka. BI malah menemukan fakta lain: dua gerai perusahaan itu di lantai 1 Bapindo Plaza, Jakarta, dan Jalan Lombok Nomor 10, Bandung, sedang kesulitan likuiditas.

Outlet di Bapindo Plaza, yang berdiri sejak 2002, tak membayar uang sewa ruangan Rp 1,6 miliar sampai Mei 2005. Begitu juga gerai di Bandung, yang berdiri sejak 2003, menunggak uang sewa Rp 94 juta.

Sumber di bank sentral mengatakan tim pemeriksa sudah terjun langsung ke dua outlet perdagangan berlian tersebut. Ternyata penjualan berlian DHF sangat terbatas.

“Pembeli terbesar berlian DHF justru Bank IFI,” ujarnya. Bank ini memborong berlian Rp 2,7 miliar melalui pembelian voucher berlian DHF. Voucher ini akan dijadikannya sebagai hadiah bagi nasabah Bank IFI. Sayang, program
itu dalam prakteknya kurang efektif menarik nasabah.

Dalam pemeriksaan, BI juga menemukan fasilitas pinjaman untuk keluarga pemegang saham. Bank IFI telah memberikan kredit Rp 2,5 miliar kepada Bambang Harry Rachmadi pada Januari 2004. Pinjaman ini diberikan tanpa bunga alias bunga nol persen dengan agunan sertifikat tanah tanpa pengikatan.

Berdasarkan aturan internal Bank IFI, fasilitas kredit tanpa bunga itu hanya bisa dinikmati oleh karyawan atau pengurus. Sementara itu, Harry sudah tidak lagi menjabat Komisaris Utama Bank IFI sejak 30 September 2003 lantaran tak lolos saringan BI.

Akibat pinjaman tanpa bunga ini, Bank IFI hingga Mei 2005 rugi Rp 528 juta. Asumsi itu dihitung berdasarkan tingkat bunga pinjaman komersial 17 persen yang seharusnya dikenakan kepada Bambang, dengan jangka pinjaman 17 bulan (Januari 2004-Mei 2005). Jumlah kerugian belum termasuk denda keterlambatan pembayaran.

Adanya kucuran kredit kepada Harry Rachmadi ini dibenarkan oleh Boedi. Bank sentral pun sudah pernah mengirimkan peringatan kepada direksi dan pemegang saham pengendali Bank IFI agar segera membereskannya.

“Akhirnya kredit itu diselesaikan dengan jalan diambil alih oleh pemegang saham pengendali pada triwulan pertama 2007,” kata Boedi.

Salah satu tudingan serius yang juga dihasilkan tim pemeriksa BI adalah adanya upaya penggelapan aset agunan yang diambil alih (AYDA) oleh manajemen Bank IFI.

Tim pemeriksa menemukan fakta bahwa pihak bank tidak membukukan AYDA dari 15 debitor bermasalah, yang terdiri atas 21 sertifikat tanah dan tujuh buku pemilikan kendaraan bermotor.

Menurut Boedi, berbagai temuan itu telah ditindaklanjuti oleh bank sentral. Salah satunya bahkan diteruskan oleh Divisi Investigasi dan Mediasi Perbankan BI ke Markas Besar Kepolisian RI.

Kasus yang dimaksud Boedi menyangkut temuan tim pemeriksa soal penjualan agunan di Kalimalang, Bekasi, yang merugikan bank Rp 45,85 miliar. “Sampai saat ini permasalahan tersebut masih ditangani pihak
kepolisian,” ujarnya.●

DI BALIK PENUTUPAN BANK IFI (BAGIAN III)


LPS RAGU SOAL ASET BANK IFI

Lembaga penjamin belum menyentuh aset pribadi pemilik.

Sejak memutuskan menyetujui keputusan Bank Indonesia melikuidasi Bank
IFI pada 17 April lalu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) seperti dikejar-kejar waktu saban hari. Lembaga ini cuma punya waktu dua pekan untuk merampungkan verifikasi data nasabah. LPS mesti memilah nasabah yang berhak mendapat jaminan.

Saat Bank IFI ditutup, ada 9.600 rekening dengan saldo hingga Rp 2 miliar, batas maksimal simpanan yang dijamin LPS. Total simpanan di rekening itu mencapai Rp 160,4 miliar. Sedangkan 69 rekening lain berisi simpanan di atas 2 miliar dengan total nilai Rp 191,4 miliar. Beberapa simpanan malah diberi bunga 10-12 persen atau di atas suku bunga yang dijamin LPS.

Selama proses verifikasi data nasabah dan penelusuran dokumen bank, LPS semakin yakin ada yang meragukan pada bank ini, terutama soal aset bank. Direktur Klaim dan Resolusi Bank LPS Noor Cahyo menyatakan mulai ragu aset Bank IFI bakal cukup menutup semua kewajiban yang harus dipenuhi.

Meski demikian, Noor Cahyo tak ingin keburu memvonis aset bank ini tak cukup melunasi kewajiban.

Sebab, kepastian jumlah aset belum ditetapkan. Apalagi sebelum menentukan jumlah aset, LPS mesti mengkaji neraca bank yang dibuat manajemen saat bank itu tutup warung. “Neraca itu merupakan titik awal bagi LPS bekerja,” kata Noor Cahyo kepada Tempo kemarin.

Indikasi keuangan bank yang kembang-kempis diungkapkan karyawan yang enggan disebut namanya. Total uang kas di kantor pusat dan enam cabang saat bank ditutup cuma Rp 250 juta.

“Padahal untuk menutup gaji karyawan saja butuh Rp 650 juta,” katanya. Bank IFI memiliki 108 orang pegawai tetap dan sekitar 80 pegawai kontrak.

Sebagai bank papan bawah, jumlah transaksi di Bank IFI memang terbilang kecil. Bahkan pinjaman uang antarbank sampai Maret 2009 cuma Rp 8 miliar. Belum lagi asetnya yang tidak semua dalam bentuk aset yang likuid.

“Bank ini sulit masuk ke pasar retail,” kata mantan pejabat level menengah di Bank IFI. Karena itu, jumlah nasabah korporasi lebih besar dibanding nasabah retail.

Menurut sumber tadi, Bank IFI memang banyak ditopang aset yang nonlikuid, seperti tanah dan properti. “Aset itu biasanya berawal dari aset sitaan,” katanya.

Dia mencontohkan aset tanah di perumahan Bintara, Bekasi, Jawa Barat. Tanah dan properti inilah yang dicatatkan sebagai aset bank dalam laporan keuangan.

Keberadaan aset nonlikuid di Bank IFI dibenarkan oleh Direktur Pemeriksaan Bank 1 Bank Indonesia Boedi Armanto. “Memang ada aset pemegang saham pengendali untuk dijual atau dijadikan tambahan setoran modal,” kata Boedi. Bank sentral, kata dia, tidak melarang setoran aset nontunai sepanjang bisa menambah nilai perusahaan dan tidak meningkatkan risk exposure bank.

Jumat, 08 Mei 2009

Bankir Tetap Sulit Tekan Bunga Kredit

Jakarta, Kompas - Meski suku bunga acuan atau BI Rate sudah turun cukup jauh dan likuiditas perbankan makin membaik, para bankir mengatakan tetap sulit mempercepat penurunan bunga kredit secara signifikan. Penyebabnya, bankir harus menyeimbangkan kepentingan debitor dan kreditor.

Direktur Utama BNI Gatot M Suwondo, Rabu (6/5) di Jakarta, mengatakan, perbankan selalu berdiri di atas dua kepentingan, yakni debitor dan kreditor. Debitor merupakan nasabah peminjam, seperti pelaku usaha sektor riil dan masyarakat peminjam kredit pemilikan rumah. Debitor sudah pasti menginginkan bunga kredit yang rendah.

Adapun kreditor merupakan nasabah penyimpan, seperti deposan, penabung, atau pemegang surat utang yang diterbitkan bank. Golongan ini pasti menginginkan bunga tinggi.

Menurut Gatot, pergerakan suku bunga kredit sangat bergantung pada pergerakan suku bunga deposito sebagai biaya dana (cost of fund).

”Suku bunga kredit lambat turunnya karena suku bunga deposito juga turun dengan lambat,” kata Gatot.

Itu karena bank, lanjutnya, tidak bisa semena-mena menurunkan bunga deposito. Dalam situasi krisis seperti saat ini, nasabah juga menginginkan pendapatan bunga yang signifikan dari simpanannya.

Apalagi sebagian besar deposan dan penabung merupakan perorangan dengan nilai simpanan di bawah Rp 100 juta. Per Maret 2009, sebesar 97 persen dari total 82.864.439 rekening dimiliki deposan dan penabung dengan nilai simpanan di bawah Rp 100 juta. Adapun nilai simpanan di bawah Rp 100 juta mencapai Rp 335 triliun atau 18,6 persen dari total dana pihak ketiga sebanyak Rp 1.798 triliun.

Gatot mengatakan, bank tidak mungkin memberikan bunga deposito di bawah inflasi tahunan yang kini sebesar 7,31 persen. Inilah yang membuat bunga deposito rata-rata masih di level 9-10 persen per tahun. ”Bagaimanapun, pendapatan bunga dari deposito membantu meningkatkan daya beli masyarakat, yang akhirnya juga mendorong pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

Wakil Presiden Direktur Bank Danamon Jos Luhukay mengatakan, begitu BI Rate dan bunga penjaminan turun, bunga simpanan juga akan turun. Setelah itu, diikuti bunga kredit dengan waktu tunda sekitar 3 bulan. Namun, saat BI Rate naik, bunga kredit cenderung naik lebih dulu, baru diikuti kenaikan bunga simpanan.

Komisaris Utama Bank OCBC NISP Pramukti Surjaudaya mengatakan, selama ini bank terus menurunkan bunga kredit secara bertahap. ”Dibandingkan awal tahun, bunga kredit sudah turun 2 persen,” katanya.

Menumpuk laba

Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan, bank sengaja memperlambat penurunan bunga kredit agar bisa memupuk keuntungan. Bank memang lebih mementingkan keuntungan ketimbang bergerak atau tidaknya perekonomian.

Padahal, semua faktor dan kondisi saat ini sangat memungkinkan bank mempercepat penurunan bunga kredit. Misalnya, BI Rate sudah di level 7,25 persen, terendah sepanjang sejarah.

Purbaya mengusulkan agar penempatan dana perbankan pada Sertifikat Bank Indonesia dibatasi sehingga bank pun terpaksa menyalurkan dananya sebagai kredit. Karena pasar kredit terbatas, akan tercipta persaingan sehingga bank otomatis menurunkan bunga kredit. (FAJ)

Rabu, 06 Mei 2009

Masih Relevankah ADB Bagi Indonesia?


Oleh Sunarsip

Saat ini, tengah berlangsung Sidang Tahunan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) di Bali. Keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah sidang tahunan ADB didasari oleh kepentingan agar Indonesia mendapatkan akses sumber pembiayaan yang mudah dari ADB. Indonesia merupakan klien ADB terbesar setelah India dan Cina.

Sejak bergabung dengan ADB tahun 1966, Indonesia telah menerima 297 pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis senilai 276,6 juta dolar AS. Pada periode 2000-2007, rata-rata pinjaman tahunan ADB ke Indonesia tak kurang dari 700 juta dolar AS. Bahkan, pada tahun 2008, ADB meminjamkan dana 1,085 miliar dolar AS.

Mungkin karena ADB dinilai strategis inilah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berniat akan mempertahankan Indonesia di ADB pada posisi keenam. Untuk itu, pemerintah berkomitmen akan menyetor Rp 2 triliun dalam empat tahun ke depan, agar kepemilikan saham di ADB bisa dipertahankan.

Seiring dengan perubahan konstelasi ekonomi dunia, kini relevansi ADB bagi negara-negara di Asia (termasuk Indonesia) banyak dipertanyakan.

Kenapa? Pertama, ADB mayoritas pemegang sahamnya adalah Jepang. Jepang adalah kontributor pemberi pinjaman bagi negara-negara peminjam dari ADB. Namun, sayangnya, seiring dengan krisis ekonomi dunia yang saat ini terjadi (di mana Jepang tengah mengalami resesi), kemampuan ADB kini menjadi semakin dipertanyakan. Ibaratnya, tanpa kontribusi Jepang ADB akan seperti macam ompong.

Kedua, Jepang adalah pemain kunci di ADB. Bisa dibilang, apa kata Jepang adalah kata ADB. Sehingga, tidak mengherankan bila muncul tudingan bahwa ADB sarat dengan kepentingan Jepang. Jepang selama ini telah banyak memberikan pinjaman secara bilateral kepada Indonesia. Pada tahun 2009, jumlah likuiditas dan komitmen kepada APBN dari Jepang mencapai 15,267 miliar dolar AS berupa bilateral swap sebesar 12 miliar dolar AS, samurai bond 1,5 miliar dolar AS, pinjaman program 500 juta dolar AS, pinjaman proyek 767 juta dolar AS, dan trade financing sebesar 500 juta dolar AS. Sementara itu, dalam sidang ADB di Bali ini juga disepakati komitmen Jepang kepada Indonesia untuk tahun 2010.

Persoalannya, pinjaman Jepang kepada Indonesia kini tidak bisa fleksibel seperti dulu lagi. Berbagai pinjaman Jepang kepada Indonesia biasanya dengan persyaratan yang sangat ketat. Ini mengingat, sebagian besar pinjaman Jepang kepada Indonesia berupa pinjaman proyek, sebagaimana terlihat dalam komitmen pinjaman pada 2009 di atas.

Kasus yang paling hangat dalam kaitannya dengan pinjaman Jepang adalah pinjaman untuk pembangunan mass rapid transit (MRT) DKI Jakarta. Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) siap mendanai pembangunan MRT tersebut. Jepang menyodorkan proposal pendanaan MRT senilai 860 juta dolar AS dengan masa pengembalian utang selama 30 tahun dengan bunga pinjaman sebesar 0,6 persen. Namun, pinjaman itu dengan sejumlah persyaratan yang sangat mengikat (tied loan), yaitu terutama hanya perusahaan Jepang yang bisa ikut tender. Selain itu, proyek tersebut akan didominasi Jepang dari mulai perusahaan, pekerja, sampai teknologinya akan didatangkan sebagian besar dari Jepang. Padahal, prinsip pinjaman luar negeri kita biasanya tender dilakukan secara terbuka agar perusahaan lokal bisa masuk.

Dan, tragisnya, ketika di-compare dengan proposal yang diajukan BUMN kita untuk mengerjakan proyek MRT tersebut, ternyata proposal yang disodorkan Jepang nilainya jauh lebih mahal dibandingkan bila proyek MRT tersebut dikerjakan BUMN kita. Dalam proposal yang diajukan konsorsium 14 BUMN diketahui bahwa pembangunan proyek MRT tersebut hanya diperlukan biaya investasi sebesar 550 juta dolar AS atau hampir 50 persen lebih murah dibandingkan nilai proyek yang diajukan Jepang. Tentunya, ini menjadi kasus-kasus yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah ketika melakukan pinjaman kepada negara lain untuk membiayai suatu proyek, khususnya infrastruktur. Jangan sampai pinjaman luar negeri yang sepintas terlihat murah tersebut, ternyata justru memberatkan kita di kemudian hari.

Ketiga, Indonesia tadinya berhak atas fasilitas pinjaman yang diklaim sebagai pinjaman lunak dari ADB tersebut, melalui Asian Development Fund (ADF). Skim ADF ini adalah Indonesia tetap dikenai bunga untuk setiap pinjaman yang dibuat, tetapi dengan tenor lebih dari 20 tahun. Namun, mengingat bahwa kini Indonesia masuk sebagai negara berpendapatan menengah, kita tidak berhak lagi atas ADF. Pendapatan per kapita Indonesia naik dari 800 dolar AS menjadi lebih dari 2.000 dolar AS per tahun. Kini, bunga pinjaman ADB untuk Indonesia dengan standar komersial, yakni LIBOR (bunga antara bank di London) ditambah 0,2 persen. Artinya, jika LIBOR sebesar 1,5 persen, setiap pinjaman Indonesia dari ADB dikenai bunga 1,7 persen per tahun.

Dengan skim seperti ini, sesungguhnya 'nilai istimewa' yang selama ini diklaim dimiliki pinjaman dari ADB kini telah semakin berkurang. Sebab, kalau sama-sama memberlakukan suku bunga komersial, sesungguhnya hampir tak ada bedanya bila pemerintah melakukan pinjaman dari sumber komersial lainnya. Suku bunga LIBOR saat ini memang sedang rendah, sekitar 1,5 persen. Tapi, jangan lupa, pada 2007 lalu, suku bunga LIBOR pernah mencapai 6,5 persen atau hampir setara dengan suku bunga sovereign bond.

Kalau sama-sama memberlakukan bunga komersial, bisa jadi dengan menerbitkan obligasi sendiri merupakan opsi yang lebih menguntungkan untuk membiayai proyek pemerintah. Terlebih lagi, bila ternyata pinjaman ADB tersebut masih harus ditambah dengan berbagai persyaratan ketat lainnya. Dan, lebih runyam lagi, bila ternyata nilai proyek bisa jauh lebih murah jika dikerjakan sendiri.

Tentunya, fakta-fakta di atas tidak lantas kita menafikan peran ADB. ADB tetap kita perlukan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan. Hanya saja, peran ADB harus dievaluasi karena konstelasi ekonomi global dan posisi Indonesia yang telah berubah. Indonesia dituntut lebih kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan di luar ADB, Bank Dunia, dan sumber bilateral dan multilateral konvensional lainnya. Tidak hanya kreatif mencari institusi atau negara sumber pinjaman, tetapi juga perlu mempersiapkan skim pinjaman yang beragam karena memang sumber-sumber pinjaman di luar sangat banyak dengan skim yang sangat beragam pula, seperti yang berlaku di Timur Tengah.

Kemudian, karena Indonesia juga memiliki posisi yang cukup strategis di ADB, kita juga perlu mengambil peran untuk melakukan reformasi di tubuh ADB. Indonesia harus bisa menjadi pelopor di ADB untuk menciptakan kesetaraan kepentingan, dengan berupaya untuk menghilangkan 'kekentalan' pengaruh kepentingan Jepang dan kekuatan non-Asia, seperti Bank Dunia atau IMF. Tanpa langkah-langkah ini, saya kira keberadaan Indonesia di ADB dan peran ADB bagi Indonesia tidak akan bisa memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.

Selasa, 05 Mei 2009

Masih Relevankah ADB Bagi Indonesia?



Oleh Sunarsip

Saat ini, tengah berlangsung Sidang Tahunan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) di Bali. Keinginan Indonesia untuk menjadi tuan rumah sidang tahunan ADB didasari oleh kepentingan agar Indonesia mendapatkan akses sumber pembiayaan yang mudah dari ADB. Indonesia merupakan klien ADB terbesar setelah India dan Cina.

Sejak bergabung dengan ADB tahun 1966, Indonesia telah menerima 297 pinjaman senilai 23,5 miliar dolar AS dan 498 proyek bantuan teknis senilai 276,6 juta dolar AS. Pada periode 2000-2007, rata-rata pinjaman tahunan ADB ke Indonesia tak kurang dari 700 juta dolar AS. Bahkan, pada tahun 2008, ADB meminjamkan dana 1,085 miliar dolar AS.

Mungkin karena ADB dinilai strategis inilah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berniat akan mempertahankan Indonesia di ADB pada posisi keenam. Untuk itu, pemerintah berkomitmen akan menyetor Rp 2 triliun dalam empat tahun ke depan, agar kepemilikan saham di ADB bisa dipertahankan.

Seiring dengan perubahan konstelasi ekonomi dunia, kini relevansi ADB bagi negara-negara di Asia (termasuk Indonesia) banyak dipertanyakan.

Kenapa? Pertama, ADB mayoritas pemegang sahamnya adalah Jepang. Jepang adalah kontributor pemberi pinjaman bagi negara-negara peminjam dari ADB. Namun, sayangnya, seiring dengan krisis ekonomi dunia yang saat ini terjadi (di mana Jepang tengah mengalami resesi), kemampuan ADB kini menjadi semakin dipertanyakan. Ibaratnya, tanpa kontribusi Jepang ADB akan seperti macam ompong.

Kedua, Jepang adalah pemain kunci di ADB. Bisa dibilang, apa kata Jepang adalah kata ADB. Sehingga, tidak mengherankan bila muncul tudingan bahwa ADB sarat dengan kepentingan Jepang. Jepang selama ini telah banyak memberikan pinjaman secara bilateral kepada Indonesia. Pada tahun 2009, jumlah likuiditas dan komitmen kepada APBN dari Jepang mencapai 15,267 miliar dolar AS berupa bilateral swap sebesar 12 miliar dolar AS, samurai bond 1,5 miliar dolar AS, pinjaman program 500 juta dolar AS, pinjaman proyek 767 juta dolar AS, dan trade financing sebesar 500 juta dolar AS. Sementara itu, dalam sidang ADB di Bali ini juga disepakati komitmen Jepang kepada Indonesia untuk tahun 2010.

Persoalannya, pinjaman Jepang kepada Indonesia kini tidak bisa fleksibel seperti dulu lagi. Berbagai pinjaman Jepang kepada Indonesia biasanya dengan persyaratan yang sangat ketat. Ini mengingat, sebagian besar pinjaman Jepang kepada Indonesia berupa pinjaman proyek, sebagaimana terlihat dalam komitmen pinjaman pada 2009 di atas.

Kasus yang paling hangat dalam kaitannya dengan pinjaman Jepang adalah pinjaman untuk pembangunan mass rapid transit (MRT) DKI Jakarta. Jepang melalui Japan Bank for International Cooperation (JBIC) siap mendanai pembangunan MRT tersebut. Jepang menyodorkan proposal pendanaan MRT senilai 860 juta dolar AS dengan masa pengembalian utang selama 30 tahun dengan bunga pinjaman sebesar 0,6 persen. Namun, pinjaman itu dengan sejumlah persyaratan yang sangat mengikat (tied loan), yaitu terutama hanya perusahaan Jepang yang bisa ikut tender. Selain itu, proyek tersebut akan didominasi Jepang dari mulai perusahaan, pekerja, sampai teknologinya akan didatangkan sebagian besar dari Jepang. Padahal, prinsip pinjaman luar negeri kita biasanya tender dilakukan secara terbuka agar perusahaan lokal bisa masuk.

Dan, tragisnya, ketika di-compare dengan proposal yang diajukan BUMN kita untuk mengerjakan proyek MRT tersebut, ternyata proposal yang disodorkan Jepang nilainya jauh lebih mahal dibandingkan bila proyek MRT tersebut dikerjakan BUMN kita. Dalam proposal yang diajukan konsorsium 14 BUMN diketahui bahwa pembangunan proyek MRT tersebut hanya diperlukan biaya investasi sebesar 550 juta dolar AS atau hampir 50 persen lebih murah dibandingkan nilai proyek yang diajukan Jepang. Tentunya, ini menjadi kasus-kasus yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah ketika melakukan pinjaman kepada negara lain untuk membiayai suatu proyek, khususnya infrastruktur. Jangan sampai pinjaman luar negeri yang sepintas terlihat murah tersebut, ternyata justru memberatkan kita di kemudian hari.

Ketiga, Indonesia tadinya berhak atas fasilitas pinjaman yang diklaim sebagai pinjaman lunak dari ADB tersebut, melalui Asian Development Fund (ADF). Skim ADF ini adalah Indonesia tetap dikenai bunga untuk setiap pinjaman yang dibuat, tetapi dengan tenor lebih dari 20 tahun. Namun, mengingat bahwa kini Indonesia masuk sebagai negara berpendapatan menengah, kita tidak berhak lagi atas ADF. Pendapatan per kapita Indonesia naik dari 800 dolar AS menjadi lebih dari 2.000 dolar AS per tahun. Kini, bunga pinjaman ADB untuk Indonesia dengan standar komersial, yakni LIBOR (bunga antara bank di London) ditambah 0,2 persen. Artinya, jika LIBOR sebesar 1,5 persen, setiap pinjaman Indonesia dari ADB dikenai bunga 1,7 persen per tahun.

Dengan skim seperti ini, sesungguhnya 'nilai istimewa' yang selama ini diklaim dimiliki pinjaman dari ADB kini telah semakin berkurang. Sebab, kalau sama-sama memberlakukan suku bunga komersial, sesungguhnya hampir tak ada bedanya bila pemerintah melakukan pinjaman dari sumber komersial lainnya. Suku bunga LIBOR saat ini memang sedang rendah, sekitar 1,5 persen. Tapi, jangan lupa, pada 2007 lalu, suku bunga LIBOR pernah mencapai 6,5 persen atau hampir setara dengan suku bunga sovereign bond.

Kalau sama-sama memberlakukan bunga komersial, bisa jadi dengan menerbitkan obligasi sendiri merupakan opsi yang lebih menguntungkan untuk membiayai proyek pemerintah. Terlebih lagi, bila ternyata pinjaman ADB tersebut masih harus ditambah dengan berbagai persyaratan ketat lainnya. Dan, lebih runyam lagi, bila ternyata nilai proyek bisa jauh lebih murah jika dikerjakan sendiri.

Tentunya, fakta-fakta di atas tidak lantas kita menafikan peran ADB. ADB tetap kita perlukan sebagai salah satu alternatif sumber pembiayaan. Hanya saja, peran ADB harus dievaluasi karena konstelasi ekonomi global dan posisi Indonesia yang telah berubah. Indonesia dituntut lebih kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan di luar ADB, Bank Dunia, dan sumber bilateral dan multilateral konvensional lainnya. Tidak hanya kreatif mencari institusi atau negara sumber pinjaman, tetapi juga perlu mempersiapkan skim pinjaman yang beragam karena memang sumber-sumber pinjaman di luar sangat banyak dengan skim yang sangat beragam pula, seperti yang berlaku di Timur Tengah.

Kemudian, karena Indonesia juga memiliki posisi yang cukup strategis di ADB, kita juga perlu mengambil peran untuk melakukan reformasi di tubuh ADB. Indonesia harus bisa menjadi pelopor di ADB untuk menciptakan kesetaraan kepentingan, dengan berupaya untuk menghilangkan 'kekentalan' pengaruh kepentingan Jepang dan kekuatan non-Asia, seperti Bank Dunia atau IMF. Tanpa langkah-langkah ini, saya kira keberadaan Indonesia di ADB dan peran ADB bagi Indonesia tidak akan bisa memberikan manfaat maksimal bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.

Senin, 04 Mei 2009

Ketika Konsumen Menjadi Raja

Oleh RHENALD KASALI

Setelah jungkir balik menerjang krisis, inilah saatnya membongkar black box konsumen Indonesia. Kalau gagal menafsirkannya, kita akan terperangkap quasi crisis (seolah-olah krisis) dengan tindakan mengkrisiskan diri sebelum konsumen benar-benar berhenti berbelanja.

Indikatornya, tatkala hasil yang dicapai setiap pelaku usaha dalam kategori yang sama mulai saling bertentangan. Yang satu mengatakan krisis, yang lain bilang tidak ada. Yang satu mengakui kesulitannya akibat mismanagement, yang lain menyalahkan krisis.

Pertentangan hasil survei dan perilaku membeli pun mulai tampak sehingga Yongky Susilo (The Nielsen Indonesia) menyebut fenomena belanja ini sebagai anomali besar. Bagaimana tidak, tahun lalu tingkat kepercayaan konsumen terhadap perekonomian (consumer confidence index) yang dipotret The Nielsen Indonesia terendah dalam lima tahun terakhir. Saat ditanya tentang masa depan, hanya 13 persen konsumen yang optimistis.

Di beberapa negara, indeks itu sangat konsisten dengan perilaku belanja. Kalau keyakinan rendah, gairah belanja turun dan penjualan terganggu. Faktanya, akhir tahun 2008, penjualan hampir semua kategori produk, mulai dari makanan dan minuman sampai otomotif dan belanja iklan, naik signifikan. Semua itu terjadi di tengah-tengah kenaikan harga bahan bakar minyak sehingga konsumen mengalami masalah daya beli.

Kenyataan ini mengingatkan saya kepada almarhum budayawan Mochtar Lubis yang secara tegas mengatakan manusia kita munafik. Apa yang diucapkan tidak sama dengan apa yang dilakukan. Dalam perilaku belanja, tampaknya konsumen kita sulit mengekspresikan isi pikiran dan isi kantong. Sekalipun pesimistis, kalau perangsang-perangsang penggoda belanja cukup besar, goyah juga untuk menghabiskan uang.

Kini ucapan itu penting untuk kita renungkan kembali. Terutama setelah menyaksikan fenomena belanja (kasus antrean belanja diskon) dan ritel yang seakan-akan tidak tergerus krisis serta opini-opini yang saling bertentangan.

Empat fenomena

Setidaknya ada empat fenomena yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu fenomena musim semi, buyer’s market, daya beli versus keinginan membeli, dan downshifting (berpindah segmen). Mari kita bahas satu per satu.

Berbeda dengan negara-negara yang memiliki musim semi, konsumen Indonesia selalu memasuki awal tahun dengan kegalauan. Banjir dan angin barat menerjang pulau-pulau Indonesia sehingga logistik terganggu, dan pengeluaran konsumsi di awal tahun selalu tersedot untuk memelihara kesehatan. Sementara itu, di negara-negara lain, musim semi adalah sebuah hope. Bunga-bunga mulai bermunculan dan mereka mengganti pakaian, perabot, warna, dan sebagainya.

Kalau tidak ada krisis, sudah pasti indeks keyakinan konsumen pada awal tahun di sini kalah bagus dibandingkan dengan keadaan di negara lain, atau dengan keadaan di kuartal tiga di sini yang diwarnai dengan psikologi liburan dan bonus akhir tahun.

Namun, krisis menciutkan nyali belanja. Ditambah dengan stimulus ekonomi yang hanya mengandalkan instrumen fiskal, sementara perputaran uang dikencangkan oleh otoritas moneter (bank sentral), berakibat langkanya kredit konsumsi yang masih dibutuhkan masyarakat. Akibatnya, penjualan otomotif dan perumahan yang merupakan lokomotif ekonomi yang penting berjalan tersendat-sendat.

Kalau pemerintah ingin sektor ini bergerak cepat, dibutuhkan sumber dana murah. Karena tidak ada, pasar terlihat menurun. Padahal, kebutuhan terhadap perumahan, sepeda motor, dan mobil masih sangat besar. Tengoklah Indomobil Finance yang baru mengeluarkan obligasi yang dalam waktu singkat menghasilkan dana dari masyarakat sebesar Rp 500 miliar. Di luar dugaan, masyarakat masih punya uang cukup besar.

Kemungkinan besar, fenomena musim hujan (sebagai lawan dari fenomena musim semi) turut mewarnai para pengambil keputusan yang akhirnya memilih menahan perputaran uang daripada memberikan perangsang yang menggeliatkan perekonomian.

Fenomena kedua yang tak kalah penting adalah buyer’s market. Untuk pertama kalinya dalam 10 tahun terakhir, pasar dikuasai oleh pembeli, dan pembeli menjadi raja. Setelah ditekan oleh berita-berita negatif, konsumen menahan uangnya, dan menjadi sangat selektif. Penundaan akan menjadi masalah kalau benar-benar sudah tak punya uang. Namun, bukan itu yang terjadi.

Quasi crisis terjadi karena keinginan membeli lenyap, bukan daya beli. Maka, saat raja yang sudah lama menahan uang berhadapan dengan stimulus pasar yang ”menarik”, mereka pun membelanjakan uangnya. Diskon yang dipepetkan waktunya (misalnya tiga jam, atau maksimum empat hari) dan dibatasi pasokannya biasanya menimbulkan persepsi kelangkaan yang akhirnya melipatgandakan nilai dari barang tersebut. Fenomena ini dikenal dengan istilah psychological reactance dan banyak digunakan dalam sektor ritel, dan kini dipakai dalam memasarkan properti.

Apa pun yang terjadi, satu hal harus diingat, berita-berita mengenai krisis selalu menurunkan optimisme. Dan konsumen yang pesimistis pun mengalami fenomena berikutnya, yaitu berpindah segmen, menjadi lebih konservatif, memilih hidup lebih seimbang dan lebih kreatif. Ini berarti konsumen tidak tinggal di tempat, mereka berpindah.

Ketika konsumen berpindah tempat, pemasar harus cerdik menemui mereka di tempat barunya. Di tempat baru itu mereka telah benar-benar berubah. Jenis produk, harga, metode pelayanan, paket-paket, dan lain sebagainya berubah total. Celakalah mereka yang masih menunggu konsumen di tempat yang sama.

Pembelajaran apa yang dapat ditarik dari fenomena belanja 2008-2009 ini? Anda benar. Krisis hanya akan menimpa mereka yang tidak responsif, yang resisten terhadap perubahan. Ketika konsumen berubah, kita pun harus beradaptasi dan mencari cara membuka black box pikiran mereka dan memenuhinya.