Senin, 29 Juni 2009

Mewirausahakan Birokrasi?

Alois A Nugroho

Etis tidaknya pengusaha menjadi calon presiden atau calon wakil presiden merupakan salah satu topik aktual dalam komunikasi politik kita (Kompas, 20/6/2008).

Topik ini dapat ditinjau secara normatif pada tataran deontologis (Paul Ricoeur, 2007). Namun, dalam konteks kampanye politik, topik ini tidak lepas dari retorika politik yang tertuju kepada sentimen (passion) yang lekat pada kata ”pengusaha” dalam sejarah bisnis kita (Jakob Oetama, 2001; Rhenald Kasali, 2008). Pada tataran ”kebijaksanaan praktis” (Charles Taylor, 1992), yang deontologis tetap harus dikombinasi dengan yang historis agar kita dapat memilih berdasarkan keutamaan yang oleh Aristoteles disebut phronesis (prudence) (Paul Ricoeur, 2007).

Pengusaha

Secara normatif, seorang pengusaha tetaplah seorang warga negara, berkedudukan sama dengan warga negara lain dalam hukum dan pemerintahan. Sejauh memenuhi persyaratan, hak seorang wirausaha untuk mencalonkan diri dan dipilih sebagai presiden dijamin hukum. Pemilih yang bijaksana ialah pemilih yang tidak menyisihkan peluang seorang wirausaha hanya karena dia wirausaha. Kampanye yang mendiskreditkan capres-cawapres yang pengusaha hanya karena mereka pengusaha tak hanya merupakan kampanye negatif, tetapi juga merupakan kampanye hitam (Lynda Lee Kaid, 2000).

Pertama, kampanye hitam memuat ketidakadilan terhadap pengusaha. Padahal, proses pemilu presiden harus diletakkan dalam ”hasrat manusia untuk hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam institusi yang adil” (Paul Ricoeur, 2007). Kampanye hitam antipengusaha hanya akan membenarkan keluhan bahwa pengusaha adalah warga yang paling mengalami diskriminasi di seluruh dunia (Ayn Rand, 1999).

Kedua, kampanye hitam juga memasyarakatkan ”kesesatan berpikir”, yang menolak seseorang hanya karena ”label”, bukan karena gagasan, pemikiran, atau rencana bagi kepentingan publik. Kampanye hitam membuat kita menjauhi ”tujuan nasional”, utamanya ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Hal lain yang perlu dipertimbangkan ialah keperluan ”mewirausahakan birokrasi” (David Osborne/Abdul Rosyid, 2003). Menghadapi persaingan global, semboyan birokrasi ”kalau dapat dipersulit, kenapa dipermudah” atau ”kalau dapat diperlambat, kenapa dipercepat” merupakan anakronisme yang harus masuk kitab sejarah. Pemilu legislatif dan pemilu presiden merupakan saat-saat tepat untuk ”banting setir”.

Tantangan historis

Namun, harus diakui, secara pragmatis pesan kampanye negatif yang antipengusaha itu sudah mengikuti kaidah utama praktik komunikasi, know your audience (Gary Radford, 2004). Dalam uraian tentang perlunya menciptakan bisnis besar (powerhouse) yang dapat menjadi ikon, penyerap tenaga kerja, lokomotif pertumbuhan, sumber pajak, Rhenald Kasali juga mengeluhkan adanya sentimen negatif masyarakat terhadap bisnis besar (Rhenald Kasali, 2008).

Jakob Oetama bergerak lebih jauh dengan menganalisis sebab- sebab munculnya sentimen negatif terhadap pengusaha (Jakob Oetama, 2001). Ada lima sebab yang disebutkan. Pertama, pandangan budaya tradisional (Jawa utamanya); kedua, ideologi para pendiri bangsa; ketiga, sistem sosial kolonial; keempat, crony capitalism dan, kelima, kesenjangan kaya-miskin.

Pandangan tradisional Jawa menganggap pelaku bisnis itu tidak sepi ing pamrih dan berorientasi materi, karena itu negatif (Niels Mulder/Alois Nugroho, 1982).

Banyak pendiri bangsa kita meyakini, kapitalisme adalah biang dari kolonialisme. Pemerintah kolonial juga dianggap membuat inlanders (bumiputra) menjadi een natie van koelies (hingga kini di Malaysia dan sebagainya), sementara golongan Eropa (europeezen) dan Timur Asing (vreemde oosterlingen) punya kesempatan berbisnis. Bisnis kroni marak pada era Orde Baru (Yoshihara Kunio, 1990) dan melingkarkan tanda tanya pada era Reformasi dalam kasus-kasus semisal Newmont, Freeport, dan Lapindo. Kesenjangan kaya miskin masih tampak tidak hanya dalam data Badan Pusat Statistik atau Bank Dunia, tetapi bahkan di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Faktor-faktor yang berasal dari budaya Jawa dan tata kolonial sudah mengalami perubahan besar. Bahwa ”investasi” merupakan kata kunci penting dalam agenda administrasi dan kampanye pilkada di kabupaten-kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas (Gondo Mahfudz, 2008) merupakan bukti penting. Perilaku administratif pasangan Jokowi-Rudy dalam menangani ”kapitalis marhaen” di ”basis priayi” Solo menunjukkan perniagaan bukan lagi wilayah kasar dalam dunia simbolisme Jawa.

Ini berarti, label ”pengusaha” saja tidak cukup untuk menjadi alasan tak memilih seorang capres. Namun, itu tak juga berarti, seorang pengusaha wajib dipilih hanya berdasarkan hak normatif dengan diperkuat oleh keperluan ”mewirausahakan birokrasi”. Dalam konteks persepsi publik terhadap bisnis, seorang capres— pengusaha atau bukan—harus diuji sikap, program, dan rekam jejaknya menyangkut tiga hal: sistem ekonomi yang sesuai dengan UUD proklamasi, pemberantasan bisnis kroni, dan pengurangan kesenjangan kaya-miskin.

Alois A Nugroho Guru Besar Etika pada Fakultas Ilmu Administrasi Unika Indonesia Atma Jaya

ANALISIS EKONOMI

Pasar Antisipasi Pilpres dan Kinerja Ekonomi



Mirza Adityaswara


Setelah melaju pada April dan Mei, pasar modal global dan domestik seperti kehabisan bahan bakar pada bulan Juni. Melesatnya indeks bursa saham pada April-Mei didorong oleh kinerja perusahaan global dan domestik yang lebih baik daripada perkiraan awal. Pasar keuangan selalu berusaha mengantisipasi fundamental ekonomi. Tanda-tanda bahwa kondisi terburuk sudah terlewati membuat para investor memberanikan diri mengakumulasi saham yang pada Februari-Maret jatuh terpuruk.

Ekonomi Indonesia pada kuartal I-2009 yang tumbuh positif 4,4 persen dianggap baik sehingga mendorong para investor melakukan pembelian. Kegiatan kampanye pemilu legislatif dan panen padi yang bagus tampaknya mendorong aktivitas ekonomi pada kuartal I-2009. Di tengah resesi global, hanya sedikit negara di dunia yang mencatat pertumbuhan ekonomi positif pada kuartal I-2009, termasuk China, India, dan Indonesia. Hasil pemilu legislatif pada bulan April menambah optimisme investor pasar modal.

Namun, pada Juni laju pasar modal global mulai agak tertahan, investor melakukan aksi ambil untung, mengurangi portofolio investasinya. Indeks Bursa Efek Indonesia yang naik pesat dari 1.200 (Februari) ke 2.200 (Mei) kembali turun ke 1.990 pada Juni. Kurs rupiah terhadap dollar AS, yang menguat dari Rp 12.800 ke Rp 9.900, agak melemah, kembali ke Rp 10.380. Imbal hasil (yield) Surat Utang Negara (SUN) berjangka 10 tahun yang membaik signifikan dari 14 persen pada Maret ke 10,3 persen pada Mei sedikit memburuk ke 11,1 persen.

Investor asing menambah investasi SUN pada April dan Mei, tetapi mengurangi Rp 3 triliun pada Juni sehingga jumlah kumulatif investasi turun menjadi Rp 86 triliun. Kekhawatiran naiknya inflasi dan defisit anggaran karena naiknya harga minyak internasional (ke 70 dollar AS per barrel) membuat investor SUN tekan portofolio.

Ada dua hal lain yang diantisipasi oleh para investor pasar keuangan, yaitu hasil pemilu presiden 8 Juli serta kinerja ekonomi kuartal II-2009. Kinerja keuangan emiten global dan domestik akan kita ketahui pada Juli juga. Investor mengurangi portofolio karena pernyataan pemerintah menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2009 akan sedikit lebih rendah daripada kuartal I-2009. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2009 saat ini diperkirakan 3,8-4,0 persen sehingga lebih rendah daripada pencapaian 4,4 persen pada kuartal I-2009.

Hasil pemilu presiden merupakan faktor signifikan yang ditunggu investor. Antisipasi yang dilakukan adalah dengan melihat hasil jajak pendapat berbagai lembaga survei. Perubahan hasil survei dicermati. Terlepas dari perdebatan publik terhadap validitas hasil lembaga survei, paling tidak hal tersebut bisa dijadikan barometer memprediksi hasil pemilu presiden. Pada intinya, investor pasar keuangan menginginkan pemerintah yang stabil dan efektif, pemerintah yang berhati-hati mengelola ekonomi makro, pemerintah yang pro kepada pertumbuhan ekonomi serta meneruskan reformasi di berbagai bidang, termasuk menjaga ”governance” pemerintahan yang baik.

Perbankan global

Pasar keuangan dan ekonomi global mulai menunjukkan stabilisasi, tetapi dunia belum keluar dari resesi ekonomi. Salah satu pejabat Dana Moneter Internasional (IMF), John Lipsky, mengatakan bahwa tanda-tanda penurunan output ekonomi global mulai menunjukkan stabil moderat. Akan tetapi, IMF mengatakan bahwa tanda-tanda pemulihan ekonomi hanya terlihat di Asia, belum ada tanda-tanda pemulihan ekonomi di negara maju. Maka, IMF menyarankan kepada pemerintah negara maju dan berkembang agar tidak menyetop stimulus fiskal yang direncanakan. IMF juga menyarankan, kebijakan moneter masih harus tetap akomodatif, artinya belum saatnya suku bunga dinaikkan. Upaya penyehatan sektor perbankan harus tetap dijalankan. Modal perbankan global harus dinaikkan, neraca perbankan global harus dibersihkan dari kredit bermasalah agar mereka bisa kembali menyalurkan kredit kepada sektor riil dunia.

Direksi bursa

Besar harapan investor bahwa setelah pemilu presiden, proses pemulihan ekonomi domestik akan lebih cepat. Pada Mei, penjualan mobil naik 4 persen terhadap bulan April. Pada periode yang sama, penjualan sepeda motor naik 19 persen, penjualan semen naik 7 persen, dan penjualan alat berat oleh United Tractor naik 45 persen. Setelah pemilu presiden diharapkan kredit perbankan akan mulai jalan dan suku bunga kredit juga bisa mulai diturunkan karena risiko kredit bermasalah akan mulai menurun.

Pemerintah ke depan harus bisa menuntaskan pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan, jembatan, pembangkit listrik, irigasi pertanian di seluruh Indonesia. Potensi di luar Jawa akan bisa diwujudkan jika pemerintah menyediakan infrastruktur. Ketahanan energi dan pangan adalah hal prioritas. Sumber dana pembangunan berasal dari pengeluaran pemerintah, perbankan, dan pasar modal. Peranan pasar modal kian penting, yaitu memberikan dana kepada pemerintah dalam bentuk SUN serta dana obligasi dan tambahan modal saham kepada perusahaan Indonesia.

Minggu lalu terpilih paket direksi Bursa Efek Indonesia yang baru. Tantangan yang dihadapi oleh Ito Warsito dan kawan-kawan bersama pemerintah adalah memperluas basis investor di pasar modal Indonesia, meningkatkan likuiditas bursa, dan menegakkan integritas pelaku pasar modal. Kapitalisasi pasar saham di Indonesia saat ini hanya 31 persen produk domestik bruto (PDB). Di Malaysia sudah 80 persen dan di Amerika Serikat sudah 132 persen PDB. Basis investor institusi dalam negeri, seperti dana pensiun dan asuransi, harus diperluas. Tren perusahaan Indonesia mencatat di bursa Singapura harus dicegah dengan menawarkan insentif dan birokrasi yang efisien.

Investor luar negeri yang masuk ke pasar modal Indonesia harus diusahakan mempunyai horizon jangka panjang. Investor asing yang masuk ke Sertifikat Bank Indonesia sebaiknya dilarang karena hal tersebut hanya membuat volatilitas tinggi pada kurs rupiah tanpa dananya bisa dipakai untuk pembangunan. Agar pasar modal Indonesia bisa menjadi tempat investasi yang dihormati, ”governance” pelaku bursa harus ditegakkan, meliputi integritas investor, emiten, termasuk pula integritas regulator. Aturan kehati-hatian, permodalan perusahaan sekuritas, dan sumber daya manusia harus ditingkatkan demi terciptanya industri pasar modal yang tangguh.

Mirza Adityaswara Ekonom dan Analis Pasar Modal

 

Rabu, 24 Juni 2009

Perlu Terobosan Kurangi Utang

IVAN A HADAR\

Tajuk Rencana harian ini mencatat kegerahan berbagai pihak terkait meningkatnya ketergantungan pembiayaan pembangunan pada utang dan mengusulkan perlunya perubahan paradigma berutang pemerintah (Kompas, 16/6). 

Sebenarnya, pada awal pemerintahannya, dalam pertemuan Financing for Development di New York (14/9/2005), Presiden SBY mengatakan, ”There is a real need for significant debt reduction ... not only for the least developed countries but also for middle-income developing countries.”

Sejalan dengan itu adalah pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam pertemuan UNCTAD di Jakarta, ”Salah satu kesulitan utama pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional, termasuk tujuan pembangunan milenium (MDGs), adalah utang luar negeri. Atas dasar itu, Indonesia akan terus menyuarakan pentingnya penghapusan utang.” (Koran Tempo, 24/10/2006).

Sayang dalam lima tahun pemerintahan SBY-JK kendati rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun cukup signifikan dari 57 persen menjadi 33 persen, secara nominal stok utang terus membengkak dari Rp 1.300 triliun menjadi Rp 1.700 triliun. Ada kesan, prinsip ”gali lubang, tutup lubang” masih berlaku, mengesampingkan logika sederhana, bila ingin penghapusan utang, pengambilan utang baru seharusnya dihentikan, setidaknya hanya sebagai alternatif terakhir setelah semua sumber pembiayaan sulit diperoleh.

Secara teoretis, Daseking dan Kozack (2003) memprediksi, negara seperti Indonesia akan gagal mencapai MDGs berupa pengurangan kemiskinan menjadi separuh pada 2015, kecuali mempunyai pertumbuhan ekonomi tinggi, berhasil memperkuat institusi, melaksanakan kebijakan prorakyat kecil, dan tidak terperangkap utang. Saat ini, pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri pemerintah memakan porsi lebih dari 30 persen hasil pajak. Jumlah yang seharusnya digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan investasi sosial lainnya.

Sepanjang 2005/2006, misalnya, untuk membayar bunga utang yang jatuh tempo, pemerintah harus mengeluarkan dana Rp 42,3 triliun, sementara bunga untuk SUN valuta asing sebesar 132,3 juta dollar AS.

Jumlah itu belum termasuk utang luar negeri sekitar Rp 732 triliun dengan cicilan sebesar Rp 90-an triliun. Saat ini, dengan jumlah stok utang Rp 1.700 triliun, cicilan bunga utang telah menjadi sumber ancaman bagi stabilitas ekonomi makro, baik berupa tekanan defisit fiskal, ketimpangan distribusi sosial dalam APBN, maupun tekanan atas cadangan devisa. Karena itu, selain penjadwalan ulang utang, diperlukan terobosan berupa strategi yang lebih komprehensif guna mengurangi stok utang itu.

Terobosan

Beberapa strategi alternatif berikut bisa dikembangkan untuk mengurangi (beban) utang Indonesia.

Pertama, pemberlakuan batas maksimum bagi pembayaran utang pemerintah, terutama utang luar negeri. Dana itu bisa tetap menjadi bagian APBN untuk membiayai program padat karya di pedesaan, subsidi kredit program bagi pemulihan sektor riil yang berbasis pada UKM, serta pembiayaan sektor sosial, terutama pendidikan dan kesehatan. Untuk itu, ketimbang menggunakan rasio utang terhadap PDB, lebih baik rasio terhadap pajak serta mengacu pada kebutuhan pencapaian MDGs.

Penetapan batas maksimum perlu didasarkan pada sebuah undang-undang sehingga pemerintah bisa menggunakannya sebagai dasar hukum sekaligus alat negosiasi dengan kreditor. Adapun pengaturan dalam UU itu hendaknya mencakup pembatasan jumlah maksimum pembayaran utang pemerintah dalam setiap tahun anggaran, misalnya 10 persen dari total penerimaan negara yang berasal dari pajak dan nonpajak. Begitu pula pengaturan terms untuk pengurangan utang yang harus digunakan pemerintah dalam negosiasi dengan kreditor serta pengaturan pengelolaan dana yang semestinya dipakai untuk membayar utang luar negeri.

Selanjutnya, diperlukan pengaturan pembatasan jumlah utang baru yang boleh diambil pemerintah. Jika memungkinkan, sebaiknya mengarah kepada zero debt bagi utang luar negeri pemerintah. Selain itu juga pengaturan tingkat maksimum kenaikan pajak dan penurunan subsidi sehingga total penerimaan negara benar-benar dihitung secara reasonable. Ini memperkecil peluang kreditor untuk menekan pemerintah agar memperbesar jumlah pembayaran utang dengan memperbesar target penerimaan negara, terutama lewat pemotongan subsidi untuk public services dan penjualan BUMN.

Kedua, pengurangan pokok utang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah penghapusan utang melalui kombinasi rekayasa keuangan dan renegosiasi komersial dengan kreditor serta pengurangan pokok utang melalui arbitrase internasional. Kegagalan para kreditor menjamin good governance dalam manajemen utang para debitor pada masa lalu memunculkan wacana mengenai utang najis (odious debt). Kreditor dituntut untuk memberikan kemudahan dan hair cut untuk mengompensasi utang najis itu. Cara lain adalah renegosiasi bilateral, terutama dengan Jepang. Sekitar sepertiga dari debt outstanding Indonesia adalah dengan Jepang. Kepentingan strategis Jepang, baik dalam membendung ambisi China dalam restrukturisasi multinasionalnya maupun keinginan menahan serbuan produk China ke pasar domestik Indonesia, merupakan potensi negosiasi.

Ketiga, pembentukan integrated debt management office. Saat ini, manajemen utang ditangani beberapa institusi, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan Bappenas, secara parsial. Fungsi front office sejak krisis 1998 dalam penanganan utang luar negeri kurang terkoordinasi. Sementara fungsi middle office untuk menganalisis risiko berupa analisis keterkelolaan utang, risiko, tingkat pengembalian dan lainnya belum maksimal.

”Debt management office”

Untuk itu diperlukan debt management office yang menyatu, yang tidak hanya mengikuti strategi pengelolaan utang konvensional. Debt management office seharusnya ada, bukan hanya mengurus rescheduling dan reprofiling, tetapi juga menawarkan pengelolaan utang nonkonvensional yang memerlukan teknik negosiasi dan rekayasa finansial, seperti pemotongan utang (hair cut), penghapusan sebagian utang (write off), konversi utang ke obligasi (Brady bond), konversi utang menjadi ekuitas, konversi utang ke sumber daya alam (debt for nature swap), dan konversi utang ke MDGs (debt for MDGs swap).

IVAN A HADAR Analis Ekonomi Politik, Wakil Pemred Jurnal SosDem

Sabtu, 20 Juni 2009

Pengusaha, Apa yang Salah?

Oleh Andi Suruji 

Tokoh pengusaha senior, Sofjan Wanandi, tempo hari di harian ini mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Dengan tegas ia menyatakan bahwa pengusaha juga punya hak untuk menjadi presiden, bukan hanya politisi dan militer.

Apa salah pengusaha sampai mereka harus berteriak untuk menegaskan haknya sebagai warga negara tersebut?

Siapa pun yang pernah mendapat pelajaran kewarganegaraan di sekolah pastilah paham soal itu. Konstitusi secara tegas mengatur hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih menjadi presiden. Kalau ada yang tidak tahu, mungkin cuma pura-pura tidak tahu atau sudah lupa pelajaran itu. Ah, masa?

Kalau anak-anak kita sekarang ini tidak tahu soal itu, orangtua perlu waspada dan pasang alarm. Buku pelajaran mereka patut diperiksa. Jangan-jangan tidak ada lagi bagian seperti itu dalam buku pelajaran mereka. Atau, saat guru menerangkan bagian pelajaran kewarganegaraan ini, barangkali mereka sedang bolos, ngacir ke mal.

Sebenarnya, banyak sekali pengusaha yang menjadi pemimpin pemerintahan di negaranya dan dicintai pula oleh rakyatnya. Di Indonesia baru Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha dan berhasil terpilih dalam Pemilihan Umum 2004 untuk menduduki kursi nomor dua republik ini sebagai wakil presiden berdampingan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Semua pemimpin negara di dunia ini pasti hormat kepada pengusahanya. Penguasa tak berani melecehkan pengusahanya. Sebab, mereka menyadari peran pengusaha dalam perekonomian suatu negara amat besar. Para pemimpin negara umumnya siap melakukan lobi, yang lembut sampai paling keras, ketika membela kepentingan pengusahanya dalam menghadapi persoalan bisnis di forum internasional.

Di Amerika Serikat, suara pengusaha amat didengar pemerintah karena mereka membayar pajak yang sangat besar. Suara pengusaha bisa menjatuhkan presiden dari kursinya melalui kongres kalau kebijakan penguasa ngawur dalam mengelola perekonomian dan pemerintahan.

Di Jepang, ketika pemerintah mulai bangkit membangun kembali perekonomiannya setelah kalah dalam Perang Dunia II, pengusahalah yang tampil berperan. Negara sudah bangkrut, penguasa tidak punya uang. Terjadilah ”koalisi” antara pengusaha dan penguasa. Bukannya penguasa menghantam pengusaha.

Penguasa yang bangkrut tidak punya cara lain kecuali mendorong sekuat tenaga para pengusaha yang masih memiliki modal (dalam arti luas) untuk mengambil peran dalam pembangunan kembali bangsa Jepang. Pengusaha didorong berdagang dengan pihak luar negeri, membangun bisnis di dalam negeri, mengirim pekerja dan anak muda ke luar negeri untuk belajar supaya pulang menerapkan ilmunya dalam pembangunan kembali bangsa yang ”hancur” dihantam perang itu.

Semua upaya itu didukung habis dan sepenuhnya oleh pemerintah dengan aneka fasilitas yang bisa diberikan. Pendeknya, pengusaha berjasa besar dalam kebangkitan ekonomi Jepang dan pembangunan secara keseluruhan. Karena jasa-jasa pengusaha itulah sehingga penguasa secara turun-temurun merasa ”berutang budi” kepada pengusaha. Tidak heran jika penguasa di Jepang amat getol membela pengusaha Jepang untuk mencapai kemajuan bisnis. Di dalam maupun di luar negeri.

Kemajuan bisnis pengusaha berarti kemajuan ekonomi suatu negara yang akhirnya menjadi kebanggaan bangsa. Hanya negara yang perekonomiannya maju yang disegani dan diperhitungkan serta dihormati bangsa lain.

Di mana pun, yang namanya pengusaha memang ada saja yang jahat. Contoh pengusaha jahat, ya, ngemplang pajak, mengabaikan kesejahteraan buruh, dan tak peduli lingkungan. Doyan fasilitas negara karena suka setor upeti kepada penguasa. Sama jahatnya penguasa yang doyan komisi dari pengusaha.

Tetapi, sangat banyak pengusaha yang baik, heroik, nasionalis. Pengusaha yang baik taat membayar pajak untuk dipakai pemerintah membayar gaji aparat negara, menjalankan roda pemerintahan, dan membangun segala macam kebutuhan dasar rakyat yang dipimpinnya. Pengusahalah yang berani mengambil risiko investasi dan bisnis supaya membuka lapangan kerja.

Panggung pengusaha

Seperti sering diutarakan surat kabar ini, ada tiga panggung utama yang memengaruhi kehidupan manusia, yaitu negara, masyarakat sipil, dan ekonomi. Peran negara mulai bergeser dari otokrasi ke demokrasi. Panggung civil society ditandai oleh gerakan aktif LSM, masyarakat, dan ormas yang secara historis sudah berakar di masyarakat dan kesadaran rakyat berubah menjadi kesadaran sebagai warga negara. Dua hal ini kita sudah maju walaupun masih ”in the making”.

Pemahaman tentang panggung ekonomi masih minim. Itu sebabnya kita perlu mengoreksi pemahaman ini dengan melakukan reformasi yang komprehensif. Ekonomi yang mana yang harus mendapat panggung? Yaitu ekonomi pasar sosial. Pelaku usaha, pelaku ekonomi, selain mengejar keuntungan, juga memikul tanggung jawab sosial, secara pribadi maupun lembaga berupa corporate social responsibility. Tanggung jawab moral secara pribadi tentu termasuk tampil memimpin negara karena memang berhak.

Sayang keberadaan pelaku usaha, pengusaha, di panggung peran negara dewasa ini memang masih sering kali digugat masyarakat. Keberadaan pengusaha dalam kabinet, pemerintahan, dipersepsikan seolah merusak tatanan birokrasi.

Padahal, sudah ada contoh eksistensi pengusaha dengan karakternya yang get things done justru memberikan warna tersendiri pada kabinet, pemerintahan, birokrasi yang suka ”mati angin” manakala menghadapi hal baru dan di luar kebiasaan.

Karakter semacam itulah yang sesungguhnya diperlukan bangsa ini ke depan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.

Kamis, 18 Juni 2009

Arti Ekonomi Kerakyatan

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden. Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan? 

Pertama-tama dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin. 

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama. 

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut? Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin). 

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan memberikan nama broad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas. 

Pro-poor growth sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UKM. 

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan 2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan. Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk dipertanyakan. 

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat. 

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan? Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang dikenal adalah pro-poor growth. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan. 

Wahyu Prasetyawan, peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, doktor ekonomi-politik lulusan Universitas Kyoto, Jepang. 

Jujur Menghitung Utang

 



Polemik panas mencuat setelah kubu Megawati- Prabowo menyodorkan data membengkaknya utang Indonesia. Sebagai pihak yang dipersalahkan, kubu Susilo Bambang Yudhoyono pun membantah dengan angka pula. Menarik, tapi argumennya sama-sama lemah. Debat kusir ini tak berkepanjangan jika keduanya membaca data secara jernih. 

Kubu Megawati, yang kini bersaing lagi dengan SBY dalam pemilihan presiden, berkukuh bahwa jumlah utang kita meningkat. Dalam lima tahun terakhir, pinjaman meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun. Jumlah utang sampai akhir Mei 2009 pun menembus Rp 1.700 triliun. Dus, rakyat—dari kakek sampai bayi baru lahir—kecipratan menanggung kewajiban Rp 7,5 juta per jiwa. 

Menerima tuduhan itu, pejabat pemerintah dan anggota tim kampanye SBY cepat memberi tanggapan. Melihat utang semata dari jumlah, menurut mereka, adalah menyesatkan. Mereka menganjurkan menyimak utang seraya membandingkannya dengan produk domestik bruto (PDB). 

Sejak 1999, rasio utang-PDB kita memang terus menurun. Sepuluh tahun silam, rasio itu mencapai 100 persen. Tahun lalu sudah turun menjadi 33 persen, dan akhir tahun ini diharapkan susut lagi menjadi 32 persen. Dilihat dengan cara itu, tampaklah bahwa kemampuan pemerintah dalam membayar utang semakin meningkat. 

Masalahnya, perbandingan itu pun kurang pas. Utang pada dasarnya persoalan cash flow alias arus kas. Sedangkan produk domestik bruto (begitu pula produk nasional bruto) merupakan urusan output alias produksi. Bila mau jujur dan berhati-hati dalam mengelola utang, pinjaman sebaiknya dibandingkan dengan arus pendapatan atau aset likuid yang dimiliki negara. Tujuannya, bila kreditor menagih, kita bisa membayar utang dengan isi kantong kita sendiri atau menjual dengan cepat harta yang kita miliki. 

Dengan nalar itu, lazimnya di negara lain utang dibandingkan dengan total cadangan devisa, total aktiva bersih pemerintah atau arus penerimaan pajak. Maka tengoklah perbandingan ini: utang kita Rp 1.700 triliun, sedangkan cadangan devisa pemerintah hanya US$ 58 miliar atau Rp 580 triliun dan penerimaan pajak cuma Rp 660 triliun. Jadi, utang kita hampir tiga kali lipat cadangan devisa. 

Pada 2000, utang luar negeri kita US$ 74,9 miliar atau 2,5 kali lipat cadangan devisa saat itu, US$ 29,4 miliar. Empat tahun kemudian, utang luar negeri naik menjadi US$ 82,7 miliar, sedangkan cadangan devisa bertambah menjadi US$ 35,4 miliar. Perbandingannya dua kali lipat lebih. 

Jika rasio itu yang dipakai, terlihat bahwa tingkat utang kita memang semakin mengkhawatirkan. Melihat anggaran yang selalu defisit, muncul pula kesan kuat bahwa kita tak sanggup membayar cicilan utang tanpa harus berutang lagi. 

Bukan berarti pemerintah harus bersikap antiutang. Utang tetap diperlukan asalkan dikelola dengan benar dan hati-hati. Ini bisa dimulai dengan mengedepankan sikap jujur dalam menghitung utang.

Rabu, 17 Juni 2009

Modal Mengalir Balik


Pelaku Pasar Berharap Pilpres Satu Putaran

Jakarta, Kompas - Arus modal asing mulai mengalir kembali, menyusul pulihnya kepercayaan dunia. Ini menjadi salah satu pemicu penguatan nilai tukar rupiah atas dollar AS sekitar 9,85 persen sejak awal 2009.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu di Jakarta, Selasa (16/6), dalam Rapat Kerja dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Menurut Sri Mulyani, arus modal asing yang masuk melalui pembelian saham hingga 16 Juni 2009 mencapai Rp 1,862 triliun atau naik dibanding Januari 2009, saat terjadi penjualan saham sekitar Rp 1,16 triliun. Itu menyebabkan indeks harga saham gabungan (IHSG) naik 51,7 persen dibanding pada awal 2009. Pada 5 Januari 2009, IHSG masih di level 1.437,3 dan pada 16 Juni 2009 di posisi 2.069.

Adapun modal asing yang masuk melalui pembelian obligasi mencapai Rp 5,19 triliun atau naik dibanding posisi Januari 2009, saat terjadi penjualan obligasi Rp 1,582 triliun. Arus masuk ini menyebabkan rupiah menguat ke level Rp 10.120 per dollar AS pada 16 Juni 2009. Sebelumnya, rupiah sempat melemah ke Rp 12.100 per dollar AS pada 20 Februari 2009.

”Semua itu menyebabkan cadangan devisa mendekati posisi tertinggi tahun 2008, yakni 60 miliar dollar AS. Pada 12 Juni 2009, cadangan devisa sudah terhimpun 57,29 miliar dollar AS,” ujar Sri Mulyani.

Dalam Seminar Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) di Jakarta, Kepala Peneliti PT OSK Nusadana Securities Indonesia Isnaputra Iskandar mengatakan, perekonomian Indonesia layak dipertahankan karena masih bisa tumbuh meskipun didera krisis global. Itu ditandai pertumbuhan ekonomi pada triwulan I yang mencapai 4 persen.

Sementara itu, fluktuasi nilai tukar rupiah kian rendah sehingga memberikan kepastian usaha. Kondisi itu didorong kepemilikan asing di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang naik di level 6-7 persen dari total SBI. Sebelumnya 3-4 persen.

Pemilu presiden

Terkait pemilu presiden (pilpres) Juli 2009, Isnaputra menyatakan dalam makalahnya, pelaku pasar modal berharap pemilu presiden berlangsung satu putaran. Pemilu presiden yang damai dan satu putaran itu diharapkan bisa memberikan kepastian berusaha yang lebih kuat.

Pelaku pasar menilai sangat kecil kemungkinan terjadinya kekacauan pada saat pemilu presiden nanti sehingga menambah harapan bahwa peralihan pemerintah akan berlangsung damai. ”Kami beripikir, pelaku pasar mengharapkan pemilu satu putaran,” ujarnya. (OIN)

Minggu, 14 Juni 2009

Wawancara Khusus Edwin Soeryadjaya


"Kami Incar Banyak Perusahaan"
Kami tertarik di sektor pertambangan, jalan tol, perkebunan sawit, serta consumer goods.


VIVAnews - Krisis finansial global telah membuat likuiditas di pasar dunia kering. Modal yang sebelumnya rame-rame masuk ke negara emerging market, kembali ke negara asalnya. Indonesia, sebagai salah satu negara berkembang termasuk yang kena getahnya.

Sejumlah lembaga investasi di Indonesia sebelumnya juga dikabarkan termasuk yang kena imbas. Banyak investor penyandang dana yang menarik dananya dari lembaga-lembaga semacam private equity fund tersebut. Karena itu, tak mengherankan para pengelola dananya sibuk melobi investor mereka.

Namun, Saratoga Capital yang mengelola dana US$ 1 miliar ternyata tidak demikian. "Mitra penyandang dana kami tidak ada yang menarik duitnya," ujar Edwin Soeryadjaya, Chairman Saratoga Capital di Jakarta, 20 Mei 2009. "Kami justru dapat suntikan dana baru."

Berbekal dana itulah, putra pendiri Astra Internasional, William Soeryadjaya itu mulai melirik banyak perusahaan. Perusahaan itu bergerak di berbagai sektor. Apa saja sektor dan perusahaan yang diincar, berikut petikan wawancara khusus jurnalis VIVAnews, Mohamad Teguh dan Heri Susanto dengan pengusaha kawakan ini.

Baru pulang dari Amerika Serikat? Ada agenda apa?

Ya. Saya laporan ke International Finance Corporation. Dia kan salah satu limited partner di Saratoga Asia II LP. Kini total dana yang kami kelola hampir US$ 1 miliar.

IFC tidak menarik dananya dari Indonesia di masa krisis ini?

Tidak. Nggak tahu untuk perusahaan yang lain, tapi bagi Saratoga tidak. Karena limited partner kami kuat-kuat. Misalnya, IFC, uang anak perusahaan Bank Dunia itu kan tidak berseri. Commonwealth Develompent Corporation (CDC) juga kuat sekali karena dimiliki oleh pemerintah Inggris. PT Astra Internasional Tbk. juga kuat,… hasil karya ayah saya hahaha.
Kami mendapat tambahan dana US$ 150 juta. Dari situ, kami bisa belanja banyak sih. Sebagian malah sudah diinvestasikan.

Diinvestasikan dimana saja?

Di sektor pertambangan, jalan tol, perkebunan sawit, serta consumer goods.

Sejauh ini berapa keuntungan yang diperoleh limited partner?

Ya cukup baik kok.

Dalam waktu dekat akan akuisisi apalagi?

Rencananya banyak yang mau diakuisisi. Sebab, saya kan bekerja untuk investor. Investor, kalau saya tidak kelola uangnya, ya tidak ada kerjaan untuk saya.

Kabarnya tertarik beli PT Bukit Makmur Mandiri Utama (Buma), perusahaan kontraktor pertambangan?

Eh…Anda tahu dari mana? Itu masih jauh ya karena prosesnya tidak mudah. Itu perusahaan besar dan menyangkut banyak aspek-aspek lain.
Prinsipnya, kalau ada proyek-proyek yang bagus, ya kami lihat. Selain itu kami juga ikut membantu kalau ada yang mau mengambil alih.

Investor mana yang dibantu?

Ada grup dari luar negeri. Saya kan menjadi semacam manajer investasi.

Saratoga akan ikut sebagai pemegang saham?

Mungkin nanti ikut.

Anda khabarnya juga berminat membeli saham BP di Blok Offshore West Java (ONWJ)?

Oh…itu dengan manajer investasi lain. Ada yang ajak kami. Kami kan tidak bisa besar-besar untuk satu proyek. Jadi, ada keterbatasan. sehingga kami urunan dan biasanya mengajak sesama manajer investasi. Namun, dalam konteks ini, kami yang diajak. Bukan kami yang punya gagasan.

Saratoga tidak berminat mayoritas?

Kami kan tidak pernah mayoritas karena keterbatasan keuangan. Misalnya, seperti di PT Adaro Energy Tbk., karena mindset kami sama, apakah itu Theodore Permadi Rachmat, Benny Subianto dan Boy Garibaldi Thohir, maka kami secara bersama menjadi mayoritas.
Dan kami tidak mau merusak citra sehingga kami saling menjaga. Jadi, kebijakan kami sama-sama berbagi apa yang terbaik untuk semua pemangku kepentingan. Itu kan mencakup beberapa hal. Pertama, klien atau konsumen. Kedua, negara terkait pajaknya. Ketiga, untuk karyawan. Keempat, baru pemegang saham. Selama itu dipegang teguh, kita kan bisa maju bersama.
Secara strategis, kami memang ingin memperbesar Adaro. Kalau dari produksi kami targetkan 40 juta ton tahun ini. Kami harapkan ada kenaikan keuntungan.

Benarkah Tata Power, Marubeni dan Barito minati saham Adaro?

Saya tidak tahu. Yang mau (dijual) kan punya orang asing, Goldman Sachs. Kita kan tidak bisa kasih tahu mereka mesti jual mau jual ke siapa.

Bagaimana Anda menyikapi rencana penjualan saham itu?

Ya nggak papa sih mau dijual. Kami tidak ada masalah. Sebab, kami di sana berlima. Boy Thohir, Teddy P. Rachmat, Benny Subianto, Sandiaga Uno dan saya. Kelima orang ini kompak kok.

Di luar sektor pertambangan ada yang Anda minati?

Ada satu perusahaan, saya belum bisa katakan. Saya masih menelitinya. Ya lumayan besar. Ada dua yang kami minati. Satu, perusahaan makanan dan minuman. Satu lagi consumer goods yang lain.

Mengapa consumer goods?

Untuk melengkapi portofolio yang baik. Salah satunya kami tertarik di consumer goods.

Bagaimana kelanjutan proyek jalan tol Anda?

Masih jalan. Namun, kami menghadapi masalah kurang tegasnya pemerintah. Itu kan satu kebijakan pemerintah. Lahan sudah diselesaikan oleh pemerintah. Perbankan yang belum.

Soal politik, menurut Anda dari tiga pasangan calon presiden siapa yang paling bagus?

Kalau bagi pengusaha semua juga bagus. Nanti kita lihat pada 9 Juli 2009.

heri.susanto@vivanews.com

Sabtu, 13 Juni 2009

AMERIKA SERIKAT


1,3 Triliun Dollar AS Kekayaan Lenyap

Tekanan krisis dahsyat awal tahun ini menggerus kekayaan pribadi warga AS. Sebesar 1,3 triliun dollar AS kekayaan lenyap karena harga rumah menyusut dan investasi menguap.

Kekayaan bersih yang merupakan nilai aset, seperti rumah, tabungan, dan investasi, dikurangi utang-utang, seperti kredit kepemilikan rumah dan kartu kredit, menurun 2,6 persen dalam tiga bulan pertama tahun 2009. Demikian data Bank Sentral AS, Kamis (11/6) di Washington.

Bulan-bulan itu merupakan periode terburuk masa resesi. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan pasar saham terjun bebas hingga mencapai titik terendah walau, sejak itu, mulai terlihat saham berbalik arah dan ekonomi mulai stabil.

Akan tetapi, karena telah mengalami resesi, masyarakat AS tetap menahan diri untuk melakukan kegiatan ekonomi secaar berlebihan, seperti berbelanja, hingga keadaan benar-benar membaik.

Saham sumber kehancuran

B Smith, kondektur kereta api di Chicago, menantikan saat tepat untuk membeli mobil bagi anak-anaknya. dia mengeluarkan uang sebesar 260.000 dollar AS atau sekitar Rp 260 juta untuk membangun rumah di pinggiran Chicago, 10 tahun lalu. Pada Januari 2008, harga rumahnya melonjak menjadi 380.000 dollar AS. Saat ini harga rumahnya stabil sekitar 310.000 dollar AS.

”Walau segala sesuatu sudah membaik, lenyapnya kekayaan masyarakat AS dalam sekejap akan membuat mereka berhemat,” ujar Scott Hoyt, Direktur Senior Ekonomi Konsumen pada Moody’s Economy.com.

”Masyarakat belum pernah mengalami penurunan kekayaan seperti sekarang ini. Mereka berubah menjadi lebih hemat dan akan tetap demikian dalam jangka pendek. Krisis ini merupakan pengalaman yang sangat berharga,” ujarnya lagi.

Maurice Boler, konsultan manajemen, mengatakan, dia lebih suka membetulkan rumahnya sendiri dibandingkan dengan menyewa tukang. Ini merupakan salah satu cara berhemat. Bahkan, jika perekonomian membaik dan mulai tumbuh lagi, dia bertekad tidak akan melewati limit pinjaman kartu kreditnya. Dia kapok berbelanja dengan berutang.

Menurut laporan bank sentral itu, kehancuran kekayaan terbesar berasal dari jatuhnya pasar modal. Indeks Wall Street jatuh dan menghabiskan separuh nilai saham. (AP/joe)

Jumat, 12 Juni 2009

POLITIK ANGGARAN

Utang Masa Pemerintahan SBY-JK Terbesar

Jakarta, Kompas - Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil mencatat, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla memperbesar utang dalam jumlah sangat besar. Posisi utang tersebut merupakan utang terbesar sepanjang sejarah RI.

Koalisi terdiri dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Perkumpulan Prakarsa, Perhimpunan Pengembangan Pesantren & Masyarakat (P3M), Gerakan Antipemiskinan Rakyat Indonesia, Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Marginal, Pusat Telaah dan Informasi Regional, Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil, dan Publish What You Pay.

”Prestasi paling menonjol dari pemerintahan SBY-JK adalah utang kita meningkat. Ini catatan tersendiri,” kata Abdul Waidl dari P3M, Kamis (11/6).

Berdasarkan catatan koalisi, utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31 persen dalam lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp 1.275 triliun. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp 392 triliun.

Apabila pada tahun 2004, utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp 7,7 juta per kepala.

Memerhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, koalisi menilai rezim sekarang ini adalah rezim antisubsidi.

Hal itu dibuktikan dengan turunnya secara drastis subsidi. Pada tahun 2004 jumlah subsidi masih sebesar 6,3 persen dari produk domestik bruto. Namun, sampai 2009, jumlah subsidi untuk kepentingang rakyat tinggal 0,3 persen dari PDB. (sut)

Kamis, 11 Juni 2009

Gus Dur Kritik Ekonomi Kerakyatan

Gus Dur Kritik Ekonomi Kerakyatan
JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Syuro PKB kubu Kalibata, Abdurrahman Wahid, mengatakan banyak sejarah di Indonesia yang masih tersembunyi dan perlu digali. Dia pun melontarkan kritik kepada jargon ekonomi kerakyatan yang tak mengacu pada sejarah. Menurut dia, sejarah Indonesia dipenuhi dualistik.

''Kita teriak-teriak ekonomi kerakyatan, padahal tidak tahu sejarahnya ya bagaimana,'' kata Abdurrahman Wahid saat memberikan tausyiah pembukaan musyawarah pimpinan (muspimnas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Kalibata, Kamis (11/6) siang. Ekonomi kerakyatan yang mengacu pada konsep dari para pendiri bangsa Indonesia, menurut dia sebenarnya adalah elitis.

''Karena, para pemimpinnya (sejak merdeka 1945) semua bangsawan,'' kata Abdurrahman. Konsep ekonomi yang disusun pun menurutnya sesuai dengan keadaan para pemimpin itu. Abdurrahman pun menyindir, bangsawan itu kependekan dari 'bangsa tangi awan' (bangsa yang bangun tidurnya siang, red).

Karena itu Abdurrahman mengatakan bahwa Indonesia pada 1945 itu baru merdeka secara politik. Tetapi secara ekonomi, ujar dia sembari minta maaf, belum lah merdeka. ''Dualistik. Karena hanya selalu elitis, rakyat tidak dipikirkan,'' ujar dia. Abdurrahman menyebutkan semua tokoh pendiri bangsa - dari Bung Karno, Bung Hatta, sampai Mr Sartono - semuanya adalah bangsawan.

Persoalan konsep ekonomi ini, menurut Abdurrahman adalah salah satu contoh dari dualistik sejarah Indonesia, bagian dari sejarah yang banyak tersembunyi. Contoh lainnya, ujar dia, adalah tentang DI/TII. ''Pendiri DI/TII itu ya Bung Karno, Panglima Soedirman, ayah saya (Hasyim Asy'ari), dan itu Karto Suwiryo,'' ujar dia.

Sejarah pembentukan DI/TII, papar Abdurrahman, bermula dari hasil perjanjian Renville. Perjanjian tersebut mengharuskan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, cikal bakal TNI) kembali ke daerah asal masing-masing. ''Maka dibentuklah DI/TII. Karto Suwiryo itu kental sekali dengan Bung Karno,'' ujar dia.

Persoalan sejarah semacam ini, kata Abdurrahman prihatin, adalah contoh hal-hal yang kita tidak tahu dan tidak merasa perlu tahu. ''Saya rasa, kita harus menggali kembali sejarah kita secara terbuka dan apa adanya,'' tegas dia.

Menurut Abdurrahman, banyak hal yang tanpa merunut sejarahnya menjadi hal yang diributkan sekarang. Termasuk, ujar dia, gagasan negara Islam menggantikan Indonesia sebagai negara multietnis.

Meskipun, tegas Abdurrahman, ketika bicara Indonesia maka harus bicara tentang Islam di Indonesia juga. Karena pembahasan atas apa yang banyak dipersoalkan di Indonesia akhir-akhir ini sudah dibahas sejak abad 13 Masehi oleh tokoh-tokoh Islam.

Semuanya pun tak terlepas dari sejarah organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah, NU, dan - yang kontroversial - Ahmadiyah. ''Tidak usah kaget soal yang begitu. Dualistik (di Indonesia) itu sejak lama,'' tegas dia. - ann/ahi

Harga Minyak di Atas 71 Dollar AS


Pemulihan Ekonomi Dikhawatirkan Tidak Stabil

Vienna, Rabu - Harga minyak melewati 71 dollar AS per barrel pada perdagangan Rabu (10/6). Harga tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang 2009. Batas psikologis 70 dollar AS sudah terlewati karena para investor mengguyur dana investasi di bursa berjangka minyak untuk antisipasi pemulihan.

Para investor menyerbu komoditas minyak karena ingin melindungi dana dari gerusan inflasi serta mengamankan diri dari depresiasi dollar AS.

Minyak asal AS jenis light sweet untuk pengiriman Juli naik 1,35 persen menjadi 71,36 dollar AS per barrel.

Harga minyak telah naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tiga bulan lalu. Salah satu pemicunya adalah harapan soal pemulihan ekonomi yang berarti akan ada peningkatan permintaan minyak.

Mereka mengabaikan data-data, seperti angka pengangguran AS yang mencapai 9,4 persen pada Mei lalu. Ini seharusnya merupakan pertanda bahwa permintaan minyak tetap lemah.

Meski demikian, pada hari Selasa lalu, dalam satu hari per dagangan saja, harga minyak jenis itu naik pesat 1,92 dollar AS menjadi 70,01 dollar AS per barrel.

”Saya tidak akan terkejut jika harga minyak akan mencapai 80 dollar AS per barrel dalam satu atau dua pekan. Momentumnya sangat kuat,” ujar Gerard Rigby, analis energi pada Fuel First Consulting di Sydney.

Melemahnya kurs dollar AS dan stimulus ekonomi dapat menyebabkan inflasi. Faktor ini turut meningkatkan permintaan di pasar berjangka minyak.

Selasa lalu, rata-rata harga minyak sebesar 67 dollar AS per barrel. Harga tersebut sekitar 16 persen lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata harga minyak pada semester pertama 2009. Harga ini melampaui perkiraan sebelumnya.

Sebulan lalu, Badan Energi Internasional (EIA) memperkirakan harga rata-rata minyak pada semester kedua 2009 sebesar 55 dollar AS.

Masih khawatir

Kenaikan itu tetap terasa aneh. Di satu sisi, data ekonomi dari sejumlah negara kaya di dunia memperlihatkan masa-masa terburuk krisis mungkin telah usai.

Di China, mesin pertumbuhan global dalam beberapa tahun ini, ouput pabrik naik dengan kecepatan tinggi pada Mei sejak September lalu.

Data output Inggris pada April juga naik. Output Italia juga naik setelah 11 bulan berurut-turut sempat melemah.

Data ekonomi global sudah membaik dalam beberapa pekan terakhir.

Namun, para ekonom memperingatkan kesulitan masih akan dihadapi beberapa negara.

Dengan tingkat suku bunga obligasi pemerintah yang semakin tinggi, tingkat pengangguran yang tidak kunjung surut, serta harga minyak yang terus naik dalam enam bulan terakhir, pertanyaan baru pun muncul. Apakah pemulihan ekonomi global akan berkesinambungan?

Sebagian investor menyatakan khawatir apabila data ekonomi di seluruh penjuru dunia mengecewakan kemudian membuat para investor kembali pesimistis.

Sistem finansial telah terselamatkan dari kejatuhan yang dalam. Namun, para investor masih menantikan perbankan yang belum mengucurkan kredit. Sejauh ini perbankan masih sibuk untuk memperbaiki neraca keuangan dari kredit bermasalah akibat mengalami kemacetan di sektor perumahan AS.

”Ada harapan berlebihan bahwa kenaikan harga komoditas merupakan sinyal pemulihan ekonomi,” kata Kirby Daley, dari Newedge Group di Hongkong. ”Namun, fundamental ekonomi belum meyakinkan. Saya kira para investor bertindak berdasarkan perhitungannya sendiri,” katanya. (AP/AFP/Reuters/joe)

Bunga 16 Persen Sudah Tak Rasional

Jakarta, Kompas - Suku bunga kredit usaha rakyat atau KUR yang menjadi andalan program pemerintah dalam membantu permodalan usaha mikro dan kecil sudah tidak rasional lagi. Dengan bunga acuan Bank Indonesia yang kini sudah 7 persen, bunga KUR masih berada di level maksimal 16 persen.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Mohamad S Hidayat, di sela-sela persiapan menyusun peta jalan Kadin Indonesia, Rabu (10/6), di Jakarta, mengatakan, bunga KUR menjadi problem besar saat ini. Dengan BI Rate 7 persen, lalu bunga KUR mencapai 16 persen, berarti spread beban bunganya sudah 9 persen. ”Itu tidak terjadi di negara lain!,” katanya.

Menurut Hidayat, perbankan yang ditunjuk pemerintah dalam melaksanakan program ini sudah tidak rasional. Bunga begitu tinggi harus ditanggung pedagang kaki lima. Semestinya, bunga KUR dievaluasi maksimal 12 persen.

Selain kendala agunan yang masih harus dihadapi calon debitor KUR, perbankan juga menghadapi kendala, antara lain aturan BI yang menyebabkan terhambatnya penyaluran KUR. Kadin Indonesia diminta memfasilitasinya bersama pemerintah dan BI.

Berdasarkan data Kementerian Negara Urusan Koperasi dan UKM dan realisasi penyaluran KUR per 30 April sebesar Rp 14,081 triliun, dengan jumlah debitor 1,914 juta orang. Besaran kredit per debitor rata-rata Rp 7,36 juta.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang UMKM Sandiaga S Uno juga memandang program KUR sangat baik mendukung ekonomi kerakyatan. Namun, banyak regulasi KUR yang menghambat penyalurannya.

Selain bunga tinggi, ada juga persyaratan perbankan yang menekankan agar debitor membereskan dahulu berbagai macam kredit yang bersangkut paut dengan bank, seperti kredit sepeda motor. ”Selain akses diperluas, pembenahan regulasi harus dilakukan segera untuk mendorong sektor riil. Ada baiknya lembaga keuangan mikro dilibatkan agar penyaluran kredit menjadi lebih cepat dimanfaatkan,” ujar Sandiaga. (OSA)

Stok Dunia Turun

Perajin Tempe Diperingatkan Harga Bakal Naik

Jakarta, Kompas - Dunia menghadapi penurunan stok biji-bijian yang sangat penting sebagai bahan makanan utama. Penurunan stok itu ditandai dengan pertumbuhan konsumsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan produksi biji-bijian di seluruh dunia.

Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan, Menko Perekonomian, Bayu Krisnamurthi mengungkapkan hal itu dari London, Inggris, saat mengikuti Pertemuan Dewan Biji-bijian Internasional tahun 2009-2010, Rabu (10/6).

Bayu menjelaskan, produksi biji-bijian dunia diperkirakan turun 0,33 persen. Dari 1,727 miliar ton pada periode 2008-2009 menjadi 1,721 miliar ton pada periode 2009-2010.

Meskipun lebih tinggi 2 persen dibanding produksi periode 2007-2008, peningkatan produksi tersebut tidak mampu menutupi peningkatan konsumsi dunia, baik gandum, beras, jagung, maupun kedelai.

Konsumsi biji-bijian diperkirakan naik 0,7 persen. Dengan demikian, stok dunia akan turun 15 juta ton, atau 4,6 persen dibandingkan dengan tahun lalu.

Selain stok yang turun, harga biji-bijian juga akan meningkat. Ini karena biaya angkutan laut naik, yakni dari 25 dollar AS atau sekitar Rp 250.000 per ton pada Desember 2008 menjadi 40-45 dollar AS per ton pada Mei 2009.

Kenaikan harga juga tecermin pada harga future, atau harga yang ditetapkan untuk pengiriman beberapa bulan setelah kontrak dibuat, yang juga naik.

Menurut Guru Besar Ekonomi Pertanian Universitas Lampung, Bustanul Arifin, perkiraan kenaikan harga komoditas biji-bijian sudah dapat diprediksi sejak Februari 2009. Kenaikan itu terutama karena stabilitas dan kondisi stok dunia.

Di Indonesia, kata Bustanul, ada dua kelompok yang akan terpukul. Pertama, importir gandum, karena ketergantungan mereka terhadap gandum impor mencapai 100 persen. Kedua, importir kedelai, karena kinerja produksi komoditas ini di dalam negeri kurang baik.

”Selain itu, pelaku usaha di bidang komoditas tetap perlu mewaspadai spekulasi global,” ujar Bustanul.

Turun naik

Kenaikan harga biji-bijian telah disampaikan oleh Dewan Biji-bijian Internasional (IGC). Harga beras sudah meningkat dari 537 dollar AS per ton pada 29 Mei 2009 menjadi 563 dollar AS per ton pada 5 Juni 2009.

Adapun harga kedelai masih menurun dari 463 dollar AS per ton per 29 Mei 2009 menjadi 461 dollar AS per ton pada 5 Juni.

Meski stok biji-bijian dunia turun, menurut Bayu, hal itu tidak memengaruhi petani padi di Indonesia. Produksi beras Indonesia masih relatif baik.

Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan konsumen, perajin tahu tempe, dan pengusaha pakan ternak. ”Mereka akan terpengaruh, karena bahan baku tahu dan tempe akan turun drastis. Ini harus menjadi perhatian,” ujarnya. (OIN)

Rabu, 10 Juni 2009

Angka Bergaung Lebih Nyaring

Makmur Keliat

Anggaran\Pendapatan dan Belanja Negara bukan sekadar angka.

Besaran maupun struktur alokasi pembelanjaannya yang secara teknis kerap disebut dengan istilah belanja publik atau pemerintah (public atau government expenditure) dapat digunakan untuk menjadi alat ukur ketika menilai pola hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Karena merupakan suatu pola, belanja pemerintah atau publik juga dapat digunakan untuk memproyeksikan berbagai perubahan yang mungkin dapat diharapkan pada masa depan.

Refleksi perjalanan APBN

Merujuk pada laporan Bank Dunia, Indonesia Public Expenditure Review 2007 maupun laporan Bank Pembangunan Asia, Outlook 2008, ada beberapa hal menarik untuk merefleksikan perjalanan APBN Indonesia sejak 2001 sekaligus memproyeksikannya pada masa depan.

Pertama, besaran belanja publik menunjukkan kecenderungan meningkat. Tahun 2001 sebesar Rp 353.561 triliun, sedangkan tahun 2007 menjadi Rp 793.176 triliun. Kecuali tahun 2001 ke 2002 yang menunjukkan penurunan drastis 14,6 persen, persentase peningkatan terjadi tidak secara drastis, tetapi cenderung berpola landai. Rata-rata peningkatan setiap tahun dari 2002 hingga 2007 sekitar 9,5 persen.

Kedua, meski terus menunjukkan peningkatan, total besaran belanja publik itu sebenarnya relatif kecil jika dihitung dalam dollar AS. Sebagai misal, total besaran belanja publik tahun 2007 yang sekitar 100 miliar dollar AS hanya sekitar seperdelapan nilai paket stimulus pemerintahan Obama sebesar 800 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, menarik mencatat laporan dari jurnal Military Balance 2008. Disebutkan, belanja pertahanan (military expenditure) China dan Jepang tahun 2007 sekitar 46 miliar dollar AS dan 41 miliar dollar AS. Ini berarti, untuk anggaran pertahanan saja, kedua negeri itu menghabiskan hampir 45 persen dari total belanja publik Pemerintah Indonesia. Karena itu, meski kita sering disebut sebagai kekuatan regional, dari sudut kemampuan ekonomi dan militer, Indonesia jauh tertinggal dari China dan Jepang.

Ketiga, jika diukur secara persentase terhadap kekuatan ekonomi nasional, total belanja pemerintah hanya pada kisaran di bawah 20 persen dari GDP. Artinya, 80 persen dari kekuatan ekonomi nasional masih berada di tangan masyarakat. Hanya sekitar 20 persen berada di tangan pemerintah. Masalahnya, distribusi 80 persen GDP di masyarakat itu tidak tersebar merata. Kita tahu ada 30 juta lebih penduduk Indonesia yang pendapatannya di bawah 2,0 dollar AS per hari. Kita juga tahu sejumlah pemimpin negeri ini memiliki kekayaan luar biasa melimpah. Yang menjadi teka-teki besar dan mengusik batin adalah apakah kekuatan APBN yang 20 persen dari GDP yang kini sedang diperebutkan partai politik di legislatif dan eksekutif itu dapat diandalkan untuk mengubah distribusi yang timpang dari 80 persen GDP di masyarakat itu.

Subsidi dan bunga

Keempat, struktur belanja publik dalam APBN 2001-2007 masih didominasi pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga yang disebut Bank Dunia sebagai belanja multisektor. Disebut belanja multisektor karena di dalamnya tercakup pengeluaran untuk pengembangan bisnis dan perdagangan. Sektor ini menjadi kategori belanja dominan karena porsinya amat besar dalam APBN. Tahun 2001 persentasenya 54,5 persen, lalu menurun hingga 37,2 persen tahun 2007. Penurunan ini disebabkan penurunan pembayaran bunga utang pada 2001 sebesar 25 persen, tetapi tahun 2006 menyusut menjadi 11 persen dan disebabkan berkurangnya subsidi harga energi. Namun, untuk memproyeksikan apakah pada tahun-tahun mendatang beban utang ini menunjukkan penurunan, masih teka-teki. Hal ini disebabkan laporan Bank Pembangunan Asia menunjukkan tidak stabilnya data tentang jumlah utang luar negeri Indonesia. Jika tahun 2004 sebesar 137 miliar dollar AS, angka ini menurun masing-masing menjadi 130 miliar dollar AS (2005) dan 128 miliar dollar AS (2006), tetapi tiba-tiba meningkat lagi menjadi 136 miliar dollar AS (2007).

Pendidikan dan kesehatan

Kelima, posisi kedua pengeluaran belanja publik pada 2007 ditempati sektor pendidikan, disusul belanja aparat pemerintah masing-masing 28 persen dan 13,3 persen. Angka ini meningkat dari persentase sebelumnya pada 2001, masing-masing 11,4 persen dan 9,0 persen pada 2001. Meski demikian, harus dicatat, menurut Bank Dunia, peningkatan belanja di sektor pendidikan belum berhasil mengurangi gap pendidikan antarwilayah antara lain karena sebaran guru yang tidak merata.

Keenam, sektor yang mendapat perhatian paling kecil adalah pertanian dan kesehatan. Meski 40 persen penduduk Indonesia hidup di sektor pertanian, alokasi belanja publik untuk sektor ini hanyalah 2,8 persen tahun 2006, artinya hanya meningkat 1,0 persen dari tahun 2001. Untuk sektor kesehatan meningkat lebih tinggi 2,6 persen (2001) menjadi 4,9 persen pada 2007. Namun, harus dicatat, investasi Pemerintah Indonesia di sektor kesehatan termasuk yang terendah di kawasan Asia Timur sekaligus menunjukkan besarnya peran swasta pada sektor ini, tetapi dengan kualitas kontrol amat terbatas.

Apa artinya?

Apakah arti angka-angka itu dalam kehidupan politik? Jawabannya sederhana. Siapa pun yang sedang berkampanye dalam pemilu presiden dan wakil presiden saat ini, dan siapa pun yang kelak menjadi pemenang, tampaknya akan sulit meloloskan diri dari angka-angka belanja publik secara sektoral ini. Mereka harus mengambil sikap. Sikap itu adalah apakah semua pasangan yang sedang berkompetisi akan dapat mengubah secara substansial pola-pola belanja publik dalam lima tahun mendatang atau pilihan lain, mereka akan tetap melestarikannya.

Ringkasnya, kita jangan mudah terpesona untaian kata dalam masa kampanye. Ingat ungkapan, angka biasanya bergaung lebih nyaring daripada kata-kata.

MAKMUR KELIAT Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

Minggu, 07 Juni 2009

Arti Ekonomi Kerakyatan


Kamis, 04 Juni 2009 | 13:16 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Menjelang pemilihan presiden, istilah ekonomi kerakyatan mulai ramai menjadi bahan perbincangan umum dan diskusi publik. Beberapa kandidat yang bertarung kali ini menyatakan dirinya sebagai pendukung ekonomi kerakyatan dengan caranya masing-masing. Ini sebetulnya tanda baik, karena kini isu ekonomi menjadi tema pokok dalam pemilihan presiden. Cuma, masalahnya, istilah ekonomi kerakyatan ini cukup membingungkan karena dipahami secara amat terbatas. Hal itu terjadi karena istilah ekonomi kerakyatan digunakan sebagai slogan politik yang digunakan untuk menarik pemilih ketimbang sebagai suatu rumusan paket kebijakan ekonomi yang utuh. Istilah ekonomi kerakyatan disodorkan oleh para penganjurnya sebagai paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat. Titik. Siapa rakyat yang dimaksudkan? Mungkin yang dimaksudkan adalah rakyat miskin. Jadi, ekonomi kerakyatan adalah paham ekonomi yang berpihak kepada rakyat miskin. Dalam konteks ini, tampaknya istilah ekonomi kerakyatan sengaja digunakan sebagai tandingan atas ekonomi yang dipersepsikan tidak/kurang berpihak kepada rakyat miskin. Pertanyaannya: apakah ada kebijakan ekonomi yang tidak memihak rakyat miskin sehingga perlu muncul istilah ekonomi kerakyatan?

Pertama-tama dan yang paling penting, istilah ekonomi kerakyatan tidak dikenal dalam literatur ekonomi dan ekonomi politik. Yang terdapat dalam pembahasan ekonomi adalah kategorisasi suatu populasi berdasarkan pendapatannya. Maka, kemudian dikenal adanya masyarakat berpendapatan tinggi atau kaya dan masyarakat berpendapatan rendah atau miskin.

Kedua, berdasarkan kategori tersebut kemudian dibuat analisis dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masyarakat yang tingkat pendapatannya berbeda. Hasilnya, dampak kebijakan ekonomi dirasakan berbeda-beda pada kelompok masyarakat berdasarkan tingkat pendapatan, gender, dan umur. Bayangkan suatu kebijakan ekonomi dalam bidang pertanian. Ada dua kelompok petani: yang kaya dan yang miskin. Petani yang lebih kaya dapat mengadopsi bibit baru dan meningkatkan produksinya. Dan karena produksi meningkat, harga cenderung turun. Sementara itu, petani miskin tidak dapat membeli bibit baru sehingga produksinya tidak bertambah dan pendapatannya tetap atau bahkan berkurang. Dari contoh ini dapat ditarik kesimpulan suatu kebijakan ekonomi akan memberikan dampak yang berbeda terhadap dua kategori masyarakat dengan tingkat pendapatan yang tidak sama.

Bagaimana ekonomi menangani masalah ketimpangan distribusi tersebut? Yang pasti bukan dengan mengusung ekonomi kerakyatan. Pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi tidak mengubah ketimpangan, karena proporsi manfaat pertumbuhan dirasakan sama oleh masyarakat kaya dan miskin. Sumber daya masyarakat miskin terbatas, maka tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi kemudian lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kaya karena mereka memiliki lebih banyak sumber daya.

Dari kenyataan tersebut kemudian dirumuskan suatu kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin. Tujuannya, agar kelompok ini dapat menikmati pertumbuhan ekonomi secara lebih baik dan mereka juga dapat lebih jauh terlibat dalam aktivitas ekonomi. Inilah yang dikenal sebagai pro-poor growth (kebijakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin).

Asal-usul kebijakan ekonomi ini berawal dari kegagalan pendekatan yang mengutamakan pertumbuhan dan mengabaikan distribusi. Kebijakan ekonomi ini dapat dilacak pada 1970-an ketika Chenery dan Ahluwalia mengenalkan konsep "pertumbuhan dengan pemerataan". Pada 1990-an Bank Dunia mengadopsi model tersebut dan memberikan nama broad-based growth (pertumbuhan dengan basis yang luas). Dalam World Development Report yang diterbitkan pada 1990 oleh Bank Dunia, istilah ini tidak pernah didefinisikan. Hingga akhirnya pada 1990-an, istilah broad-based growth berubah menjadi pro-poor growth. Elemen penting yang saling terkait dalam pertumbuhan yang berpihak kepada rakyat miskin: pertumbuhan, kemiskinan, dan ketimpangan. Intinya, kebijakan ini berupaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan melalui pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak secara jelas.

Pro-poor growth sengaja dirancang untuk memberikan kesempatan lebih banyak bagi masyarakat miskin untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan. Caranya dengan melibatkan masyarakat miskin dalam kegiatan ekonomi, agar mereka mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi. Selain itu, kebijakan ini memerlukan dukungan politik yang kuat karena biasanya menyangkut sektor publik yang menyedot dana besar seperti bidang pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, akses kredit atau modal, dan promosi UKM.

Ambil kebijakan pendidikan sebagai contoh. Pendidikan diyakini sebagai pilar yang menyokong pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Barro 1995 dan 2000). Namun, untuk Indonesia, pendapat tersebut dapat diperdebatkan. Hingga kini pertumbuhan ekonomi di Indonesia lebih banyak ditopang investasi dan konsumsi domestik. Tingkat pendidikan belum terlalu banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Kita punya persoalan serius dengan pendidikan, maka tidak mengejutkan bahwa pendidikan belum banyak menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi. Rata-rata orang Indonesia baru menempuh pendidikan setara 5,8 tahun. Itu artinya belum lulus sekolah dasar. Dengan tingkat rata-rata pendidikan yang belum lulus SD, dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi yang terjadi menjadi amat layak untuk dipertanyakan.

Kebijakan mendorong pendidikan tidak dapat dinikmati secara cepat. Program pendirian sekolah secara massif pada 1970-an terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan sumber daya manusia. Untuk setiap sekolah dasar yang didirikan bagi 1.000 anak, berhasil ditingkatkan rata-rata tingkat pendidikan dari 0,12 menjadi 0,19 (Duflo 2001). Peningkatan diikuti peningkatan pendapatan dari 1,5 menjadi 2,7. Intinya, bertambahnya tingkat pendidikan meningkatkan pendapatan, karena tingkat pengetahuan dan keterampilan meningkat.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah ada ekonomi kerakyatan? Jawabnya jelas, istilah ini tidak dikenal dalam literatur ekonomi. Yang dikenal adalah pro-poor growth. Kebijakan ekonomi akan berpihak kepada rakyat miskin, jika pemerintah memberikan alokasi lebih banyak dalam bidang pendidikan dan juga secara khusus menyusun kebijakan pendidikan bagi masyarakat miskin, sehingga dapat dikatakan pemerintah sudah mengadopsi kebijakan yang memihak masyarakat miskin. Kebijakan dalam pendidikan ini akan lebih baik lagi jika didukung oleh kebijakan lainnya dalam bidang peningkatan nutrisi bagi masyarakat miskin.

Bagi masyarakat miskin, kecukupan nutrisi masih menjadi barang mewah. Padahal kebutuhan nutrisi yang minimum amat diperlukan agar anak-anak miskin dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Tanpa nutrisi yang baik, konsentrasi anak-anak miskin tidak bertahan lama. Kebijakan ekonomi yang memihak masyarakat miskin mesti dijalankan dengan serius dan bukan sekadar slogan politik. Bantuan yang sifatnya karitatif tidak akan banyak membantu pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Negeri ini membutuhkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada masyarakat miskin yang komprehensif, karena dua alasan penting: menjaga pertumbuhan ekonomi jangka panjang dengan meningkatnya kualitas SDM, dan memperkecil ketimpangan.

Wahyu Prasetyawan, peneliti senior Lembaga Survei Indonesia, doktor ekonomi-politik lulusan Universitas Kyoto, Jepang.


Pertumbuhan Dikoreksi

Jakarta, Kompas - Dana Moneter Internasional atau IMF mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2009 dari perkiraan awal 2,5 persen menjadi 3-4 persen. Koreksi itu dilakukan karena belanja pemerintah akan lebih agresif dan investasi mulai berjalan.

”Kami melihat perkembangan perekonomian Indonesia pada triwulan I-2009 yang ternyata sangat memuaskan. Itu terjadi karena adanya pemilihan umum (legislatif) yang akan dilanjutkan dengan pemilu lanjutan (presiden). Itu menjadi stimulus riil bagi Indonesia,” ujar Kepala Divisi Asia dan Pasifik IMF Thomas Rumbaugh di Jakarta, Jumat (5/6). Dia berada di Indonesia dalam rangka menyelesaikan laporan hasil pengawasan ekonomi tahunan yang dihimpun dalam dokumen Article IV IMF.

Menurut dia, suku bunga acuan Bank Indonesia yang sudah diturunkan 250 basis poin sejak Desember 2009 seharusnya bisa diikuti penurunan suku bunga pinjaman. Ini bisa menumbuhkan investasi.

”Perekonomian Indonesia sangat terbantu oleh pemangkasan tarif pajak penghasilan (tarif Pajak Penghasilan Badan turun dari 30 persen menjadi 28 persen). Pertumbuhan ekonomi itu menjadikan Indonesia sebagai negara ketiga dengan pertumbuhan tercepat di G-20 setelah China dan India,” ujar Rumbaugh.

Pemangkasan tarif pajak

Proyeksi pertumbuhan ekonomi IMF tersebut masih lebih rendah dibanding target pemerintah, yakni 4-4,5 persen.

Perekonomian global diperkirakan belum sepenuhnya pulih sehingga ekspor Indonesia masih akan stagnan. Dua negara yang menjadi sasaran utama ekspor Indonesia, yakni Amerika Serikat dan Jepang, belum akan pulih dengan cepat.

”Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih di bawah potensinya. Namun, tahun 2010 bisa tumbuh 1 persen dari ekonomi tahun ini,” tutur Rumbaugh.

Pengamat ekonomi, Iman Sugema, mengatakan, proyeksi awal IMF atas pertumbuhan ekonomi terlalu rendah karena perekonomian masih bisa tumbuh minimal 3-3,5 persen.

”Perekonomian Indonesia masih akan sulit pada triwulan II-2009 karena ekspor masih rendah dan hanya bisa diselamatkan belanja pemerintah,” ujarnya.

Analis Econit Hendri Saparini tidak sepakat jika dikatakan pemangkasan tarif pajak bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, sebab model stimulus yang bukan berupa aliran belanja langsung ke masyarakat tidak akan memberikan efek signifikan pada perekonomian.

”Demikian juga penurunan BI Rate tidak akan mendorong turunnya suku bunga pinjaman dengan cepat karena banyak masalah lain yang dihadapi perbankan, seperti risiko bisnis sektor riil, sulit mendapatkan sumber dana. Alasan koreksi IMF Itu tidak masuk akal,” ujarnya.

Di tempat terpisah, Dirjen Perbendaharaan Negara, Departemen Keuangan, Herry Purnomo mengatakan, pihaknya terus memperbaiki prosedur pencairan anggaran di seluruh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) agar belanja negara bisa disalurkan dengan cepat.

Salah satunya adalah dengan mempercepat proses penerbitan surat perintah membayar dan surat perintah pencairan dana dari 1 hari menjadi 1 jam. (OIN)

Kamis, 04 Juni 2009

Mafia Berkeley ke Neo Liberalisme



Mendadak neo liberalisme menjadi jargon yang sering dikumandangkan oleh beberapa kandidat capres dalam pemilu ini. Mereka mengkritik paham ekonomi pemerintahan SBY yang cenderung membebaskan pada mekanisme pasar. Sebebas bebasnya. Ini bukan istilah asing, karena sejak orde baru berkuasa, Soeharto sendiri mempercayakan urusan ekonomi kepada sekelompok pakar ekonomi lulusan University of California at Berkeley, Amerika Serikat.

Walau tidak semuanya alumni Berkeley seperti Frans Seda atau Radius Prawiro yang alumni sekolah ekonomi Roterdam, kelompok ini tetap disebut Mafia Berkeley.
Wijoyo Nitisastro sebagi koordinator mafia Berkeley, menjadi super minister dengan kekuasaan di Bapenas dan kemudian Menteri Ekuin. Semua calon calon menteri ekonomi Pemerintahan Soeharto berdasarkan rekomendasinya.

Ekonom mafia Berkeley selalu dicekoki paham ekonomi neoklasik, menyerahkan sepenuhnya ekonomi pada mekanisme pasar dan kurang patriotik. Ini berbeda dengan kebijakan berdikari Bung Karno sebelumnya. Ia tidak membuka seluruh konsensi pertambangan, dengan alasan menunggu sampai Indonesia memiliki insinyur insinyur sendiri.

Hutang luar negeri saat itu hanya untuk paket pembelian senjata, yang ketika di akhir kekuasaannya sejumlah 2 milyar dollar. Bandingkan dengan peninggalan ratusan milyar dollar pemerintahan orde baru.

Mafia Berkeley mengamankan konsensus dari Washington, yakni kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri, liberalisasi perdagangan dan privatisasi.

Liberalisasi sector keuangan, terlihat dalam sistem lalu lintas devisa dan nilai tukar rupiah, membuat rupiah sangat fragile. Mata uang rupiah dibuat mengambang, sehingga bisa melemah dan menguat secara ekstrim. Anehnya, di Indonesia orang boleh meninggalkan Negara dengan membawa rupiah atau dollar amerika berapapun. Sementara Amerika yang kampiun liberalisasi, orang tidak boleh membawa keluar lebih dari US $ 10,000,-

Ketika krisis moneter melanda Asia, ekonomi Cina tidak goyah karena sistem lalu lintas devisa diatur dengan ketat. Ekonomi Malaysia hanya sedikit mengalami guncangan lalu pulih kembali, karena ringgit dipatok.

Presiden Soeharto di penghujung kekuasaannya sempat putus asa dengan resep resep devisa bebas. Ia sempat tertarik konsep CBS ( Currency Board System ) yang ditawarkan Steve Hanke, seorang pakar ekonom asal Amerika yang selalu menyerang kebijakan IMF terhadap Negara Negara berkembang.
Dengan berbagai argumentasi, mafia Berkeley berusaha meyakinkan masyarakat bahwa liberalisasi keuangan sangat penting, demi menjamin investasi Negara maju. Hanya dengan liberalisasi penuh, modal dan deviden bisa mengalir ke Negara maju.

Liberalisasi perdagangan menghancurkan ekonomi Indonesia. Pasar Indonesia dibanjiri produk asing dan dalam perjalanan waktu, Indonesia tergantung dengan barang asing termasuk produk pertanian.

Jika di Negara asalnya Perancis, Carefour tidak pernah ditemukan di tengah kota Paris. Ia harus berada di pinggiran kota – karena begitu konsep asal Hypermarket – untuk melindungi pedagang kecil, toko kecil dan pasar tradisional. Justru di Indonesia, Carefour bertebaran dengan jarak hanya 3 kilometer satu sama lain di tengah kota Jakarta.

Indonesia di dorong menandatangani persetujuan WTO untuk membuka pasar selebar lebarnya meski pelaku ekonomi dalam negeri belum siap bersaing dengan raksasa global. Tarif impor dan ekspor berbagai komoditas dipotong hingga nol.
Penurunan pajak ekspor membuat orang lebih suka menjadi pedagang daripada membangun pabrik atau industri dalam negeri. Ketika pemerintah mengijinkan ekspor log. Banyak pabrik plywood gulung tikar. Ketika ekspor ikan segar dibuka, banyak pabrik pengolahan ikan tutup karena kekurangan bahan baku.

Amerika mengancam akan menutup ekspor tekstil Indonesia ke paman Sam jika, Indonesia tidak membebaskan kuota impor film film Holywood ke Indonesia. Kini ekspor tekstil Indonesia ke Amerika sudah sedikit, karena sudah dibanjiri produks tekstil asal Vietnam dan Cina. Sementara film film Amerika sudah menancapkan giginya di Indonesia.

Negara maju tidak ingin Indonesia menjadi Negara Industri tangguh . Itulah sebabnya selama kebijakan Mafia Berkeley, Indonesia diarahkan menjadi negeri pedagang dan konsumen. Para ekonom acap kali mengatakan Indonesia belum mampu menguasai teknolog dan barang modal. Mereka tak pernah melihat sejarah bahwa LAPAN sudah mampu meluncurkan roket Kartika pada tahun 1964, yang membuat Indonesia menjadi salah satu Negara Asia selain Cina yang sudah menguasai teknologi roket.

Juga lupa bahwa Korea 30 tahun yang lalu sama miskin dan terbelakangnya dengan Indonesia.
Malaysia dulu belajar perminyakan dengan Indonesia serta mengimpor dosen deosen dari ITB, UGM dan UI untuk mengajar di sana.
Kini Korea memiliki sejumlah perusahaan dunia, India sudah melewati Indonesia meluncurkan satelit sendiri ke ruang angkasa.

Malaysia sudah menghasilkan product domestic bruto per kapita sebesar US $ 11,000, Korea US $ 17.000 sementara Indonesia masih berkutat diangka US $ 1.200,-.

Metode pembangunan Indonesia selalu dibuat defisit dalam Anggaran belanjanya sehingga bisa menjadikan alasan untuk mendapatkan utang luar negeri. Proyek yang dibiayai umumnya sarat marked up sehingga membebani. Akibat utang luar negeri yang terus membesar, pendapatan Negara – termasuk pajak yang terus digenjot – hanya untuk membayar hutang luar negeri.

Dengan alasan defisit, asing lewat tangan tangannya gemar mengobral perusahaan negara dengan privatisasi yang cenderung sebagai perampokan. Padahal Negara sudah mengeluarkan lebih dari 700 trilyun untuk penyelamatan ekonomi.
Tidak masuk akal, uang sebesar itu menguap begitu saja. Apalagi dengan penjualan yang berkisar dibawah sepuluh trilyun pada umumnya.

Mafia Berkeley identik dengan paham neo liberalisme. Tak ada yang bisa menduga sampai sejauh mana sisa sisa pengaruhnya dalam kebijakan ekonomi pemerintahan era sesudah reformasi.
Satu hal, kita terlalu takut untuk berkata tidak terhadap Negara barat. Padahal tidak ada implikasi yang harus dicemaskan. Ketika Chavez menasionalisasi dan meratifikasi perjanjian dengan perusahaan minyak asing yang beroperasi di negerinya. Mereka akhirnya tunduk tak berdaya.

Karena tak ada yang bisa menghalangi kekuasaan kedaulatan rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Res Republica.

Kebijakan BI Tak Sejalan Bank

Jakarta, Kompas - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia di Jakarta, Rabu (3/6), mengumumkan, rasio kredit bermasalah gross (sebelum dikurangi pencadangan) perbankan nasional per akhir April 2009 sebesar 4,6 persen, sedangkan bulan sebelumnya sebesar 4,5 persen.

Rapat juga memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan BI (BI Rate) sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 7 persen. Penurunan BI Rate sejak Desember 2008 telah direspons oleh penurunan suku bunga deposito sebesar 136 bp.

Namun, suku bunga kredit modal kerja hanya turun sebesar 31 bp. Saat ini, suku bunga kredit masih berada di kisaran 13,5-14,5 persen per tahun.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi, kebijakan BI tidak sejalan dengan bank-bank komersial. Ini sangat mengherankan pengusaha, karena di luar negeri penurunan bunga acuan segera diikuti oleh bank komersial.

”Bank-bank di Indonesia sangat membingungkan. Bank komersial lebih suka memutarkan uang nasabah ke surat utang negara dan obligasi pemerintah. Bank juga lebih suka ’main’ kreditnya ke proyek-proyek yang dijamin pemerintah,” ujar Sofjan.

Hal senada diungkapkan Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno. BI Rate, kata dia, hanya indikator, pengusaha lebih mengharapkan aplikasi pengucuran kredit dengan bunga rendah yang menggairahkan sektor riil untuk modal kerja dan investasi. ”Bunga komersial masih dipatok 14-16 persen. Bank kelihatannya lebih suka memilih tempat ’beternak’ uangnya di SUN, ORI, dan sukuk yang bunganya 9-11 persen,” kata Benny.

GPEI mengusulkan agar pemerintah mengevaluasi kembali jumlah maksimum SUN, ORI, dan sukuk agar sektor riil bisa bergerak.

Penurunan bunga dana

Ekonom BNI, Ryan Kiryanto, mengatakan, pada tahap awal bank-bank harus memaksakan penurunan bunga dana dan memberikan klarifikasi kepada para pemilik dana, terutama deposan besar, kenapa bunga dana harus turun.

”Selama ini beberapa bank kesulitan menurunkan bunga kredit karena bank masih memiliki dana mahal dalam bentuk deposito. Untuk kepentingan yang lebih luas, sebaiknya pemilik dana besar jangan reaktif dengan memindahkan dananya ke bank lain atau ke instrumen investasi lain jika bank menurunkan bunga dana,” ujar Ryan.

Ketua Komite Tetap Perdagangan Dalam Negeri Kadin Indonesia Bambang Soesatyo mengatakan, penurunan BI Rate kali ini harus diikuti dengan penurunan suku bunga pinjaman dan deposito.

”Tanpa konsekuensi itu, penurunan BI Rate tak punya makna. Kalau concern pada pemulihan sektor riil, penguatan daya beli dan penurunan harga barang, suku bunga kredit saat ini mestinya sudah di bawah 11 persen,” tutur Bambang.

Saat ini seluruh faktor yang membentuk harga atau suku bunga kredit telah membaik kondisinya. Dengan demikian, sebenarnya sudah tidak ada alasan bagi perbankan untuk tetap memasang suku bunga kredit yang tinggi karena hanya akan menghambat geliat perekonomian.

Salah satu faktor yang belakangan makin membaik kondisinya adalah risiko kredit, yang tecermin dari rasio kredit bermasalah (NPL).

Harga atau bunga kredit terbentuk oleh empat faktor, yaitu biaya dana, biaya operasional, premi risiko, dan margin keuntungan.

Biaya dana merupakan ongkos untuk membayar bunga dana masyarakat, seperti deposito dan tabungan. (faj/osa)

Butuh Investasi Rp 1.700 Triliun

Jakarta, Kompas - Indonesia membutuhkan penanaman modal senilai Rp 1.700 triliun untuk mendorong pertumbuhan investasi 7,1-7,6 persen pada 2010. Jika itu tidak terpenuhi, dikhawatirkan pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan 5-6 persen tidak akan terealisasi.

Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan hal itu dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (3/6).

Dana investasi tersebut, kata Sri Mulyani, diharapkan datang dari tujuh sumber, yakni pertama dari penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri Rp 470 triliun-Rp 490 triliun.

Kedua, dari anggaran belanja modal badan usaha milik negara Rp 225 triliun-Rp 230 triliun.

Ketiga, dari anggaran belanja modal pemerintah, di APBN dan APBD, Rp 155 triliun-Rp 175 triliun. Keempat, dari perbankan sebesar Rp 298 triliun-Rp 308 triliun.

Sumber kelima dari laba ditahan pada perusahaan senilai Rp 40 triliun-Rp 44 triliun. Keenam, dari pasar modal, antara lain penerbitan saham perdana Rp 96 triliun-Rp 100 triliun. Ketujuh, dari sumber lain sebesar Rp 350 triliun.

”Dengan dorongan investasi itu, kami proyeksikan nominal PDB (produk domestik bruto) tahun 2010 di level Rp 6.000 triliun. Ini dengan catatan, perbankan bisa lebih mendorong investasi jika suku bunga lebih rendah lagi,” tutur Sri Mulyani.

Selain faktor investasi, pertumbuhan ekonomi 5-6 persen tahun 2010 bisa dicapai jika konsumsi rumah tangga tumbuh di kisaran 4,2-4,8 persen. Di sisi lain, konsumsi pemerintah diharapkan tumbuh 6-6,7 persen dan ekspor tumbuh 5-7 persen.

Menurut pengamat ekonomi, A Prasetyantoko, hingga tahun depan sebagian besar faktor pendukung pertumbuhan ekonomi masih akan tertekan.

Ekspor, misalnya, masih akan tetap rendah, sementara permintaan dalam negeri stagnan dan investasi relatif kecil.

Pemerintahan mendatang, kata Prasetyantoko, perlu memanfaatkan momentum untuk menarik dana-dana internasional, baik modal jangka pendek maupun investasi jangka panjang. Keduanya hanya bisa ditarik dengan meningkatkan kepercayaan pemilik dana.

”Jadi, momentum yang harus diciptakan adalah kepercayaan kepada pemerintah baru, bahwa mereka memiliki sesuatu yang baru, yakni strategi, pendekatan, dan implementasi pelembagaan,” tuturnya.

Adapun anggota Komisi XI DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Sofyan Usman, mengingatkan pemerintah agar lebih ketat mengawasi rencana anggaran pada setiap kementerian dan lembaga nondepartemen. Hal ini karena kementerian dan lembaga nondepartemen cenderung memperbesar rencana anggaran, tetapi di akhir tahun tidak dapat menyerapnya.

”Akibatnya, menambah SAL (sisa anggaran lebih). Padahal, untuk menutup rencana anggaran mereka, pemerintah harus berutang. Pada akhirnya, rakyat yang dikorbankan,” kata Sofyan.

Kepastian hukum

Sementara itu, menurut pengamat pajak, Darussalam, perlunya kepastian hukum, terutama di bidang perpajakan. Calon investor memberi perhatian utama pada kepastian perhitungan ongkos dan laba hasil investasinya nanti.

”Saat ini masih banyak masalah hukum pajak yang perlu dibenahi,” kata Darussalam.

Dia menjelaskan, bagi investor, bukan masalah besaran uang yang harus mereka tanamkan, tetapi kepastian biaya pajak yang harus mereka bayar. ”Sehingga besaran penghasilan dan laba operasinya bisa dengan mudah diketahui,” tutur Darussalam. (OIN)

Senin, 01 Juni 2009

Kembalilah ke Ekonomi Pancasila



Oleh Adiwarman A Karim

Imam Al Syathibi prihatin dengan semakin jauhnya penafsiran fikih para ulama di Grenada atas masalah-masalah kemasyarakatan yang timbul ketika itu. Beliau lahir di Grenada, Spanyol, pada tahun 730 Hijriyah (H). Ia hidup di masa pemerintahan Bani Ahmar yang merupakan keturunan keluarga besar sahabat Rasulullah SAW dari kalangan Anshar yang bernama Sa'ad bin Ubadah.

Tidak diragukan lagi, sejak awal pemerintahan Islam di Spanyol, pemerintahan berusaha mengidentikkan dirinya dengan pemerintahan Rasulullah. Dalam salah satu ungkapan terkenalnya, Raja Hisyam al-Awwal bin Abdurrahman ad-Dakhil yang memerintah dari tahun 173-180 H berkata kepada para ulama, ''Bukankah Imam Abu Hanifah berasal dari Kufah, sedangkan Imam Malik berasal dari Madinah, cukup bagi kami mengikuti pendapat imam asal tempat Rasulullah SAW menjalankan pemerintahannya.''

Tekad suci itu mengalami sandungan di sana-sini karena penafsiran fikih yang semakin jauh dari maksud hakiki syariah yang mengikuti keinginan raja yang memang tidak memahami syariah selayaknya seorang ulama.

Dalam keadaan itulah, Imam al Syathibi menulis kitab al Muwafaqat yang menjelaskan konsep al maqasid al syariah agar para ulama dalam mengambil penafsiran fikih selalu berpegang pada maksud hakiki syariah, berpegang pada roh syariah, bukan sekadar pada formalitasnya. Awalnya, beliau akan menamakan kitabnya al Ta'rif bi Asrar al Taklif (penafsiran atas hukum syariah yang tertulis). Namun, beliau tidak ingin kitabnya dianggap sebagai satu-satunya penafsiran.

Maqasid Syariah sangat mirip dengan Pancasila, bahkan dapat dikatakan Pancasila adalah Maqasid Syariah tafsiran Indonesia. Maqasid Syariah mengandung lima hal, yaitu melindungi agama yang dalam Pancasila disebut 'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Kedua, melindungi jiwa yang dalam Pancasila disebut 'Perikemanusiaan yang adil dan beradab'. Ketiga, melindungi keutuhan keluarga besar yang dalam Pancasila disebut 'Persatuan Indonesia'. Keempat, melindungi akal pendapat yang dalam Pancasila disebut 'Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan'. Kelima, melindungi hak atas harta yang dalam Pancasila disebut 'Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia'.

Kemiripan itulah yang menyebabkan gagasan Pancasila Soekarno muda mendapat dukungan penuh dari bangsa ini menjadi dasar negara. Letjen Suharto dan TNI juga mengusung gagasan yang sama untuk mendapat dukungan penuh bangsa. Ketika Pancasila telah ditafsirkan terlalu jauh dari Maqasid Syariah, ternyata bangsa ini tidak lagi mau mendukung betapa pun berjasanya Soekarno dan Suharto.

Maqasid Syariah diterima luas di Grenada yang heterogen: Muslim, Katolik, Protestan, dan Yahudi, karena ia melindungi semua orang. Tidak ada lagi tirani minoritas yang terjadi sebelum masuknya Islam ke Spanyol, tidak juga dominasi mayoritas karena melindungi akal pendapat dalam Maqasid Syariah, termasuk akal pendapat kaum minoritas. Konsep inilah yang disebut demokrasi dengan perlindungan bagi kaum minoritas, suatu konsep yang jauh lebih baik dari sekadar demokrasi.

Debat ideologis sistem ekonomi yang diusung para calon presiden (capres) tampak mulai kehilangan pijakan yang jelas. Sistem ekonomi neoliberalisme yang dikritik tidak jelas neoliberalisme mana yang dimaksud. Karena, paham ini masih terus diperbaiki, terutama setelah krisis global ini. Sistem ekonomi kerakyatan yang diusung pun belum jelas mengacu pada konsep mana. Karena, sejak bangkitnya Cina sebagai kekuatan ekonomi dunia, banyak sekali konsep ekonomi kerakyatan yang berkembang. Sistem ekonomi mandiri pun belum jelas karena siapa pun tahu tidak ada yang dapat berdiri sendiri dalam dunia yang semakin tak berjarak ini.

Sebagaimana zaman Imam Al Syathibi, tidak ada yang meragukan niat baik para capres membangun ekonomi Indonesia. Namun, niat itu dapat mengalami distorsi di sana-sini bila penafsiran ekonominya yang semakin jauh dari Pancasila yang merupakan tafsiran Indonesia dari Maqasid Syariah.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang berlandaskan Maqasid Syariah yang memberikan hak dan kewajiban yang sama bagi warga negara tanpa memandang perbedaan agama dan suku bangsa. Imam Ali ketika ditanya hak ekonomi kaum non-Muslim yang hidup dalam wilayah Islam mengatakan, ''Hak kami adalah hak mereka. Kewajiban kami adalah kewajiban mereka.''

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang menghargai dan melindungi pemilik kapital atau pemilik tenaga dan pikiran. Kemajuan ekonomi Korea pernah mencengangkan dunia pada era 80-an dengan strategi memprioritaskan beberapa chaebo (grup usaha)--ternyata tidak langgeng karena pudarnya jiwa kebersamaan yang selama ini menjadi budaya Korea--menuai reaksi keras dari rakyatnya. Bukankah ini juga terjadi di Indonesia ketika rakyat muak dengan konglomerasi kroni Orde Baru?

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang cerdas melindungi perekonomian bangsa ini. Ketika Persia dan Romawi mengenakan pajak masuk bagi pedagang daulah Islam (baik yang Muslim maupun non-Muslim), Umar bin Khattab mengenakan pajak yang sama untuk barang yang masuk dari kedua negara itu meskipun tidak dikenal di zaman Rasulullah. Umar tidak pernah khawatir dengan perdagangan internasional selama disikapi dengan cerdas. Rasanya tidak cerdas menyerahkan puluhan, bahkan ratusan juta konsumen Indonesia kepada perusahaan asing.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang antikorupsi, baik dalam artian sederhana maupun dalam artian adanya kebijakan yang ditujukan menguntungkan segelintir kelompok usaha karena bertentangan dengan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ekonomi Pancasila adalah ekonomi yang dinamis mengantisipasi perubahan. Di zaman Rasulullah, tidak ada zakat atas kuda, namun Umar mengenakan zakat atas perdagangan kuda di negeri Syam karena di daerah itu kuda diperdagangkan sebagai barang mewah. Sebaliknya, Ali mengenakan tarif zakat pertanian yang lebih rendah bila dalam proses membajak tanah menggunakan kuda sebagaimana yang terjadi di daerah Kufah. Dinamika ini sangat penting selama tetap berpegang pada Maqasid Syariah.

Para capres yang tercinta, kembalilah ke Ekonomi Pancasila. Dan, pedoman yang paling pas untuk menafsirkan Ekonomi Pancasila adalah Maqasid Syariah. Barakallahu lakum. May Allah bless you all.