Jumat, 15 Januari 2010

Dilema Perbankan Syariah


Ahmad Ifham Sholihin - suaraPembaca



Jakarta - Semangat kuat tapi tenaga kurang. Inilah sedikit evaluasi tentang kinerja perbankan syariah. Segenap penggiat Bank Syariah harus bekerja lebih keras dan serius lagi jika ingin bersaing memenangkan pasar perbankan.

Berdasarkan Statistik Perbankan dan Perbankan Syariah Indonesia yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia aset Bank Syariah (termasuk Bank Pembiayaan Rakyat Syariah - BPRS) pada akhir tahun 2005 mencapai Rp 21,5 triliun, dan saat ini (data September 2009) mencapai Rp 60 triliun sehingga ada kenaikan Rp 38,5 triliun. Bandingkan dengan aset bank konvensional pada akhir tahun 2005 sebesar Rp 1,469,8 triliun, melesat tajam menjadi Rp 2,388,6 triliun sehingga ada kenaikan sekitar Rp 919 triliun. Jelas, bank konvensional mengalami peningkatan aset 24 kali lipat dibandingkan dengan bank syariah.

Di samping itu penerapan manajemen risiko yang kurang optimal menyebabkan prestasi buruk dalam hal Pembiayaan Bermasalah Bank Syariah (kategori Kurang Lancar – Macet) yang mencapai 5,72% (di atas batas maksimal yang ditentukan BI yaitu 5%).

Pembiayaan Bermasalah BPRS lebih parah, yaitu 8,2%. Dalam hal penambahan jaringan kantor Bank Syariah (termasuk BPRS) sebenarnya cukup agresif dengan menambah 594 jaringan (selama tahun 2005 – September 2009). Jumlah ini belum termasuk lebih dari 1.770 jaringan bank konvensional yang dijadikan sebagai Office Channeling serta kantor pos yang juga dilibatkan sebagai jaringan layanan bank syariah. Bandingkan dengan bank konvensional yang hanya menambah 444 jaringan dalam kurun waktu yang sama. Jumlah ATM bank syariah juga cukup memadai karena bank syariah menggunakan jaringan ATM bank konvensional.

Data tersebut menunjukkan adanya infrastruktur yang cukup memadai bagi bank syariah untuk menggarap pasar perbankan yang ada. Estimasi market size pasar perbankan menurut KARIM Business Consulting (tahun 2003) adalah Sharia Loyalist (1%), Conventional Loyalist (25%), serta Floating Mass (74%). Jika bank konvensional tidak mungkin menggarap Sharia Loyalist yang mutlak mengharamkan bunga bank justru bank syariah memiliki peluang untuk bisa menggarap semua pasar perbankan termasuk Floating Mass sebagai pasar mengambang dan Conventional Loyalist yang mementingkan return kompetitif serta layanan prima.

Tantangan dan Peluang

Konsep citra dan positioning bank syariah adalah lebih dari sekedar bank dengan prinsip keadilan, kejujuran, transparansi, serta bebas dari riba, gharar (penipuan), maysir (spekulasi), dan hal-hal lain yang tidak sesuai syariah. Namun, mengapa laju bank syariah seakan tersendat.

Sebagian masyarakat masih memiliki persepsi bahwa bank syariah dan bank konvensional hanya beda istilah dan akad. Sedangkan prakteknya kurang lebih sama saja. Inilah salah satu faktor penyebab masyarakat (yang heterogen dan crowded) menjadi ragu dengan bank syariah. Apalagi masyarakat terbiasa menggunakan sistem perbankan konvensional yang masih unggul dari sisi return, kemudahan, teknologi, akses, jaringan, dan layanan prima.

Kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa terpenuhi jika didukung oleh tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM) dan Teknologi Informasi (TI) yang memadai. Muliaman D Hadad, Deputi Gubernur BI dan Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), menyatakan bahwa di Indonesia sudah ada lebih dari 100 perguruan tinggi yang membuka jurusan atau studi perbankan syariah.

Jumlah ini belum termasuk pesantren dan madrasah. Sebuah potensi besar untuk memenuhi kebutuhan SDM bank syariah yang mencapai 42 ribu orang dalam waktu 5 tahun ke depan. Tentu bukan hanya SDM sekedarnya karena mereka harus paham konsep, praktek, sekaligus patuh terhadap aturan perbankan syariah.

Di samping itu saat ini juga sudah tersedia aplikasi Core Banking System (CBS) bank syariah, baik PC based, platform AS/400, maupun web based yang bisa mengakomodir semua kebutuhan transaksi perbankan syariah dalam jumlah jaringan yang banyak, akses mudah, proses cepat, teknologi canggih, user friendly, serta kemudahan-kemudahan yang lain. Kurangnya dana ditengarai menjadi kendala utama bank syariah dalam menyediakan infrastruktur TI yang canggih.

Belum lagi faktor Marketing Public Relations (PR) bank syariah yang seakan tidak ada aktivitas. Biaya promosi yang dikeluarkan bank syariah juga jauh di bawah bank konvensional. Coba bandingkan biaya promosi total bank syariah tahun 2007 sebesar Rp 91 miliar. Ternyata lebih besar biaya promosi satu produk BRI Britama yang mencapai lebih dari Rp 96 miliar. Dan, ternyata pada periode Januari – September 2009 ini seluruh bank syariah pun hanya mampu mengeluarkan biaya promosi sebesar Rp 92 miliar.

Rasanya memang tidak adil jika head to head membandingkan antara kemampuan promosi bank syariah dengan bank konvensional yang notabene sudah mapan dan memiliki dana cukup untuk promosi. Namun, bank syariah bisa dengan cerdas mengoptimalkan fungsi kotak ajaib (televisi) dengan berbagai strategi efektif namun efisien.

Televisi masih menjadi primadona masyarakat luas untuk menjadi sumber informasi, hiburan, sekaligus "teman hidup" yang bisa masuk ke ruang publik maupun pribadi.Publikasi melalui media televisi ini bisa dilakukan secara efektif, efisien, bahkan gratis jika penggiat bank syariah mampu dengan cermat dan kreatif melihat peluang.

Bank syariah bisa melakukan berbagai kegiatan yang bisa menjadi "konsumsi kamera televisi". Seperti kegiatan-kegiatan yang melibatkan publik figur, hot issue, atau trend. Di sisi lain bank syariah patut merasa beruntung karena memperoleh dukungan dari berbagai komponen.

Presiden, DPR, Departemen Keuangan, Bank Indonesia, DSN MUI, serta dukungan dari berbagai pihak terus mengalir seiring pertumbuhan dan kebutuhan industri perbankan syariah. Permisivitas terhadap pajak murabahah dan sukuk juga merupakan dukungan yang luar biasa dari pemerintah.

Dukungan-dukungan ini harus diikuti dengan keseriusan seluruh penggiat bank syariah untuk melakukan langkah konkret menyuguhkan sebuah produk atau jasa atau layanan bank yang memihak pada kebutuhan dan keinginan masyarakat.

Fatwa MUI tentang haramnya bunga bank juga merupakan support fenomenal dalam hingar bingar tumbuh kembang bank syariah. Namun, fatwa ini akan menjadi bumerang jika tidak diikuti dengan kekuatan bank syariah dalam menggerakkan segenap public figure panutan masyarakat (yang mayoritas muslim) untuk menggunakannya.

Faktor psiko sosio kultural masyarakat Indonesia yang majemuk ini masih bergantung pada teladan. Bunga bank konvensional diharamkan. Namun, jika berbagai komponen seperti ormas Islam, partai Islam, ulama, dan komponen panutan lain tidak memberikan teladan, masyarakat yang mayoritas muslim ini akan semakin tidak yakin dengan nilai lebih bank syariah. Akhirnya, bank syariah hanya akan dianggap sebagai sekedar alternatif. Bukan solusi.

Ahmad Ifham Sholihin,
Sharia Business Consultant – PT Anabatic Teknologi Indonesia

Tidak ada komentar: