Kamis, 21 Januari 2010

Perdagangan Bebas

Oleh Umar Juoro

Perdagangan bebas ASEAN-Cina secara penuh mulai dilaksanakan pada Januari 2010. Berbagai pihak menyampaikan kekhawatirannya terhadap akibat yang ditimbulkan dari perdagangan bebas, yaitu terempasnya produk-produk dalam negeri melawan produk-produk Cina yang lebih murah dan banyak jenisnya. Produk-produk yang dihasilkan Indonesia adalah sejenis dengan produk-produk Cina.

Kalangan pengusaha, politisi, dan banyak pengamat meminta ditundanya pelaksanaan perdagangan bebas ini. Dari kalangan pemerintah sendiri, menteri Perindustrian mengusulkan penundaan pelaksanaan perdagangan bebas ini. Sementara itu, menteri Perdagangan menyatakan bahwa perdagangan bebas ini harus tetap dilaksanakan karena sudah menjadi kesepakatan. Penundaan dapat dilakukan pada pos tarif tertentu, itu pun harus dengan persetujuan negara ASEAN lain juga Cina.

Pelaksanaan perdagangan bebas juga akan menurunkan penerimaan dari bea cukai yang diperkirakan mencapai Rp 15 triliun. Sebelum pelaksanaan perdagangan bebas dengan Cina sekalipun, aparat bea cukai cukup kewalahan dalam mengatasi penyelundupan barang-barang dari Cina.

Bagi konsumen, perdagangan bebas memberikan keuntungan yang besar karena harga barang menjadi murah dan lebih banyak pilihan. Sebelum perdagangan bebas dengan Cina, produk-produk Cina telah banyak kita dapatkan baik secara legal maupun ilegal dalam berbagai jenis dan dipasarkan di berbagai tempat. Konsumen pada umumnya menyukai produk Cina ini karena murah harganya. Apalagi, banyak produk Cina yang merupakan pemalsuan dari barang-barang dengan merek terkenal dengan harga yang sangat murah.

Cina mempunyai kemampuan produksi yang sangat besar. Selain upah pekerja yang relatif murah, Pemerintah Cina memberikan fasilitas yang besar baik dalam bentuk dukungan infrastruktur yang memadai maupun bunga kredit yang rendah. Pemerintah Cina membangun infrastruktur besar-besaran yang membuat produksi dan distribusi barang sangat terdukung. Bank-bank yang dimiliki pemerintah juga memberikan kredit dengan bunga yang sangat rendah. Selain itu, mata uang yuan dibuat relatif lemah terhadap dolar sehingga mendorong daya saing produk-produk Cina di pasar luar negeri.

Keadaan di Indonesia hampir merupakan kebalikannya. Para pengusaha di industri manufaktur menghadapi permasalahan serius berupa buruknya infrastruktur. Pasokan listrik tidak memadai. Sarana jalan dan pelabuhan tidak mendukung distribusi yang efisien. Bunga pinjaman bank juga tinggi. Permasalahan ketenagakerjaan terus menghambat kegiatan produksi. Tambahan lagi, masih banyaknya pungutan yang menambah biaya tinggi. Dalam keadaan seperti ini, sangat sulit bagi produk Indonesia untuk bersaing dengan produk Cina bahkan di pasar dalam negeri. Sekarang ini defisit perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai sekitar 3 miliar dolar AS dan kemungkinan akan meningkat lagi.

Namun, kalau kita menganalisis lebih jauh lagi. Adalah tidak mungkin seluruh kegiatan produksi terpusat di Cina. Upah pekerja di Cina terus mengalami peningkatan dan lebih tinggi dari Indonesia. Importir dari banyak negara juga tidak mau sepenuhnya tergantung pada Cina karena risikonya terlalu tinggi. Cina juga belum kompetitif dalam produk-produk dengan kualitas dan teknologi yang lebih tinggi. Tambahan lagi, perusahaan Cina juga berupaya untuk melakukan ekspansi kegiatan produksi di luar negeri.

Investasi di Cina sudah sangat besar dengan PMA melebihi 50 miliar dolar AS. Cadangan devisanya juga demikian besar mencapai lebih dari 2 triliun dolar AS sebagai hasil dari surplus perdagangan yang sangat besar. Jika kecenderungan ini terus berlangsung, mata uang yuan akan terapresiasi dan harga-harga aset di Cina akan menjadi mahal untuk kemudian menyebabkan besarnya gelembung yang akan membahayakan ekonomi.

Indonesia adalah negara terbesar di ASEAN dan nomor tiga di Asia setelah Cina dan India. Perekonomian Indonesia juga masuk ke dalam 20 besar dunia. Selain pasar yang besar, Indonesia juga kaya dengan sumber daya alam. Karena itu, minat untuk melakukan investasi di Indonesia sangatlah besar, termasuk dari Cina. Jika kita dapat memfasilitasinya dengan lebih baik, kegiatan produksi dapat dilakukan di Indonesia baik melalui patungan maupun sepenuhnya perusahaan asing. Karena itu, sebaiknya perusahaan Indonesia melakukan sinergi untuk memanfaatkan besarnya pasar ASEAN-Cina. Penundaan perdagangan bebas sifatnya sementara. Cepat atau lambat, legal atau melalui penyelundupan, barang-barang Cina akan masuk ke Indonesia secara besar-besaran.

Tentu saja kita harus melindungi produsen dalam negeri, dengan sedapat mungkin menunda pelaksanaan perdagangan bebas. Kita juga harus meningkatkan daya saing mereka dengan memperbaiki infrastruktur, dan akses pada modal yang lebih murah. Langkah-langkah untuk mencegah tidak fair-nya persaingan juga harus dilakukan. Kriteria nontarif harus ditentukan Indonesia yang menguntungkan produsen dalam negeri. Namun, kita juga harus realistis dengan perkembangan di sekitar kita. Kemunculan Cina yang sekarang ini adalah perekonomian terbesar nomor tiga dan dalam beberapa dekade ke depan, akan menjadi perekonomian terbesar di dunia tidaklah dapat dibendung. Dalam hal tertentu kita kalah dalam persaingan dengan Cina, namun banyak yang dapat kita lakukan bersama untuk saling menguntungkan.

Perkembangan Cina yang diikuti oleh India merupakan fenomena terjadinya pergeseran kekuatan ekonomi dunia. Indonesia sebagai negara terbesar ketiga di Asia banyak yang memperkirakan akan mengikuti perkembangan Cina dan India, jika kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan dunia usaha sesuai. Dengan kata lain, perkembangan Cina akan memberikan kesempatan lebih besar bagi Indonesia untuk berkembang. Sejarah memperlihatkan bahwa perkembangan Cina dan India sejalan dengan perkembangan Nusantara.

Asia mengalami keterbelakangan karena kolonialisme Barat. Bahkan, dalam hadis dinyatakan ''tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.'' Perkembangan Cina juga akan membawa perkembangan negara-negara berkembang yang telah membangun kerja sama dengan Cina, termasuk negara-negara Islam, seperti Arab Saudi, UEA, dan

Tidak ada komentar: