Senin, 22 Desember 2008

ANALISIS EKONOMI


Reorientasi Kebijakan Fiskal Moneter




M Ikhsan Modjo

Dalam literatur ilmu ekonomi kontemporer kerap dinisbahkan bahwa kebijakan moneter adalah instrumen pengendalian harga, sementara kebijakan fiskal adalah wahana untuk melakukan stimulus counter-cyclical.

Untuk mengantisipasi pelambatan ekonomi, penisbahan kedua instrumen makro ini agaknya harus diputar balik.

Kebijakan moneter diorientasikan sebagai stimulus, sementara kebijakan fiskal diorientasikan sebagai alat pengendalian harga. Reorientasi ini perlu karena ada beberapa alasan untuk menyangsikan keefektifan stimulus fiskal saat ini.

Pertama, peningkatan defisit anggaran saat krisis rentan terhadap budgetary capture. Pemberian insentif yang ditujukan sebagai stimulus justru menjadi ajang mencari rente kelompok kepentingan. Saat ini, berbagai desakan yang menjebak pemerintah masuk dalam perangkap itu sudah terdengar. Insentif penundaan pembayaran pajak atau subsidi bea masuk adalah contoh kasus.

Selain memberatkan anggaran akibat potential loss pendapatan yang bisa mencapai triliunan rupiah, kebijakan itu juga bisa mengakibatkan lebih dalamnya dampak krisis. Subsidi bea masuk yang bersifat gebyah uyah, justru akan mengakibatkan kebocoran dalam bentuk peningkatan impor.

Satu insentif fiskal yang bersifat one-off tidak diiringi perbaikan fundamental tidak akan efektif. Hanya sekadar menggelembungkan tabungan domestik. Lebih celaka jika justru dilarikan ke luar negeri.

Delapan puluh persen peningkatan pendapatan golongan menengah atas di AS, yang didapat dari insentif fiskal berupa pemotongan pajak sebesar 100 miliar dollar AS awal 2008, misalnya, hanya diparkir di tabungan, tidak mendongkrak konsumsi sebagaimana diharapkan.

Kedua, stimulus melalui kebijakan fiskal saat ini juga mendesak keluar ketersediaan kredit bagi sektor swasta. Dengan demikian, kebijakan yang diambil akan bersifat netral terhadap pengeluaran karena terkompensasi penurunan kredit di sektor swasta.

Ketiga, peningkatan defisit berisiko fiskal yang tinggi karena minimnya alternatif pembiayaan. Salah satu imbas krisis adalah pengetatan likuiditas. Keketatan terjadi akibat meningkatnya preferensi likuiditas dari perusahaan dan rumah tangga yang dilandasi keinginan berjaga-jaga dari berbagai risiko bisnis yang meningkat. Kondisi ini menyulitkan upaya pencarian dana talangan dari luar untuk menambal peningkatan defisit anggaran.

Demikian pula keketatan likuiditas akan terjadi pada perekonomian domestik. Rumah tangga konsumen dan perusahaan cenderung menahan belanja, berjaga dari hal yang tidak diinginkan bila ada guncangan. Repatriasi modal keluar terus dilakukan oleh banyak anak perusahaan asing di dalam negeri sebagai upaya penguatan likuiditas induknya.

Sementara itu, perbankan domestik akan lebih berhati-hati dan menahan laju pertumbuhan kredit untuk meminimalkan risiko pasar dan pinjaman. Oleh karena itu, pembiayaan defisit melalui pasar uang domestik bisa kontraproduktif karena akan menambah tekanan terhadap likuiditas, pada gilirannya menekan suku bunga ke atas, yang berimplikasi balik pada rumah tangga dan perusahaan.

Tingginya suku bunga menambah beban bunga utang dan pembiayaan, serta menekan nilai aset, yang akan menurunkan daya beli rumah tangga dan memperburuk neraca perusahaan.

Keempat, peningkatan defisit terganjal lemahnya daya serap anggaran pemerintah, yang sering dibelanjakan pada akhir satu siklus fiskal untuk berbagai kegiatan yang konsumtif sehingga tak memiliki dampak berganda seperti diharapkan.

Menjaga harga

Dari berbagai kelemahan itu, patut diragukan efektivitas kebijakan fiskal sebagai stimulus pengeluaran.

Kebijakan fiskal sebaiknya dibatasi untuk menjaga lonjakan harga yang bersumber dari sisi penawaran, seperti subsidi pada pangan, energi, dan infrastruktur yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.

Sebaliknya, stimulus pengeluaran seharusnya dilakukan melalui kebijakan moneter yang masih memiliki ruang manuver luas. Stimulus ini juga melalui mekanisme perbankan, yang relatif bersifat netral dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kekhawatiran bahwa ekspansi akan menyebabkan pelarian modal dan depresiasi itu berlebihan. Sebab, pergerakan modal saat krisis bukan dilandasi perbedaan paritas suku bunga, tetapi lebih dilandasi motif berjaga-jaga.

Kekhawatiran itu juga ahistoris karena kebijakan moneter ketat, seperti saat krisis ekonomi 1997/1998, justru dampaknya bertolak belakang dengan yang diharapkan. Kebijakan moneter ketat menekan pasar modal dan memperburuk neraca rumah tangga, yang akhirnya berimbas pada perbankan dan otoritas moneter serta pemerintah.

M Ikhsan Modjo Direktur Indef; Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Unair

Tidak ada komentar: