Senin, 22 Desember 2008

Setitik Harapan di Tahun 2009


A Tony Prasetiantono

Tahun 2008 yang segera berakhir telah meninggalkan serangkaian ”drama” perekonomian yang menggemaskan.

Mulai dari kenaikan harga minyak dunia yang sempat mencapai 147 dollar AS per barrel (11 Juli), hancurnya pasar modal sesudah kebangkrutan Lehman Brothers (15 September), kenaikan harga BBM bersubsidi, yang diralat lagi pada akhir tahun. Meski perekonomian Indonesia goyah, ternyata pertumbuhan ekonomi 2008 masih terjaga di level 6 hingga 6,1 persen.

Tahun 2009, perjalanan ekonomi Indonesia bakal lebih terjal. Melambatnya perekonomian global diperkirakan akan tertransmisi ke perekonomian domestik. Meski demikian, negara-negara emerging markets diproyeksikan memiliki derajat kekebalan tertentu, yang agak dapat menetralisasi dampak negatif krisis global.

Mengapa cukup kebal?

Dalam versi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, pertumbuhan ekonomi 2009 negara-negara maju hampir semuanya negatif. Amerika Serikat akan tumbuh -0,91 persen, Inggris -1,12 persen, Jerman -0,75 persen, Perancis 0,36 persen, Italia -1,03 persen, Belanda -0,17 persen, dan Jepang -0,15 persen.

Sebaliknya, negara-negara berkembang, khususnya emerging markets, masih mengalami pertumbuhan positif meski melambat. Misalnya, China tumbuh 8 persen, versi lain bahkan 9 persen, India 7,3 persen, Korea Selatan 2,67 persen, Brasil 3 persen, Afrika Selatan 3 persen. Bagaimana Indonesia? OECD masih optimistis Indonesia bisa tumbuh 5,4 persen. Beberapa versi lain juga masih berani meyakini ekonomi kita tumbuh 5 persen. Mengapa demikian?

Yang membedakan antara negara maju dan negara berkembang adalah karakteristik sektor finansialnya. Negara maju didominasi bank investasi (investment bank), sedangkan negara berkembang bertumpu pada perbankan konvensional. Namun, justru sistem perbankan tradisional inilah yang selamat dari hantaman krisis.

Sebenarnya, krisis finansial global merupakan koreksi dari fenomena yang berkembang pesat sejak 1990-an, saat bank investasi di negara maju, terutama AS, tumbuh cepat, amat agresif, hingga jauh melampaui kemampuan sektor riil untuk menyangganya. Bank investasi beroperasi tidak secara konvensional seperti bank-bank komersial (di Indonesia disebut bank umum). Bank investasi ”membiakkan” dana dari nasabah (baik individu kaya maupun institusi) ke berbagai portofolio, yang bisa memberi hasil (yield) tinggi. Misalnya, diinvestasikan ke berbagai bentuk surat berharga, seperti saham, obligasi, reksadana, bahkan derivatif.

Produk-produk sektor finansial ini kian lama kian beragam, bertambah setiap saat sehingga jenis derivatif melampaui lebih dari 200 varian. Portofolio ini cepat memberi keuntungan berlipat. Namun, sebagaimana diingatkan teori ekonomi, perolehan keuntungan yang besar juga mengandung risiko kerugian yang besar pula (high risk, high return).

Dibanding bank komersial, karakteristik bank investasi ini berbeda. Bank-bank komersial beroperasi secara konvensional. Mereka mengumpulkan dana pihak ketiga (DPK) atau masyarakat, mulai dari kelompok yang pendapatannya paling rendah hingga superkaya tanpa pandang kriteria. Semua orang bisa menyimpan dananya di bank komersial. Dana ini lalu ”diputar”, terutama ke sektor riil, misalnya memberi kredit pabrik semen, pabrik sepatu, usaha kecil dan menengah, kredit sepeda motor, dan kartu kredit.

Adapun bank investasi lebih menonjol dalam exposure yang menghasilkan margin keuntungan sebesar-besarnya dan sesingkat-singkatnya. Konsekuensinya, hal ini sering ”diboncengi” unsur spekulatif.

Karena itu, krisis kali ini lebih memberi dampak negatif langsung terhadap perbankan investasi (di negara maju) daripada imbas terhadap perbankan konvensional (di negara berkembang). Itu sebabnya proyeksi pertumbuhan ekonomi 2009 di emerging markets masih positif, sementara di negara maju sudah negatif (kontraktif). Negara berkembang, terutama Asia, termasuk cukup kebal terhadap hantaman krisis global.

Pertumbuhan 5 persen?

Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2009 yang paling moderat adalah antara 4,5 persen hingga 5 persen. Dari mana asal pertumbuhannya? Dalam struktur produk domestik bruto (PDB) kita, variabel yang paling dominan adalah konsumsi, yang menyumbang sekitar 60 persen dan investasi yang berkontribusi 24 persen. Artinya, jika kita masih bisa menjaga kedua variabel ini, pertumbuhan ekonomi tetap bisa didorong.

Modal terbesar menghadapi 2009 adalah inflasi yang lebih rendah. Tahun ini, inflasi saya perkirakan sekitar 10,8 persen, lebih rendah dari perkiraan semula 12 persen, yang disebabkan turunnya harga minyak dunia. Untuk perekonomian Indonesia yang biasanya sensitif terhadap kenaikan harga BBM domestik, angka ini tidak terlalu jelek. Pada 2005, saat harga BBM dinaikkan, inflasi kita 17,11 persen.

Selanjutnya, tahun 2009 inflasi pasti akan turun karena harga minyak dunia terus menurun. Akhir pekan lalu, harga minyak dunia anjlok ke 34 dollar AS/barrel (19/12/2008), terendah sejak krisis minyak pertengahan 2005. Fenomena ini amat tidak inspiratif bagi efisiensi penggunaan energi, dan tidak mendorong energi alternatif yang berbasis kelapa sawit. Kita rugi saat harga sawit juga ikut turun.

Sisi positifnya adalah, inflasi 2009 bakal banyak terpangkas. Boleh jadi kembali ke level normal 6 atau 6,5 persen. Meski dengan catatan, inflasi yang rendah sebenarnya juga mencerminkan melemahnya daya beli (purchasing power). Jika expected inflation 6,5 persen, bisa menjadi momentum penurunan suku bunga. Saat ini, BI Rate masih 9,25 persen, dan diharapkan akan turun secara agresif tahun 2009. Saya perkirakan BI Rate akan mencapai sekitar 8 persen pada pertengahan 2009. Selanjutnya, jika tren inflasi rendah berlanjut, BI Rate bisa diturunkan lagi, misalnya menjadi 7,5 persen.

Semoga skenario ini dapat berjalan, sejalan tren global saat ini. Suku bunga di AS, Fed Rate, dipangkas drastis dari 1 persen ke 0,25 persen. Jepang juga sudah memotong suku bunga dari 0,3 persen menjadi 0,1 persen. Bunga Zona Eropa 2,5 persen, Australia 5,25 persen, China 5,58 persen, dan Korea Selatan 3,0 persen. Tampaknya, tren penurunan suku bunga masih mungkin berlanjut. Bahkan, AS kemungkinan segera menyamai Jepang, yang lebih dulu menjalankan zero interest rate, pada level bunga 0,1 persen.

Dengan suku bunga rendah, gairah konsumsi dan investasi dapat dipertahankan. Sepanjang 2008, kredit sektor perbankan tumbuh 30 persen hingga mencapai Rp 1.400 triliun, berbanding dana masyarakat yang masuk ke bank Rp 1.700 triliun. Pada 2009, kredit masih tumbuh meski melambat menjadi 20 persen.

Kombinasi antara inflasi rendah dan suku bunga rendah diharapkan dapat mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi 2009, setidaknya 4,5 persen atau 5 persen. Agresivitas pemerintah membelanjakan APBN, melalui defisit anggaran 2,0 persen terhadap PDB, akan menjadi kunci lain bagi pencapaian ini.

A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Tidak ada komentar: