Rabu, 24 Desember 2008

Pelajaran Finansial Bagi Asia

Dr Gerard Lyons
Chief Economist Standard Chartered Bank Plc

Selama setahun belakangan ini terjadi cerita finansial dari dua dunia: booming di Asia dan wilayah berkembang lainnya yang terlihat kontras dengan krisis finansial yang terus memburuk di dunia Barat. Namun, krisis ekonomi dan finansial tampaknya tak sekadar masalah batasan wilayah karena globalisasi telah meletakkan Asia lebih mendekat lagi ke wilayah ekonomi global ketimbang menjauh. Meski demikian, kebutuhan nyata dari pasar domestik serta reformasi finansial yang terjadi beberapa tahun belakangan di Asia memungkinkan wilayah ini menyikapi dan menangani kejatuhan finansial di negara-negara Barat secara lebih baik.

Tapi, apakah pelajaran jangka panjang yang diperoleh oleh Asia dan wilayah ekonomi berkembang lainnya dari permasalahan finansial yang terjadi di Barat? Salah satu dari banyak pelajaran dari krisis ekonomi Asia 1997/98 adalah keperluan mengadakan deregulasi sektor finansial dalam kecepatan yang disesuaikan dengan kebutuhan domestik masing-masing. Setelah krisis 1997/98 sejumlah negara Asia dengan tergesa-gesa melakukan deregulasi guna menyelamatkan dirinya, tapi sering kali tanpa kelengkapan infrastruktur lembaga yang sesuai.

Tidak ada satu ketentuan kecepatan yang sama untuk seluruh negara dalam deregulasi. Sejumlah negara yang terkena krisis pada waktu itu tidak mengalami kekurangan uang walaupun kurang likuid, seperti contoh gamblangnya Korea Selatan.

Sejak krisis tersebut, ekonomi Asia terus membangun ketahanan dan kemampuannya menghadapi kejutan permasalahan. Cadangan devisa di wilayah ini meningkat. Ada penekanan yang lebih kuat akan disiplin fiskal dan pada kredibilitas kebijakan moneternya. Kenaikan inflasi pada pertengahan tahun ini seakan ujian dan dalam banyak kasus telah membuktikan kredibilitas dari bank-bank sentral Asia.

Hal ini menempatkan Asia dalam posisi lebih baik untuk berhadapan dengan permasalahan. Kebanyakan ekonomi Asia juga telah menyaksikan lonjakan utang di sejumlah negara Barat. Negara-negara Asia khususnya dalam sektor belanja masyarakat domestik tidak merasa perlu menahan laju belanja masyarakat seperti yang harus dilakukan oleh AS.

Tapi, saat resesi dan dampak balik finansial memukul AS, penting bagi wilayah-wilayah ekonomi berkembang mencermati pesan-pesan tersebut. Salah bila wilayah ekonomi berkembang berpikir mereka harus menghentikan atau bahkan berbalik arah dalam pelaksanaan deregulasi sektor keuangannya.

Dua kesalahan tidak akan menghasilkan sesuatu yang benar. Faktanya, kejadian permasalahan finansial di AS tidak boleh menghentikan proses deregulasi di Asia. Mengadakan dan memperluas deregulasi sektor finansial justru membantu wilayah ini mencapai potensinya, yaitu dengan cara menjangkau masyarakat kelas menengah yang bebas utang yang jumlahnya meningkat serta memanfaatkan kekuatan belanja serta investasi mereka.

Pelajaran pentingnya, pengembangan finansial harus dilakukan dalam tatanan yang wajar yang dapat dibagi dalam tiga bagian utama yang saling berhubungan: risiko, likuiditas, dan faktor-faktor yang mendukung peredaran. Pertama, manajemen risiko. Penetapan harga akan suatu risiko yang tidak sesuai adalah penyebab utama krisis. Kesan risiko kredit yang didistribusikan ke sejumlah basis investasi lewat produk derivatif yang inovatif akan dapat mengurangi risiko sistematis sesungguhnya ilusi semata.

Permasalahan terbesar pada dasarnya lembaga-lembaga keuangan itu sendiri dan struktur insentif untuk agen >credit rating tidak membantu. Dari sudut pandang regulator, kebutuhan untuk mengikuti inovasi produk dan kerja sama lintas negara juga penting. Kedua, manajemen risiko likuiditas, khususnya di saat-saat penuh tekanan, haruslah ditangani. Saat bank-bank hilang kepercayaannya ke pasar dan dana tunai mereka pertahankan, pemikiran bahwa bank sentral selalu dapat menjaga pasar uang yang likuid benar-benar tengah diuji. Likuiditas adalah raja.

Ketiga, faktor-faktor yang mendukung peredaran jelas berkontribusi ke situasi krisis, termasuk kebijakan bank sentral yang tidak tepat, serta struktur insentif di perusahaan. Orang dapat berpikir ini sama seperti menuangkan bensin ke api yang berkobar.

Negara-negara Asia dan pasar-pasar yang berkembang harus melihat bagaimana mengembangkan sektor finansialnya hingga dapat menjadikan simpanan mereka yang besar menjadi suatu investasi yang terus meningkat, mengupayakan masyarakat meminjam dengan melihat pendapatan masa depannya, dan memungkinkan perusahaan mengakses pasar saat dibutuhkan. Namun, kecepatan dari pengembangan ini harus dikelola secara hati-hati. Dengan kondisi dunia yang cenderung untuk menghindar dari risiko, konsistensi kebijakan dan adanya sesuatu yang dapat lebih diperkirakan sebelumnya merupakan hal yang amat dihargai.

Sebaliknya, inkonsistensi serta kebijakan yang mundur-maju akan amat mengurangi kepercayaan investor. Ketimbang melihat apa yang terjadi sekarang sebagai suatu ancaman ke wilayah ini, ini suatu kesempatan untuk merefleksikan kemajuan yang dicapai Asia dalam 10 tahun terakhir.

Akhirnya, pesan yang mencuat dari krisis saat ini adalah keinginan dari perusahaan finansial Barat memperoleh bantuan modal dari lembaga pendanaan yang beberapa ada di Asia. Walaupun sejumlah investasi ini anjlok dalam harga, pesan yang ditangkap adalah kondisi ini suatu pertanda lebih lanjut akan terjadinya peralihan keseimbangan kekuatan ekonomi dan keuangan dari Barat ke Timur.

Ikhtisar:
- Sejak krisis 1998 ekonomi Asia terus membangun ketahanan dan kemampuannya menghadapi kejutan permasalahan.
- Permasalahan terbesar pada dasarnya lembaga-lembaga keuangan dan struktur insentif untuk agen credit rating tidak membantu.
- Pada tahun mendatang bukan tak mungkin jika perusahaan-perusahaan Asia menjadi lebih internasional dalam ambisinya.

Tidak ada komentar: