Senin, 15 Desember 2008

PPN Produk Pertanian Menggerus Daya Beli


Jakarta, Kompas - Rencana Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan yang akan mengenakan pajak terhadap produk pertanian dinilai akan semakin menggerus daya beli rakyat.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Makanan Ternak (GPMT) Budiarto Soebijanto, Minggu (14/12) di Jakarta, mengungkapkan, di tengah ancaman krisis global pemerintah harus meningkatkan sense of crisis, bukan malah menambah beban baru yang memberatkan rakyat.

Menurut Budiarto, rencana Dirjen Pajak Darmin Nasution yang akan mengenakan PPN atas produk pertanian atau peternakan, antara lain, akan berdampak pada penurunan konsumsi protein hewani. Penurunan terjadi di tengah daya beli masyarakat yang sudah lemah.

”Kebijakan ini kontra produktif dan terkesan tidak ada koordinasi program pengembangan usaha dan lapangan kerja. Alternatif usulan dari Dirjen Pajak soal cara threshold maupun deemed justru menimbulkan distorsi baru pada tata niaga perunggasan atau peternakan,” paparnya.

”Di tengah krisis ekonomi global seperti sekarang, seharusnya pemerintah memberi insentif untuk mengembangkan usaha pertanian, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan konsumsi protein hewani, bukan malah menambah beban PPN pada konsumen hanya karena ingin mengejar target pemasukan pajak,” tutur Budi.

Sementara itu Amal Alghozali, Ketua Umum Persaudaraan Masyarakat Tani (Permata) Indonesia, menilai tidak pantas jika pemerintah akan memajaki hasil petani. ”Toh petani sudah dikenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Air, retribusi irigasi, dan yang lainnya,” ujar Amal.

Perputaran uang komoditas primer, seperti beras, jagung, kedelai, dan singkong, yang akan dikenai PPN memang besar. Namun, produksi komoditas itu nyaris tanpa sentuhan pemerintah. ”Mau bukti? Produksi beras 35 juta ton, total modal sekitar Rp 140 triliun. Namun, peran modal pemerintah sangat kecil,” ungkap Amal. (MAS/gun)

Tidak ada komentar: