Jumat, 26 Desember 2008

Pola Pengeluaran Orang Kaya Indonesia


Masih sekitar 35 juta atau 15,4% penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, yang jarang dibahas, cukup banyak jumlah penduduk yang sejahtera bahkan tergolong hidup bergelimang uang.


Data terbaru dari salah satu lembaga penelitian internasional menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan jumlah penduduk jutawan di Indonesia rata-rata sebesar 15% per tahun. Ini melebihi tingkat pertumbuhan jumlah jutawan Singapura yang hanya di kisaran angka 7%. Persoalannya, mengapa jumlah jutawan yang begitu besar hampir tidak memberi dampak pada pengurangan penduduk miskin? Bagaimana sesungguhnya penduduk kaya Indonesia mengelola pengeluaran rumah tangga?

Uang untuk Benda

Di abad ke-18 dan ke-19, di beberapa tempat di Indonesia terdapat kemakmuran. Para petani karet dan kopi di Sumatera, petani rempahrempah di Indonesia Timur, petani lada di Bangka,dan petani kopra serta cengkih di Minahasa menikmati berlimpah ruahnya pendapatan.

Uang yang diperoleh umumnya dipergunakan untuk tiga hal, membangun rumah dengan perabotan mahal, biaya menunaikan ibadah haji, dan memenuhi kebutuhan konsumsi melebihi kemampuan konsumsi makanan rata-rata orang Indonesia yang lain. Jika ada kelebihan uang, ada juga yang disimpan untuk persiapan mengadakan berbagai jenis kenduri. Kemakmuran tidak hanya dinikmati oleh para petani.

Setelah Indonesia merdeka, terutama sejak awal dekade 1980-an banyak orang Indonesia yang hidup dengan uang berlimpah, entah diperoleh dari korupsi atau dari tumbuhnya kesempatan kerja di sektor modern perkotaan.Pola pengeluaran tidak mengalami perubahan. Uang tersebut dibelanjakan dengan pola pengeluaran yang hampir sama dengan pola pengeluaran masyarakat pada 200 tahun yang lalu, yaitu untuk membangun rumah mewah, membeli kendaraan dan perabot rumah tangga yang mahal.

Fungsi uang terbatas sebagai alat pengeluaran untuk mendapatkan benda-benda guna dipertontonkan kepada masyarakat sebagai bagian dari status sosial. Pola pengeluaran rumah tangga orang kaya Indonesia tersebut sejak awal dekade 1980-an secara tidak resmi telah mendapat pengakuan internasional. Orang Indonesia dikenal di Singapura sebagai konsumen atau pembelanja terbesar di mal dan tokotoko di negeri tersebut.Konon,banyak warga Singapura yang terkesima, betapa sebuah bangsa yang sebagian besar rakyatnya masih miskin begitu royal menghamburkan uang.

Ada indikasi kuat bahwa belanja barang konsumsi orang Indonesia melebihi rata-rata uang yang dikeluarkan oleh para turis dari negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Jepang,dan Australia.Citra yang kuat tentang Indonesia di luar sana, yaitu suatu bangsa dengan manusianya yang memperoleh uang dengan cara gampang dan menghamburkan uang dengan cara yang gampang pula.

Saat ini, di tengah kemiskinan sebagian besar penduduk, di beberapa wilayah perdesaan Indonesia terjadi kemakmuran baik yang bersifat absolut maupun yang bersifat relatif. Petani padi yang menguasai tanah luas memiliki kondisi kehidupan yang cukup berlimpah kemewahan dibandingkan para petani penggarap, buruh tani,dan petani gurem. Petani karet Sumatera saat ini sedang menikmati kemakmuran.

Sekadar ilustrasi kecil,di wilayah sentra perkebunan karet rakyat di daerah Komering dan Banyuasin di Sumatera Selatan, Jambi, dan di kawasan pantai timur Sumatera, misalnya, rata-rata seorangpetanikaret,denganluaslahan hanya sekitar satu hektare dapat menghasilkan Rp4 sampai Rp5 juta per bulan. Untuk ukuran setempat, sangat makmur. Kelimpahruahan uang tersebut dapat dibuktikan misalnya dengan mewahnya kehidupan sehari-hari sebagian penduduk desa.Para petani membeli sepeda motor dan bergantiganti merek.

Mereka merehabilitasi rumah dengan bahan bangunan yang mahal.Ponsel yang dipakai melebihi harga dan kualitas para pekerja profesional yang ada di Jakarta.Uang itu minimal sekali yang digunakan untuk investasi bagi penyerapan tenaga kerja kelompok bawah. Di daerah perkotaan,mereka yang mendapat berkah juga sebagian hidup dalam kelimpahruahan. Kita saksikan, misalnya, harga BBM boleh naik atau turun tidak membawa pengaruh.

Keluarga Indonesia memenuhi tempat-tempat belanja dan rekreasi. Kota Bandung, Surabaya, Yogyakarta,Bali,dan beberapa tempat lain mengalami kemacetan parah oleh para pembelanja dan pelancong lokal maupun pendatang dari berbagai penjuru. Hari libur adalah pertunjukan yang sangat menakjubkan bagaimana uang dihambur-hamburkan oleh jutaan manusia Indonesia.

Tidak Berbagi

Kecenderungan yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia tersebut sebetulnya bukan fenomena yang aneh. Dulu, ketika Eropa masih berada di abad pertengahan, sekitar 600 tahun yang lalu, keadaannya hampir sama.Pada saat itu apa yang disebut kepemilikan adalah sejumlah harta yang gampang dilihat.

Sangat wajar jika pada saat itu para orang kaya Eropa merealisasikan kepemilikan uangnya dalam wujud kastil, bangunan-bangunan mewah, tandatanda kebesaran dan tingkat konsumsi barang-barang mewah serta pesta dan upacara besar-besaran. Tetapi dalam hal pengelolaan uang dan pengeluaran rumah tangga, masyarakat Eropa cepat berubah. Masyarakat belahan dunia yang lain tidak, itu yang ditulis oleh Richard Heillbroner dalam The Making of Economic Society. Seperti itulah kirakira yang saat ini terjadi di Indonesia.

Pola-pola penggunaan uang pada 200 tahun yang lalu untuk sekadar pemuas nafsu kebendaan (dan di Eropa 600-700 tahun yang lalu) tampaknya masih mirip dan tidak banyak mengalami perubahan.Persoalan kita saat ini adalah betapa sulitnya mengelola pengeluaran rumah tangga dan menjadikan uang sebagai modal. Terkait dengan investasi, menabung memang telah tumbuh, tetapi walaupun bunga bank telah diturunkan pada level yang sangat rendah, masyarakat tidak tertarik untuk menginvestasikan uangnya. Uang itu akan ditarik jika kelak akan ada kenduri, akan berbelanja ke luar negeri, atau akan membeli rumah yang lebih bagus.

Dalam konteks ini pula kita semakin menyadari bahwa persoalan pengelolaan pengeluaran adalah persoalan yang berhubungan dengan kebudayaan, nilai-nilai dan kepedulian, serta perasaan empati yang ada di masyarakat yang kian hari terasa kian melemah. Kita miskin sense of reciprocity(semangat berbagi). Dalam konteks ini, kita pun maklum jika kemiskinan sulit dikurangi.

Program-program antikemiskinan yang ada akan kesulitan mengurangi kemiskinan secara maksimal tanpa dukungan masif masyarakat dalam bentuk investasi dan semangat saling berbagi. Di 2009 angka kemiskinan tampaknya masih akan tetap tinggi.(*)

Jousairi Hasbullah
Kepala Biro Humas dan Hukum Badan Pusat Statistik (BPS)

Tidak ada komentar: