Minggu, 07 Desember 2008

Kapitalisme Kreatif ala Gates



TANGGUNG jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) kini kembali hangat dibicarakan. Ini disebabkan bos Microsoft,Bill Gates,melontarkan ide yang mengagetkan banyak orang dalam sebuah pertemuan,awal tahun ini.

Ya, saat acara World Economic Forum di Davos, Swiss, 24 Januari lalu, Gates melontarkan ide tentang creative capitalism (kapitalisme kreatif). Kapitalisme kreatif yang dimaksud Gates dianggap sebagai bentuk baru kapitalisme. Di dalamnya Gates mengedepankan soal perhatian lebih dari perusahaan terhadap kelompok-kelompok miskin yang selama ini tersingkir akibat gerak kapitalisme.

Gates menawarkan ide bagaimana merancang sebuah sistem yang di dalamnya termasuk mengelola laba perusahaan yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas masyarakat miskin.Terutama di bidang kesehatan dan pendidikan.

Sejatinya, inti dari ide Gates adalah, apa pun hubungan manusia di dunia ini, basisnya adalah insentif dan disinsentif. Pasar menjadi begitu kuat (powerful) karena menggunakan instrumen harga sebagai mekanisme insentif (incentive) dan disinsentif (disincentive). Sebagai contoh, dalam kasus kredit macet perumahan (subprime mortgage), seandainya insentifnya tepat, krisis di Amerika Serikat (AS) mungkin tidak akan terjadi.

Namun,faktanya, insentif justru diberikan untuk sesuatu yang mestinya tidak perlu dilakukan. Dalam hal ini, jika orang mau punya rumah, kalau bunga kredit rumah waktu itu mahal, ya seharusnya memang dibayar mahal.

Tak pelak,ide Gates ini langsung dikaitkan dengan CSR yang selama ini sudah diterapkan sejumlah perusahaan. Gates berharap bahwa idenya ini bisa membuat kapitalisme lebih manusiawi.Sejatinya,ide Gates ini bukan barang baru bagi kapitalisme. Sebab, sebelum ide ini dilontarkan, di belahan dunia lain sudah muncul istilah kapitalisme sosial (social capitalism), kapitalisme peduli (emphatetic capitalism), kapitalisme humanis (humanistic capitalism), hingga kapitalisme spiritual (spiritual capitalism).

Bahkan, beberapa abad silam sistem ini sudah dilakukan pengusaha Inggris Robert Owen ketika memberikan perhatian kepada pekerjanya dan bukan semata mencari keuntungan. Artinya,ide Gates hanya meneruskan apa yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja, sistem ini ditentang kelompok kapitalisme garis keras penganut paham Milton Friedman. Sebab, menurut Friedman, tugas perusahaan hanya satu, yaitu mencari keuntungan sebesar-besarnya untuk pemegang saham.

Kerja lain di luar itu adalah ”pengkhianatan”. Dengan profit itu, pemegang saham boleh menggunakannya untuk apa saja, termasuk kegiatan amal.Namun keputusan sepenuhnya diserahkan kepada pemegang saham, bukan eksekutif. Persoalannya,paham-paham kapitalisme yang dianggap ”lebih manusiawi” tersebut tidak bisa mengemuka karena tidak ada yang menggerakkannya.

Sementara ide kapitalisme kreatif ala Gates justru mencuat.Istilahnya,orang tidak peduli bagaimana lagunya, tetapi hirau pada siapa yang menyanyikannya (not the song, but the singer). Selama ini banyak kalangan sangat mafhum bahwa Gates adalah penganut kapitalisme sejati (Friedmanisme) yang selalu berorientasi profit semata. Jadi ketika dia berbicara yang dipandang sebagai bagian dari paham sosialis, di mata para penganut kapitalisme, hal itu ibarat petir di siang bolong.

Apalagi, dalam perjalanan bisnisnya,Gates mencurahkan energi sepenuhnya untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tanpa dibebani kegiatan amal. Setelah kaya, baru Gates mendirikan badan amal. Kapitalisme kreatif yang ditawarkan Gates itu diejawantahkan sebagai sebuah pendekatan di mana pemerintah, sektor bisnis, dan kegiatan-kegiatan nirlaba (seperti yayasan kemasyarakatan dan akademisi) bekerja sama untuk memperluas jangkauan pasar sehingga akan semakin banyak manusia yang memperoleh keuntungan.

Dengan penambahan kata kreatif pada kapitalisme,Gates mengajak semua pihak untuk memperbaiki kapitalisme yang sedang guncang saat ini akibat krisis global. Apalagi,sejumlah kalangan menilai bahwa krisis finansial global yang dimulai dari AS saat ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan pembangunan ekonomi yang berlebihan di sektor finansial dibandingkan sektor riil yang berakar dari sistem moneter ciptaan The Fed.

Pola yang harus digunakan saat ini pun adalah dengan memberikan ”sumbangsih” yang lebih besar kepada sektor riil. Hal ini pernah dilakukan Presiden ke-32 AS Franklin D Roosevelt–– atas saran penasihat ekonominya yang kesohor John Maynard Keynes––dengan membangun secara masif sektor riil pascadepresi hebat di AS pada era 1930-an.

Saat itu, yang menjadi amunisi penggeraknya adalah kerja, inovasi,dan kreativitas. Intinya, paham kapitalisme kreatif yang ditawarkan Gates bahwa filantropi (amal) dari sistem ini sejatinya bisa menyejahterakan banyak orang. Namun, faktanya, banyak orang lain masih miskin.Yang menjadi pertanyaan, bagaimana kapitalisme dapat masuk ke wilayah ini?

Bukankah kapitalisme itu sejatinya mengutamakan pencarian keuntungan sebesar-besarnya? Sebab,kapitalisme bukanlah kerja amal. Karena itu, paham Gates juga dicurigai banyak kalangan sebagai sebuah pola baru ”berjualan” kapitalisme. Sebab,di kalangan orang miskin terdapat pasar yang sangat besar.

Pasar ini sebenarnya potensial, tapi membutuhkan kreativitas untuk menerapkan kapitalisme di sini.Pola kreativitas inilah yang dijalankan sebuah perusahaan telepon seluler di Kenya, Safaricom, perusahaan telepon seluler terbesar yang sebagian besar sahamnya dimiliki Vodafone sejak 2000. Seperti dilansir TIME, saat itu Safaricom memiliki 400.000 pelanggan.

Kini jumlahnya meningkat mencapai 10 juta pelanggan. Perusahaan ini melayani penduduk miskin untuk penggunaan telepon genggam. Keberadaan telepon genggam mengakibatkan aktivitas ekonomi penduduk setempat meningkat.Bentuk kapitalisme kreatif yang dilakukan Safaricom adalah dengan menentukan tarif layanan dalam hitungan detik bukan per menit.

Lewat layanan tarif semacam itu, telepon genggam bukan lagi barang mahal. Masyarakat miskin di wilayah itu bisa menggunakan sarana komunikasi untuk meningkatkan aktivitas bisnis mereka.Artinya, pada skema tertentu, warga miskin merupakan pasar yang potensial. Kapitalisme bisa bermain di situ. Meski di awal keuntungannya sedikit, melalui pembukaan pasar, dapat mengundang pasar yang lebih besar. Inilah kapitalisme kreatif ala Gates. (abdul malik/islahuddin/ faizin aslam)

Tidak ada komentar: