Rabu, 17 Desember 2008

Korupsi Tetap Mewabah


Parlemen Indonesia Paling Mudah Tergoda

Singapura, selasa - Potret penanganan korupsi di kawasan Asia masih belum menunjukkan banyak kemajuan. Meski Indonesia dicatat menunjukkan perkembangan yang bermakna, Filipina dan Malaysia justru menunjukkan penurunan, sedangkan Thailand dipandang belum banyak berubah dari sebelumnya.

Hal itu disampaikan organisasi Transparansi Internasional (TI) dalam laporan potret korupsi global 2008 yang dirilis pekan lalu, sebagaimana dilaporkan Reuters, Selasa (16/12).

Di antara negara-negara ASEAN, menurut TI, Kamboja dan Myanmar tergolong paling korup. Korupsi di Malaysia dan Filipina memburuk terkait tuduhan korupsi terhadap kepala negara mereka yang tidak pernah jelas tindak lanjutnya.

Korupsi kroni dan patron politik tertanam dalam di Malaysia, terutama karena sistem yang memberikan keistimewaan bagi etnis Melayu melalui kontrak- kontrak pemerintah yang cenderung akan diberikan kepada orang kaya, yang punya hubungan kuat dengan pejabat pemerintah.

Abdul Jalil Rashid, Manajer Investasi Aberdeen Asset Management Malaysia, menyatakan korupsi sebagai ”hambatan terbesar” bagi investasi di Malaysia. ”Juga ada kesenjangan transparansi yang kemudian mengarah kepada persepsi bahwa terjadi sesuatu yang tidak benar,” kata manajer yang mengelola dana 1,38 miliar dollar AS itu.

TI menyebutkan, posisi Indonesia membaik dalam penanganan korupsi. Fauzi Ichsan, ekonom pada Standard Chartered Bank di Jakarta, mengatakan, korupsi tidak lagi dilihat sebagai salah satu hambatan utama bagi investasi asing di Indonesia. ”Kampanye antikorupsi pemerintah cukup revolusioner,” kata Fauzi.

Di Thailand, tiga pemerintahan jatuh dalam waktu yang singkat terkait dengan korupsi. Potret penanganan korupsi di negara itu tidak bergerak maju.

Laporan tahunan ”Indeks Pembayar Suap” TI menyebutkan, perusahaan-perusahaan di negara yang ekonominya tumbuh besar, seperti China, India, dan Rusia, sering terlibat dalam kasus suap.

Tidak terkejut

Lembaga di kawasan Asia yang dipandang paling mudah tergoda menerima suap adalah parlemen Indonesia. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Muhaimin Iskandar mengaku tidak terkejut dengan penilaian TI. TI menyebutkan bahwa DPR sebagai parlemen Indonesia termasuk yang paling mudah tergoda untuk melakukan korupsi.

Penilaian itu muncul karena belakangan ini banyak terungkap kasus gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan anggota Dewan dan hal itu banyak dipublikasikan media.

”Penilaian TI ini harus jadi pemicu bagi DPR untuk menegakkan aturan. Kalau perlu, pengaturan soal kode etik itu dimasukkan dalam Tata Tertib atau dalam Undang-Undang Susduk DPR agar lebih kuat,” kata Muhaimin.

Meski demikian, Muhaimin yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa menegaskan bahwa proses pembelajaran demokrasi di DPR baru berjalan sangat singkat, yaitu sekitar 10 tahun setelah reformasi.

DPR masih terus menata sistem. Badan Kehormatan DPR, misalnya, baru dibentuk 2004. Adapun Tata Beracara Badan Kehormatan DPR baru diselesaikan satu tahun belakangan.

Muhaimin tidak percaya bahwa korupsi merupakan budaya Indonesia. Dengan adanya aturan dan pelaksanaan yang tegas, dia yakin korupsi dapat diberantas. ”Jadi, satu-satunya cara adalah mempercepat penegakan aturan untuk mengontrol perilaku,” ucapnya.

Polisi dan bea cukai

Polisi Malaysia, dan petugas- petugas bea cukai Filipina juga tergolong paling mudah disuap. Secara keseluruhan, catatan soal negara masing-masing di kawasan ini tentang korupsi sangat beragam. Banyak negara telah melakukan upaya menghilangkan penyuapan, tetapi masalah tetap muncul. Masalahnya, perusahaan-perusahaan tidak lagi melihat kasus suap sebagai sebuah kejahatan.

Analis Bank Dunia, Daniel Kaufman, Aart Kraay, dan Massimo Mastruzzi, menyimpulkan dalam studi terbaru mereka, ”Kami tentu saja tidak mempunyai bukti tentang kemajuan berarti soal pemberantasan korupsi di semua pemerintahan di seluruh dunia.”

Pertumbuhan perdagangan internasional dan globalisasi dalam dua dekade terakhir justru memperluas kesempatan melakukan korupsi. ”Melalui globalisasi, kompetisi telah meningkat dan begitu juga kompetisi korupsi,” kata Presiden TI Malaysia Ramon Navaratman, sambil menambahkan, masih banyaknya insentif untuk korupsi.

Masuknya pebisnis besar baru dari India dan China yang mempunyai kebiasaan berbisnis berbeda dari pebisnis Barat membuat tindak korupsi dalam berbagai bentuk semakin meluas. (Reuters/OKI/SUT)

Tidak ada komentar: