Kamis, 11 Desember 2008

Penanganan Krisis Perlu Lebih Fokus


Efektifkan Dialog untuk Cegah Insentif Salah Alamat


Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai perlu lebih fokus pada pengamanan pasar domestik, pemangkasan praktik biaya tinggi, serta pemecahan masalah yang didasarkan pada kondisi spesifik per komoditas. Dialog yang lebih intensif dengan pelaku usaha diperlukan untuk menyusun kebijakan hingga tataran operasional.

Pandangan tersebut disampaikan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi, Rabu (10/12) di Jakarta.

”Kami sekarang menunggu apakah pemerintah konsekuen dengan pengamanan pasar domestik yang selama ini dikuasai selundupan. Untuk garmen, alas kaki, elektronik, mainan anak, makanan, dan minuman akan ada pengaturan impor mulai 15 Desember, kami akan lihat kenyataan implementasinya,” ujarnya.

Sofjan menyayangkan, beberapa strategi penanganan krisis yang ditawarkan pemerintah bukan terobosan baru. Penurunan Pajak Penghasilan (PPh), misalnya, sudah diatur amandemen UU PPh dan lebih dulu dilakukan negara-negara tetangga, bahkan sebelum ada ancaman krisis.

”Lebih baik fokus pada permasalahan spesifik per komoditas. Misalnya, bagaimana menahan anjloknya harga minyak sawit mentah dengan menaikkan kapasitas produksi minyak goreng. Minyak goreng bisa distok Bulog kalau pemerintah kasih kredit. Pada jagung, perlu penanganan lain lagi,” tutur Sofjan.

Sofjan juga mengingatkan, dialog antara pelaku usaha dan pemerintah perlu ditingkatkan agar insentif fiskal ataupun nonfiskal yang diberikan tepat sasaran.

Perpu krisis

Sementara itu, dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR dengan Menteri Keuangan sekaligus Pelaksana Jabatan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati, seluruh fraksi sepakat bahwa Peraturan Pemerintah (Perpu) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU Bank Indonesia (BI) dan Perpu No 3/2008 tentang Perubahan UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) relatif mudah disetujui menjadi UU.

Namun, tujuh fraksi meminta penjelasan lebih detail sebelum menyetujui Perpu No 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) menjadi UU. Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrat menyetujui Perpu JPSK menjadi UU. Namun, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa secara tegas menolak perubahan Perpu JPSK menjadi UU.

"Penanganan krisis sektor keuangan bisa diatasi dengan UU BI dan LPS sehingga tidak perlu ada UU lain lagi. Apalagi pemerintah akan membentuk KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan), ini malah seperti Dewan Moneter dulu, yang bisa melimitasi peran BI, dan pemerintah jadi lebih dominan,” ujar juru bicara F-PKB, Lalu Misbah Hidayat.

Mencermati perbedaan pendapat itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR yang memimpin rapat kerja, Olly Dondokambe, menyebutkan, Komisi XI akan menetapkan keputusan sebelum masa sidang DPR 2008 berakhir pada 19 Desember 2008. Keputusannya adalah DPR menolak atau menerima ketiga perpu itu.

Sri Mulyani mengingatkan, pembahasan ketiga perpu itu merupakan bagian dari upaya Indonesia mempersiapkan diri dari memburuknya krisis keuangan pada 2009 dan tahun-tahun berikutnya. ”Minggu pertama Desember 2008 ini memang ada perbaikan situasi pasar keuangan global. Namun, itu tidak menjamin kondisi tersebut berlangsung terus,” ujarnya. (DAY/OIN)

Tidak ada komentar: