Kamis, 18 Desember 2008

Berakhirnya Rezim Kontrak Karya


Harapan akan adanya perbaikan tata kelola kekayaan tambang kini muncul. Dewan Perwakilan Rakyat telah mengesahkan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Selasa lalu. Dengan undang-undang baru ini, pemerintah berpeluang menegosiasikan ulang semua kontrak karya pertambangan yang dianggap merugikan negara.

Perlunya evaluasi total atas rezim kontrak karya yang dipayungi Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 ini sesungguhnya sudah lama disuarakan. Sepuluh tahun yang lalu Profesor Jeffrey Winters dari Northwestern University, Amerika Serikat, bahkan menuding kontrak karya yang diteken perusahaan tambang raksasa Freeport McMoran dan pemerintah Indonesia berbau kolusi, korupsi, dan nepotisme.

Salah satu keganjilan yang disorot Winters adalah perpanjangan masa kontrak tambang buat Freeport di Papua selama 30 tahun. Kontrak baru ini diberikan jauh sebelum masa kontrak pertama berakhir pada 2003. Freeport rupanya berkepentingan untuk segera mengamankan posisinya karena berhasil menemukan Grasberg, lahan baru tambang emas dan tembaga bernilai US$ 60 miliar, setelah sejak 1973 hanya mengandalkan Ertsberg. Pesan Winters saat itu: perlu negosiasi ulang kontrak karya Freeport.

Anjuran serupa dikemukakan oleh Profesor Joseph E. Stiglitz ketika bertandang ke Indonesia tahun lalu. Menurut pemenang Nobel Ekonomi 2001 ini, globalisasi pada prakteknya tak berlaku adil bagi negara-negara berkembang. Kekayaan sumber daya alam yang dikeruk dan diisap lebih banyak dinikmati negara-negara maju. Itu sebabnya, bekas Kepala Ekonom Bank Dunia ini mendorong Indonesia menegosiasikan ulang kontrak-kontrak pertambangan yang merugikan negara. Pengalaman Bolivia mengajarkan, berkat renegosiasi, negeri miskin di Amerika Latin itu kini mencecap keuntungan lebih besar dari ladang-ladang minyak dan gasnya.

Dalam konteks itu, lahirnya undang-undang tambang yang baru perlu disambut, kendati tidak serta-merta menghapus kontrak-kontrak lama. Kelemahan inilah yang membuat tiga fraksi--Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera--menolak menyetujuinya. Tapi ada sejumlah kemajuan berarti dalam aturan baru yang digodok sejak tiga setengah tahun lalu ini.

Salah satunya, sistem perizinan yang menggantikan sistem kontrak karya memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah untuk melakukan intervensi jika terjadi pelanggaran. Izin penambangan diperpendek dari 30 menjadi 20 tahun. Pemberian kuasa pertambangan tidak lagi dengan penunjukan langsung, melainkan lewat tender terbuka. Luas wilayah pertambangan juga dibatasi maksimal 25 ribu hektare.

Untuk mengakomodasi kepentingan revisi atas kontrak-kontrak lama, pasal 169 undang-undang baru ini bisa dijadikan pintu masuk. Di situ disebutkan, ketentuan dalam kontrak karya disesuaikan paling lambat setahun sejak undang-undang baru disahkan.

Persoalannya kini terpulang pada political will dan keseriusan pemerintah untuk melakukannya. Pemerintah tidak perlu ragu menggelar negosiasi ulang. Rakyat niscaya bakal mendukung, seperti ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan renegosiasi kontrak penjualan gas alam cair Tangguh ke Cina, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah.

Tidak ada komentar: