Minggu, 14 Desember 2008

Ubah Struktur Ekonomi


Setiap akhir tahun, majalah bisnis terkemuka Forbes Asia selalu merilis daftar 40 orang kaya di Indonesia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, nama-nama yang mengisi daftar Forbes nyaris tidak ada yang berbeda. Hanya urutannya yang tak sama.

Ada yang terlempar beberapa tingkat, ada pula yang naik pangkat. Tapi, yang jelas, tak ada muka baru yang berhasil menyodok masuk daftar secara luar biasa.

Dalam laporan itu, Aburizal Bakrie tercatat tidak lagi menjadi orang paling kaya. Menko Kesra Kabinet Indonesia Bersatu tersebut terlempar dari peringkat pertama ke posisi kesembilan lantaran hartanya menguap hampir 90 persen akibat turbulensi pasar finansial.

Saat ini, kekayaan Bakrie tinggal USD 850 juta (Rp 9,35 triliun). Tahun lalu, Bakrie yang menjadi orang pribumi pertama paling kaya di tanah air itu masih punya harta USD 5,4 miliar (Rp 59,4 triliun).

Tahun ini, Sukanto Tanoto yang pernah bertengger di puncak pada 2006 mendapatkan kembali titelnya. Kekayaan bersih bos Raja Garuda Mas (RGM) itu mencapai USD 2 miliar (Rp 22 triliun). Meski jadi orang terkaya, harta taipan kertas dan sawit itu sebenarnya anjlok 57 persen dibanding tahun lalu yang masih USD 4,7 miliar (Rp 51,7 triliun).

Forbes juga mencatat penurunan harta bersih 40 orang terkaya di tanah air. Penurunannya tidak main-main, sekitar 50 persen. Yakni, dari USD 40 miliar (Rp 440 triliun) menjadi USD 21 miliar (Rp 231 triliun). Itu akibat terjunnya harga saham, merosotnya harga komoditas, serta pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Memang, penurunan harta para konglomerat tersebut tak berpengaruh bagi masyarakat banyak. Sebab, tak ada pergeseran kekayaan dari si kaya ke si miskin. Yang terjadi hanya penurunan value dari aset milik para taipan. Jika beberapa tahun mendatang kondisi perekonomian membaik, harta mereka dipastikan kembali melonjak.

Tapi, jika dikaji lebih jauh, dampaknya sebenarnya baru terasa tahun depan. Sebab, perusahaan-perusahaan milik konglomerat itu dipastikan tidak melakukan ekspansi secara agresif. Jika tidak ada ekspansi, berarti tak ada penambahan kapasitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja baru.

Dari sini, pemerintah semestinya mengambil pelajaran berharga. Berkaca pada krisis finansial satu dekade silam, saat ini semakin perlu memberdayakan usaha kecil dan menengah yang banyak tersebar seantero Nusantara.

Selama ini, usaha besar yang jumlahnya tak sampai 10 persen malah menguasai 60 persen produk domestik bruto (PDB). Sedangkan usaha kecil menengah yang jumlahnya sekitar 90 persen hanya menguasai 40 persen PDB.

Struktur ekonomi seperti ini sangat riskan terhadap gejolak ekonomi global. Begitu ada badai krisis menghantam sekelompok pengusaha besar, ambruklah bangunan perekonomian nasional. Karena itu, semua pihak perlu mendukung terciptanya aktor-aktor bisnis baru yang punya peran signifikan dalam menopang roda perekonomian.

Dengan begitu, perekonomian nasional bakal disokong pelaku usaha yang beragam. Usaha kecil, menengah, hingga besar bakal bekerja simultan menghadapi badai ekonomi global yang setiap saat datang menggoyang. Dengan begitu, kapan pun ada ancaman krisis dari luar, perekonomian kita tetap tak tergoyah.

Tidak ada komentar: