Kamis, 18 Desember 2008

Konsumsi, Resesi, dan Kemiskinan


ALI KHOMSAN

Setiap ada pembagian makanan, selalu terjadi rebutan. Ini mengindikasikan bangsa ini masih miskin secara ekonomi, serta miskin etika ketertiban, antre, dan disiplin.

Mengapa rakyat kita rela antre berjam-jam dan berebutan kupon, misalnya daging kurban? Karena mereka jarang makan daging. Rendahnya konsumsi daging tecermin dari data yang menunjukkan, pada tahun 2005 rata-rata konsumsi daging hanya 7,1 kg/kapita/tahun, lebih kecil dibanding Malaysia (48 kg), Thailand (25 kg), atau Filipina (18 kg).

Pada tahun yang sama bangsa Indonesia hanya minum susu 6,8 liter/kapita/tahun, sedangkan Malaysia 25 liter, Thailand 24.9 liter, dan Filipina 11.3 liter. Dengan peningkatan konsumsi susu yang amat lambat, diprediksi kita baru bisa mengejar Malaysia setelah 120 tahun. Bahkan, jika kita ingin menyamai AS yang konsumsi susunya 100 liter, diperlukan waktu enam abad. Untuk konsumsi telur, kita juga masih tertinggal, yakni Indonesia 50 butir/kapita/tahun, Malaysia 246 butir, dan Thailand 130 butir.

Terjemahan gambaran itu, hanya satu hari dalam seminggu rata-rata rakyat Indonesia bisa makan empat sehat lima sempurna. Enam hari sisanya, mereka menjadi vegetarian karena kemiskinan. Tak mengherankan jika 25 persen anak balita Indonesia tergolong stunted (pendek). Juga anak-anak usia sekolah banyak yang tak bisa mencapai tinggi badan optimal.

Kualitas konsumsi

Di tengah polemik swasembada pangan, kita disentak kenyataan, kualitas konsumsi bangsa kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga. Dari konsumsi pangan, potret kemiskinan kita mungkin membuat para pemimpin tidak bisa tidur nyenyak. Meski data BPS menunjukkan terjadi pengurangan rakyat miskin, tetapi kenyataan menunjukkan banyak masyarakat masih hidup susah dan makan seadanya.

Kemiskinan bangsa Indonesia mungkin akan kian parah saat tsunami resesi dunia menghampiri kita tahun 2009. Rendahnya permintaan produk ekspor dan PHK di mana-mana akan memunculkan gelombang besar pengangguran. Dampaknya, angka kemiskinan bakal meningkat. Menteri Keuangan kini masih bingung, siapa yang akan ditolong lebih dulu? Masyarakat yang kehilangan pekerjaan atau pengusaha yang mulai pingsan.

Dunia yang kurang adil telah menyebabkan kemiskinan kian sulit teratasi. Kemiskinan menjadi masalah dunia, bukan hanya bangsa Indonesia. Dari enam miliar penduduk bumi, 2,8 miliar di antaranya hanya berpenghasilan kurang dari 2 dollar AS/hari. Sekitar 1,2 miliar penduduk hidup dengan pendapatan kurang dari 1 dollar AS/hari.

Jika di negara kaya hanya satu dari 100 anak balita yang tidak dapat melangsungkan hidupnya, di negara miskin 20 anak dari 100 anak balita mati sebelum menginjak usia lima tahun. Lima puluh persen anak balita di negara miskin mengalami kurang gizi.

Kesejahteraan global dan perkembangan teknologi yang diraih manusia melaju seabad terakhir ini. Namun, pertumbuhan mencengangkan ini tidak terdistribusi secara adil. Rata-rata penghasilan masyarakat di 20 negara terkaya adalah 37 kali lipat dibandingkan 20 negara termiskin.

Evolusi program pengurangan kemiskinan telah terjadi sejak 50 tahun lalu. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, investasi berupa pembangunan sarana fisik dan infrastruktur dianggap sebagai strategi jitu untuk melawan kemiskinan. Sekitar tahun 1970-an, baru disadari, investasi seperti itu tidak cukup. Maka, mulai diterapkan kebijakan yang berorientasi pada perbaikan pendidikan dan kesehatan.

Dua strategi

World Development Report 1990 mengusulkan dua strategi mengatasi kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pertumbuhan lapangan kerja melalui keterbukaan ekonomi dan terus menekankan pentingnya perhatian terhadap pendidikan dan kesehatan.

Indonesia perlu mengacu pada tren pengurangan kemiskinan yang mengedepankan tiga hal: promoting opportunity, facilitating empowerment, dan enhancing security. Maksud promoting opportunity adalah memberi kesempatan kepada orang miskin untuk mengakses pekerjaan, sarana transportasi, listrik, pasar, sekolah, air bersih, sanitasi, dan kesehatan.

Arah Indonesia sudah benar saat meluncurkan askeskin sehingga orang miskin dapat gratis mengakses layanan kesehatan. Begitu juga dengan program pendidikan dasar gratis (meski belum menyeluruh). Berbagai kebijakan yang sudah pro rakyat miskin perlu dikawal dengan pengawasan. Jika tidak, implementasi di lapangan akan rawan penyelewengan. Bukankah negara kita termasuk paling korup?

Facilitating empowerment adalah bagaimana mewujudkan harmoni antara proses politik, ekonomi, dan sejumlah kelembagaan yang ada sehingga menjadi responsif terhadap pemenuhan kebutuhan rakyat miskin. Aneka kendala akibat perbedaan jender, etnis, dan status sosial harus disingkirkan. Semua warga negara berhak mendapat layanan sama. Memberdayakan perempuan secara langsung atau tidak akan membuka kesempatan ekonomi bagi orang miskin. Perempuan adalah pilar ekonomi kedua rumah tangga. Ketahanan pangan keluarga akan menjadi lebih baik bila perempuan ikut mencari nafkah. Penghasilan perempuan dalam rumah tangga miskin cenderung dialokasikan untuk kesejahteraan anak-anaknya.

Enhancing security adalah mengurangi tingkat kerawanan akibat ketidakstabilan ekonomi, bencana alam, kesakitan, dan aneka tindak kekerasan. Ini menjadi pendorong terwujudnya SDM berkualitas.

Dibutuhkan aksi nyata pemerintah untuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak berat bagi orang miskin. Tanpa strategi ekonomi memadai, orang miskin akan kian menderita akibat gejolak pasar dunia. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB

Tidak ada komentar: