Kamis, 11 Desember 2008

Dilema Stimulus Kebijakan


Krisis ekonomi global membuat posisi pemerintah yang sebelumnya lebih banyak dianggap sebagai bagian dari masalah (part of the problem) yang dihadapi perekonomian (terutama sektor riil) mendadak ditempatkan sebagai sumber solusi bagi semua persoalan (part of solution) yang dihadapi oleh perekonomian.

Deretan pelaku usaha—baik itu industri manufaktur, jasa, keuangan, perbankan, pertambangan, perkebunan, pertanian, maupun lainnya—yang antre untuk mendapatkan stimulus atau minta diselamatkan dari dampak krisis global, setiap hari terus bertambah, dengan kian meluas dan mendalamnya dampak krisis global ke perekonomian domestik.

Pada saat yang sama, pemerintah juga dituntut memerhatikan masyarakat yang daya belinya terus tertekan akibat inflasi atau kehilangan pekerjaan karena pemutusan hubungan kerja.

Sementara dana pemerintah sendiri sangat terbatas. Pemerintah tak punya kemewahan, seperti AS yang anggarannya memungkinkan negara itu menyuntik dana triliunan dollar ke sektor keuangan, manufaktur, atau konsumennya; atau seperti China yang mampu mengucurkan 568 miliar dollar AS untuk menstimuli ekonominya agar tetap tumbuh di atas 8 persen.

Akibat krisis global, pemerintah dipaksa menanggalkan kebijakan fiskal yang sebelumnya lebih mengarah pada sustainabilitas fiskal ke kebijakan fiskal yang lebih memberi stimulus pada perekonomian, dengan konsekuensi defisit dan utang membengkak.

Sejauh ini pemerintah sudah menganggarkan Rp 12,5 triliun untuk program stimulus fiskal dalam bentuk keringanan pajak dan bea masuk atau bea keluar bagi sektor riil (Kompas, 5/12). Namun, seperti diakui Menkeu Sri Mulyani Indrawati, pemerintah sendiri masih belum memutuskan apakah akan fokus pada kebijakan membantu meningkatkan daya beli buruh yang terkena PHK atau menolong pengusaha.

Para panelis pada Diskusi Panel Akhir Tahun Kompas umumnya sependapat, stimulasi fiskal harus difokuskan pada kegiatan- kegiatan ekonomi yang menghasilkan efek pengganda besar.

Belajar dari pengalaman AS dengan stimulus pengurangan pajak untuk mendongkrak konsumsi domestiknya yang kurang berhasil, program seperti padat karya pembangunan infrastruktur pedesaan dinilai akan jauh lebih efektif dibandingkan stimulus pengurangan pajak karena selain memacu sektor swasta juga menciptakan lapangan kerja.

Sementara untuk sektor riil, paket stimulus disarankan difokuskan pada sektor-sektor tradables, terutama manufaktur berorientasi ekspor yang menyerap banyak tenaga kerja dan menghadapi kompetisi berat baik di pasar ekspor maupun pasar domestik dari China dan negara lain. Sektor lain yang juga terpukul adalah sektor pertambangan, sementara yang relatif terlindung adalah sektor jasa (nontradeable) yang bertumpu pada pasar domestik dan pertanian yang berbasis sektor primer.

Sustainabilitas fiskal

Sejumlah panelis dalam diskusi panel juga mendesak dilakukannya ekspansi fiskal dengan memperbesar defisit APBN untuk menggerakkan ekonomi. Pertimbangannya, stimulus yang diberikan secara ”secuil-secuil” dan tak signifikan tak akan berdampak di lapangan dan terkesan hanya menggarami air laut. Namun, panelis dari pemerintah menekankan pentingnya stimulus tetap memerhatikan kesinambungan fiskal, di samping efek pengganda yang dihasilkan.

Kendati rasio utang pemerintah terhadap PDB sudah turun dari di atas 100 persen pada pascakrisis 1997 menjadi 33 persen tahun 2008, beban cicilan dan bunga utang pemerintah cukup berat, mencapai Rp 169,9 triliun pada RAPBN 2009. Hal ini membatasi manuver pemerintah dalam ekspansi fiskal.

Menurut dia, stimulus ekonomi tetap dimungkinkan kendati kebijakan fiskal tak ekspansif, yaitu dengan mengurangi ekonomi biaya tinggi dan menggenjot belanja pemerintah sedini mungkin di awal tahun. ”Kalau bisa sejak awal triwulan I karena saat itu ekspor diperkirakan akan mengalami drop luar biasa, dengan dampak ke pemutusan hubungan kerja masif. Saat itu stimulus fiskal diharapkan sudah berfungsi.”

Persoalannya adalah pada efektivitas dari belanja (spending) pemerintah. Para panelis menyebut lemahnya birokrasi dan efektivitas belanja negara sebagai kendala yang membuat pelaksanaan stimulus fiskal terancam tidak mencapai sasaran, terutama dengan masa kerja kabinet yang tinggal tersisa tak sampai setahun dan menghadapi tahun pemilu.

Tidak efektifnya belanja negara ini antara lain dicerminkan pada rendahnya penyerapan anggaran, penumpukan kegiatan penyerapan anggaran di akhir tahun, dan buruknya kualitas pembangunan. Selain itu, juga kurang selarasnya sasaran nasional dengan sasaran pembangunan daerah yang dibiayai dengan dana perimbangan, yang besarnya sama dengan belanja pemerintah pusat di luar pembayaran bunga utang dan subsidi.

Lambatnya penyerapan anggaran belanja ini salah satu penyebab ketatnya likuiditas rupiah perbankan akhir-akhir ini karena dana pemerintah menumpuk di BI; selain faktor lain, seperti intervensi BI di pasar valas untuk mendongkrak rupiah dan tingginya pertumbuhan kredit (35 persen, year-on-year) yang tak dibarengi pertumbuhan dana masyarakat yang justru turun.

”Dengan efektivitas belanja negara yang rendah, kebijakan fiskal yang ekspansif dan bersifat mendadak seperti ini tidak akan mengarah pada pembiayaan pembangunan yang produktif yang meningkatkan kemampuan ekonomi untuk membayar utang, tetapi hanya kegiatan yang bersifat konsumtif yang justru menambah beban bunga yang besar, baik bagi pinjaman dalam negeri maupun luar negeri,” ujarnya.(sri hartati samhadi)

Tidak ada komentar: