Selasa, 07 April 2009

"Tax Haven", Tempat Penggelap Pajak Berlindung


Lebih dari 400.000 perusahaan dunia memiliki alamat di sebuah pulau kecil di British Virgin Islands. Namun, jangan membayangkan alamat itu berwujud kantor-kantor mewah. Wujud ”perusahaan” di sana hanya berupa setumpuk dokumen yang berjejalan di gedung kumuh berlantai dua. Perusahaan yang hanya tercantum di atas secarik dokumen ini disebut sebagai perusahaan kertas (paper company).

Sebagian besar perusahaan di pusat finansial di Karibia itu tidak memiliki pegawai. Semua melaksanakan bisnisnya nun jauh dari Lautan Karibia, sebagian besar juga berniat menghindari pajak di tanah air asalnya.

British Virgin Islands (BVI) menerima keberadaan paper company dengan tangan terbuka. Tentu saja karena para pebisnis asing itu menyumbangkan lebih dari setengah pendapatan Pemerintah BVI. Kedatangan para pebisnis asing itu juga menjadikan BVI sebagai salah satu tempat yang paling makmur di kawasan.

Diperkirakan ada aset sekitar 7,3 triliun dollar AS disembunyikan di beberapa pusat finansial di dunia, selain di BVI, oleh perusahaan dan orang kaya. Mereka melakukan itu untuk melindungi operasional mereka. Salah satu tujuan utama adalah mengurangi beban pajak yang seharusnya mereka bayar.

Walau markas nyata dan bisnis utama mereka ada di AS, misalnya, bisnis mereka tercatat bermarkas di tax haven. Ini bertujuan menghindari pajak penghasilan yang bisa mencapai 50 persen di negara maju.

Perusahaan yang beralamat di wilayah tax haven biasanya menjadi alat saja untuk menghindari pajak di negara asalnya. Selain itu, di wilayah tax haven juga dapat dilakukan pengelabuan nilai aset, pencucian uang hasil kejahatan, serta pengalihan aset. Sekarang, tempat-tempat seperti itu mendapat sorotan dan kecaman yang belum pernah mereka alami sebelumnya.

Definisi

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengidentifikasikan tiga faktor yang membuat sebuah wilayah hukum dapat dikelompokkan menjadi tax haven.

Pertama, pajak yang sangat rendah, bahkan tidak ada pajak, dan menyediakan diri sebagai tempat pelarian bagi warga asing yang menghindari pajak.

Kedua, ada perlindungan ketat terhadap informasi mengenai nasabah. Dengan perlindungan ini, perusahaan atau individu memiliki keuntungan dengan menyembunyikan data sebenarnya dari otoritas pajak di negara asalnya dan hal itu sah menurut perundang-undangan di tax haven.

Faktor ketiga adalah tidak adanya transparansi dalam operasi tax haven ini.

Ada beberapa alasan mengapa sebuah negara atau wilayah ingin menjadi tax haven. Beberapa negara menyatakan mereka tidak perlu membebankan pajak terlalu tinggi seperti yang dilakukan negara maju untuk memenuhi target penerimaan negara.

Beberapa tax haven menawarkan pajak rendah sebagai penarik bagi konglomerat negara lain untuk datang dan melakukan alih teknologi.

Banyak negara maju menyatakan tax haven bertindak tidak adil dengan mengurangi pajak yang seharusnya menjadi hak mereka. Beberapa kelompok juga menyatakan bahwa para pencuci uang menggunakan tax haven secara masif.

Para pemimpin G-20 yang pekan lalu bertemu di London memperingatkan negara yang menolak berbagi informasi pajak akan mendapatkan sanksi berat. Sasaran G-20 adalah tax haven, yang melindungi korporasi penghindar pajak. Karena didera krisis finansial yang cukup hebat, negara-negara maju menginginkan agar pajak yang seharusnya menjadi hak mereka tetap jadi hak mereka.

Beberapa angka fantastis terlibat dalam permainan global, terkait tax haven. Antara 30-40 persen dari aktivitas perdagangan global, yang tidak tercatat

pada rekening bank, atau perusahaan transaksi perdagangan, tetapi di tax haven, setidaknya demikian laporan Jaringan Keadilan Pajak yang bermarkas di London.

Hilang setiap tahun

”Di AS saja, 100 miliar dollar AS pendapatan pajak hilang setiap tahun karena penggelapan pajak,” kata Senator Carl Levin yang telah mensponsori dua rancangan undang-undang yang menghancurkan tax haven.

Boston Consulting Group (BCG) memperkirakan ada aliran dana sebesar 7,3 triliun dollar AS ke pusat finansial di luar AS.

Di BVI, perusahaan terdaftar di Komisi Jasa Finansial (FSC) setempat yang berlokasi berseberangan dengan toko pemasok alat tulis kantor. Sebuah plakat di depannya bertuliskan ”Waspada, Integritas dan Terpercaya”.

Pemerintah menyatakan FSC terlibat tindakan pencucian uang, tetapi tidak memiliki kemampuan melakukan investigasi. Laporan keuangan tidak diharuskan disimpan. Dokumen perusahaan tidak melampirkan identitas pemegang saham maupun susunan dewan direksi.

Keadaan yang sangat ”permisif” itu membuat BVI sebagai salah satu tempat pendaftaran perusahaan terbesar di dunia. Demikian pula Delaware di AS, sebagian besar perusahaan menganggapnya tempat yang sangat penting untuk berbisnis.

Menurut OECD, bersama beberapa wilayah lainnya, BVI tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain. Karena itu, BVI dimasukkan ke dalam daftar abu-abu tax haven.

Upaya keluar

Empat wilayah yurisdiksi lainnya masuk daftar hitam OECD, yakni Filipina, Uruguay, Kosta Rika, dan Labuan di Malaysia.

Salah satu cara untuk keluar dari daftar itu adalah menandatangani setidaknya 12 kesepakatan mengenai kewajiban pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain.

Beberapa negara atau teritorial tax taven bergegas setelah munculnya ancaman OECD. Maklum, di BVI, misalnya, sebanyak 24.000 orang khawatir kehidupan ekonomi mereka akan berakhir. Pendapatan dari pendaftaran perusahaan asing sudah dapat digunakan untuk membangun universitas dan sebuah rumah sakit di situ.

Perdana Menteri BVI Ralph T O’Neal, mantan guru sekolah berusia 75 tahun yang memimpin kepulauan itu, menyatakan, serangan terhadap tax haven merupakan serangan kolonialisme dari negara maju yang mendiktekan standar untuk operasi finansial, khususnya ketika mereka tidak taat terhadap aturan mereka sendiri.

Beberapa wilayah yang termasuk daftar hitam OECD akan kehilangan dukungan dari Bank Dunia dan IMF. Banyak kepulauan di Karibia yang masuk dalam daftar abu-abu, termasuk Monako, Liechtenstein, Panama, Bermuda dan beberapa kepulauan di Pasifik. Tempat-tempat itu akan diawasi dan dapat memperoleh sanksi jika tidak dapat memenuhi aturan perpajakan.

Wakil Menteri Keuangan Malaysia Kong Cho Ha dan pejabat Kosta Rika akan meminta klarifikasi dari OECD.

Menteri Keuangan Uruguay Alvaro Garcia cepat-cepat mengirim surat yang intinya menyatakan Uruguay bukanlah tax haven. (AFP/OECD/JOE)

Tidak ada komentar: