Sabtu, 04 April 2009

G-20 Buka Era Baru

London, Kompas - Pertemuan G-20, kumpulan negara maju dan berkembang, di London, Inggris, Kamis (2/4), menghasilkan beberapa langkah nyata yang dianggap sebagai pertanda lahirnya sebuah era baru dalam perekonomian global. Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutnya sebagai kompromi historis. Nur Hidayati

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown sebagai tuan rumah bahkan mengatakan, ”Konsensus Washington lama berakhir sudah.”

Konsensus Washington pertama kali disebutkan oleh ekonom Amerika Serikat, John Williamson, pada tahun 1989. Konsensus ini merujuk pada konsep reformasi dan liberalisasi ekonomi yang diinginkan Washington (Gedung Putih), yang dipaksakan lewat Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, terutama saat kedua lembaga ini memberikan bantuan dana kepada negara yang terpukul krisis ekonomi.

Konsensus Washington kemudian dianggap sebagai instrumen neoliberalisme atau neokapitalisme. Konsensus ini memaksa semua negara yang belum siap untuk membuka diri terhadap persaingan internasional.

Brown menambahkan, sejumlah kesepakatan G-20 memang tidak akan mengatasi krisis global secara instan, tetapi telah ada langkah untuk pemulihan. ”Sebuah tatanan dunia baru sudah tiba. Dengan tatanan baru tersebut, kita memasuki era baru kerja sama internasional,” ujar Brown.

Kantor berita Reuters bahkan menuliskan, ”G-20 menandai berakhirnya kejayaan kapitalisme Anglo-Sakson.” Ini merujuk pada liberalisasi lepas yang didukung Inggris, Amerika sebagai pionir. Kapitalisme Anglo-Sakson mencuat ketika AS dipimpin almarhum Ronald Reagan dan Inggris dipimpin PM Margaret Thatcher pada dekade 1980-an.

Histeria

Ungkapan-ungkapan tentang era baru bermunculan, mulai dari para analis, ekonom, hingga politisi. Ini didasarkan pada kesepakatan G-20 untuk memulai perundingan liberalisasi perdagangan dengan akses pasar lebih besar bagi negara berkembang.

G-20 juga sepakat memperketat peraturan sektor keuangan, hal yang selama ini ditentang Konsensus Washington. G-20 juga menyepakati alokasi dana lebih dari 1 triliun dollar AS untuk IMF. Kepala Riset Recapital Securities Poltak Hotradero mengatakan, ”Keputusan G-20 tentang penambahan dana IMF akan berguna bagi negara berkembang yang memerlukan bantuan pada saat krisis ini.”

G-20 juga berikrar untuk mengakhiri tax haven, pembatasan bonus bagi eksekutif perusahaan, dan kesepakatan soal langkah-langkah baru untuk membantu negara berkembang.

Kesepakatan itu mencuatkan istilah era baru yang mendekati histeria. Steven Schrage, ekonom dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Washington, turut berkomentar. ”Ada kemajuan signifikan... G-8 terkenal dengan pernyataan-pernyataan yang bombastis tetapi tak bergigi,” katanya seraya menambahkan bahwa G-20 kali ini memang berbeda.

Persuasi Obama

Eswar Prasad, ekonom dari Brookings Institution, Washington, mengatakan, selain kesepakatan, G-20 tampak kompak. Negara yang terlibat dan berperan bukan saja negara maju, tetapi juga China dan lainnya. ”Ini jelas sebuah testamen bagi kekuatan persuasi pemerintahan Presiden Barack Obama,” kata Prasad.

Presiden Obama sendiri mengatakan, ”Kami mengakhiri pertemuan yang sangat produktif dan akan menjadi titik balik dari ekonomi global. Dilihat dari ukuran apa pun, pertemuan London ini bersejarah karena besarannya dan cakupan tantangan yang kita hadapi serta bagaimana kita telah merespons tantangan tersebut.” Ia menambahkan kalimat, ”Ini ada adalah sebuah era baru, soal tanggung jawab.”

Negara Asia anggota G-20, yang semakin mendominasi perekonomian global, juga memiliki peran lebih banyak menyelamatkan dan membentuk kembali sistem perekonomian global.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di pertemuan G-20, juga menyerukan pentingnya kebersamaan negara-negara di dunia. Presiden menyampaikan aspirasi negara berkembang bahwa negara berkembang bukan meminta belas kasihan dari negara maju. Masalahnya, kata Presiden, negara berkembang bisa melakukan hal yang sepatutnya dilakukan. Presiden meminta tanggung jawab negara maju menciptakan sistem keuangan yang kondusif bagi stabilitas ekonomi global dalam jangka panjang.

Tidak semua pihak senang akan keputusan G-20. ”Presiden Obama hanya memainkan peran diplomatiknya,” demikian komentar The New York Times. Harian ini marah karena G-20 tidak mendalami stimulus ekonomi, usulan utama AS, tetapi ditentang Eropa. Harian AS lainnya, LA Times, menyebutkan, pertemuan G-20 hanya mengumbar janji.

Meski demikian, sambutan besar bermunculan. Presiden China Hu Jintao berjanji akan bekerja sama mengatasi krisis global. China memiliki cadangan devisa 1,9 triliun dollar AS dan diimbau untuk terus membeli surat utang Pemerintah AS.

Sebagai imbalan, Presiden Obama, yang duduk satu meja dengan Hu dan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, menjanjikan China mendapatkan suara lebih besar di IMF. Ini bertujuan untuk memecah dominasi kekuatan AS di IMF dan Bank Dunia.

Simon Johnson, profesor dari Sloan School of Management MIT, mengatakan, jika selama ini pemimpin Bank Dunia dan IMF selalu berasal dari AS dan IMF, berikutnya bisa saja dari China.

Johnson mengatakan, hal ini akan bermanfaat untuk meningkatkan legitimasi IMF dan Bank Dunia. Efek positif selanjutnya, kedua lembaga ini akan memberikan bantuan tanpa persyaratan keras dan keliru, seperti sebelumnya, yang justru menjerumuskan banyak negara yang ditolong. Ini sekaligus menandai suara Asia yang makin didengar di dunia. (AP/AFP/Reuters/mon/joe)

Tidak ada komentar: