Jumat, 03 April 2009

Setitik Cahaya di Lorong Gelap

Rembesan gelombang krisis global sudah mengalir ke mana-mana. Sejak kuartal IV-2008, imbasnya sudah melimpas ke Indonesia. Harga sebagian besar komoditas ekspor anjlok. Pertumbuhan ekonomi pun terus melemah. Di sektor riil, dampak krisis global bahkan bersifat menyeluruh.

i tengah turbulensi ekonomi global kali ini, hanya sedikit subsektor yang mengalami penguatan. Sebutlah seperti bidang pertanian dan industri furnitur. Meski relatif kecil, kenaikan nilai ekspor komoditas pertanian selama periode Januari-Februari 2009 sebesar 2,42 persen dan industri furnitur selama lima tahun terakhir yang masih bertumbuh sekitar 7 persen per tahun bisa dianggap sebagai sebuah sinyal positif.

Seperti dikatakan seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4), selama manusia masih mandi dan menggunakan sabun, misalnya, maka produk hasil olahan minyak sawit mentah (CPO) yang berbasis industri pertanian tetap dibutuhkan oleh pasar dunia. Artinya, masih ada peluang, setitik cahaya di lorong gelap pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terus melemah akibat tekanan krisis global.

Kendati demikian, pelemahan sektor riil yang bersifat cukup merata juga adalah suatu kenyataan yang tak boleh disembunyikan lewat angka-angka statistik, apalagi hanya untuk kepentingan politik tertentu yang bersifat sesaat. Sebab, secara umum, pertumbuhan industri nonmigas, yang terus melemah sejak tahun 2005, mulai kuartal IV-2008 sesungguhnya sudah masuk ke wilayah negatif.

Beberapa indikator sektor riil memperlihatkan: konsumsi semen melemah sejak Mei (2008); konsumsi listrik mendatar juga sejak Mei; indeks produksi turun sejak Oktober; dan penjualan mobil anjlok sejak November.

Indikator lain terlihat dari harga sejumlah komoditas ekspor, seperti minyak sawit, karet, minyak mentah, tembaga, dan nikel yang telah anjlok hingga 40 persen dibandingkan harga pada Januari 2008. Adapun LNG dan batubara turun 13 persen.

”Padahal, tujuh komoditas tadi mengambil 44 persen porsi dari total ekspor Indonesia,” kata seorang panelis lain.

Guna membantu penguatan ekspor, ternyata depresiasi rupiah pun tidak banyak membantu. Indeks nilai tukar rupiah yang telah melemah sekitar 6 persen dibandingkan Januari 2008 terbukti tidak mampu menolong penguatan ekspor, antara lain lantaran mata uang lain di kawasan ini—kecuali yuan China—juga melemah antara 5-10 persen.

Tekanan krisis global memang telah menciptakan semacam rantai persoalan bagi perekonomian Indonesia. Dampaknya terhadap sektor riil pun sudah bisa dibaca, sebagaimana terlihat dari mulai melemahnya produksi dan ekspor kita. Dikhawatirkan harga sejumlah komoditas yang menopang perekonomian nasional tersebut akan ”terjun bebas’’ pada tahun ini.

Pertumbuhan ekspor nonmigas dan migas sudah anjlok dari 30 persen pada September 2008 menjadi minus 30 persen pada Januari 2009. Sementara kalau dilihat hanya ekspor migas, tingkat anjloknya jauh lebih hebat, yakni dari positif 60 persen pada Agustus 2008 menjadi minus 60 persen pada Januari 2009.

”Namun, ke depan, perbedaan dampak tersebut tidak seragam,” kata panelis.

Industri berorientasi ekspor akan lebih terpukul dibandingkan industri berorientasi domestik. Industri barang mewah dipastikan lebih terkena dampak krisis daripada industri barang kebutuhan pokok. Industri yang banyak bergantung pada kredit juga akan mengalami pelemahan.

Terlepas dari itu semua, diingatkan bahwa permasalahan yang dihadapi sektor riil tidak bersifat spesifik sektor riil itu sendiri. Isu utama yang membelit persoalan yang kini dihadapi lebih bersifat umum alias makro nasional, seperti stimulus fiskal, kebijakan nilai tukar, serta kebijakan menjaga sektor finansial dan bagaimana agar pasar tetap terbuka.

Dengan kata lain, masalah sesungguhnya yang dihadapi sektor riil dalam krisis global kali ini adalah masalah struktural jangka panjang. ”Dan ini tidak terlalu terkait dengan krisis,” ujarnya.

Pasar domestik

Pukulan yang mulai membuat oleng bangunan ekonomi Indonesia di tengah badai krisis global mau tidak mau harus disikapi dengan strategi ekstra, di luar pakem kebijakan umum. Semua pihak sudah seharusnya duduk bersama guna mencari jalan keluar secara bersama. Artinya, paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seyogianya menyertakan peran serta kalangan bisnis terkait.

Jika tidak, seperti munculnya kebijakan stimulus fiskal belum lama ini, tindakan pemerintah hanya memancing kritik karena dinilai tidak tepat sasaran. Alih-alih menjadi obat mujarab untuk menyembuhkan penyakit yang menghantui sektor riil akibat tekanan ekonomi global, pemerintah malah dituding tidak mengerti persoalan yang sesungguhnya.

Sebab, bagi pelaku dunia usaha—sebagaimana dikeluhkan salah satu panelis—kebijakan fiskal yang dikeluarkan pemerintah hanya ibarat refleksi kaki, padahal yang sakit justru jantung. Pemerintah dinilai terlalu sibuk membicarakan krisisnya, tetapi korban krisis (baca: dunia usaha) tidak pernah dibicarakan.

”Perlindungan terhadap dunia usaha sangat lemah. Tidak ada sesuatu yang riil yang dilakukan pemerintah untuk melindungi korban krisis,” katanya.

Beda dengan China yang begitu cepat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi dampak dari krisis global, melalui pembenahan infrastruktur dan melonggarkan bunga bank bagi kalangan dunia usaha. Sementara di kita, kata panelis itu, meski suku bunga acuan Bank Indonesia sudah diturunkan, tetapi tidak berpengaruh pada bunga bank.

Kecenderungan pemerintah jalan sendiri dalam upaya menangani meluasnya dampak krisis kian terlihat dari tidak pernah dipakainya masukan dari kalangan dunia usaha dalam merumuskan suatu kebijakan. Kalangan dunia usaha yang berada di lapangan diperlakukan oleh pemerintah, seperti pemain bola yang dibiarkan saja sendiri mencari peluang tanpa diberi umpan.

”Lebih parah lagi, pemerintah cuma teriak tanpa action,” ujarnya. Industri furnitur sebagai industri padat karya yang punya daya tahan cukup kuat, misalnya, juga seperti dibiarkan jalan sendiri. Padahal, secara umum pertumbuhan industri ini selama lima tahun terakhir tidak pernah turun. Rata-rata naik 7 persen per tahun.

Hingga Oktober 2008, ketika sejumlah komoditas ekspor lain anjlok, pertumbuhan industri furnitur masih di kisaran 6 persen. ”Hanya begitu masuk ke produk berbahan baku hasil kehutanan, seperti kayu, rotan, dan bambu, memang agak melorot,” tambahnya.

Menghadapi tekanan krisis ekonomi global kali ini, para panelis sepakat perlunya semua pihak bekerja sama. Upaya membuat pasar yang lebih fleksibel, seperti relokasi, substitusi input, konsumsi, maupun orientasi pasar mutlak dilakukan. Efisiensi jelas suatu keharusan. Pada saat bersamaan perlu dipikirkan untuk berpartisipasi dalam jaringan produksi internasional, di mana dalam model ini proses produksi dipecah-pecah sehingga masing- masing negara mengambil spesialisasi dalam komponen tertentu.

Mengingat pola krisis kali ini berbeda dibandingkan badai yang mengguncang perekonomian Indonesia pada tahun 1998, di mana industri dan atau produk-produk pertanian berorientasi ekspor yang akan lebih terpukul, maka penguatan pada pasar domestik mutlak diperlukan. Adapun untuk menguatkan daya saing ke luar, diversifikasi produk berbasis kekayaan alam serta produk-produk inovatif berbasis tradisi dan budaya bangsa sudah waktunya dijadikan andalan.

Bagi kalangan dunia usaha, badai krisis global saat ini diakui sangat memukul, tetapi bukan berarti tanpa peluang. ”Sepanjang sejarah peradaban, umat manusia tumbuh terus dan selalu bisa mencari jalan keluar!” (ken/aik/isw/tat)

Tidak ada komentar: