Jumat, 03 April 2009

Belajar dari Krisis Keuangan AS

Krisis finansial di Amerika Serikat memberikan pelajaran berharga bagi kita, di antaranya untuk tak mengulangi kesalahan yang mereka buat selama ini. Tetapi benarkah kita sudah belajar dengan baik?

ektor keuangan dan perbankan Indonesia yang semula disebut-sebut relatif imun karena tak memiliki eksposur sebesar negara-negara lain di Asia pada krisis subprime mortgage yang melanda AS, ternyata cukup babak belur.

Di Indonesia, akibat permainan derivatif dan penempatan investasi yang buruk, setidaknya 60 persen konglomerat mengalami wiped out (terhapus) networth-nya dalam sekejap. Demikian pula profit sebagian besar BUMN di sektor keuangan.

”BUMN tahun ini habis-habisan. Danareksa Sekuritas dan Mandiri Sekuritas menghadapi masalah serius karena problem derivatif dan poor investment. Danareksa, yang modalnya Rp 700 miliar, mengalami kerugian sekitar Rp 500 miliar. Mandiri sekuritas sama saja,” ujar salah seorang panelis pada Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas, Rabu (1/4).

Lembaga investasi besar lainnya, Bahana Sekuritas, selamat, semata karena saat itu ia tak memiliki likuiditas untuk ikut bermain-main di derivatif atau transaksi produk finansial shopisticated lainnya.

Adapun broker-broker swasta juga menghadapi krisis kepercayaan, terutama menyusul gagal bayarnya beberapa broker besar, seperti Danatama dan adanya kasus Sarijaya. Pada saat bersamaan, lembaga investasi global juga mengurangi aktivitasnya atau menarik diri dari Indonesia.

”Jadi, pasar modal sekarang ini pada bingung. Mereka bertanya, kalau mereka mau transaksi, sama siapa? Pemerintah bangkrut, swasta enggak bisa dipercaya dan asing keluar semua karena di pusatnya (negara maju) pun lembaga-lembaga investasi tiba-tiba mengurangi aktivitasnya secara signifikan secara global.

Lucunya, meskipun ada kejadian ini, ia tak melihat adanya sense of crisis di kalangan regulator pasar modal atau pasar uang. Salah satunya, tak adanya proteksi terhadap investor sehingga investor sangat dirugikan. ”Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan pasar modal di Indonesia,” ujarnya.

Krisis finansial di AS, menurut dia, telah mengekspos kelemahan dan kesalahan langkah yang dilakukan oleh pengawas perbankan dan pengawas pasar modal.

Kesalahan yang dimaksud adalah mereka terlalu mengecilkan risiko dari utang yang berlebihan (leveraging) dan kini dengan krisis kini melanda sistem keuangan global, mereka juga harus membayar ongkos yang sangat mahal. Persoalannya, jerakah mereka?

Krisis finansial di AS juga membuat kelanjutan dari reformasi di pasar finansial di Indonesia, khususnya pasar modal, juga menjadi tak jelas nasibnya.

Reformasi pasar modal

Krisis keuangan global sekarang ini terjadi justru pada saat Indonesia tengah serius-seriusnya melakukan reformasi pasar modal secara cukup signifikan dan drastis. Antara lain, dengan mengembangkan pasar untuk berbagai instrumen keuangan yang semula dimaksudkan untuk memperdalam struktur dan memperluas basis investor di pasar modal.

Beberapa institusi yang dikembangkan di sini, bahkan menjiplak habis model yang ada di AS yang sekarang kolaps itu. Salah satunya, dengan menciptakan pasar secondary mortgage.

”Kita sedang dalam proses untuk melakukan sekuritisasi terhadap mortgage-nya ketika tiba-tiba Asia dikejutkan oleh kerusakan yang diakibatkan oleh complex financial contract (kontrak-kontrak finansial yang kompleks). Bertahun-tahun kita ciptakan infrastrukturnya. Begitu infrastrukturnya sudah ada, tiba-tiba guru (AS)-nya kolaps,” ujarnya.

Hal ini membuat pemerintah juga bingung mengenai apa yang harus dilakukan. Mereka terperangkap di antara dua pilihan: mempercepat proses reformasi pasar modal, atau sebaliknya, ”balik ke zaman kuda gigit besi lagi”. Ini yang masih menjadi perdebatan sampai sekarang.

Menurut panelis, upaya memperkenalkan berbagai produk finansial yang canggih di pasar modal domestik sebenarnya dilatari oleh berlimpahnya likuiditas di negara berkembang, termasuk Indonesia, pascabangkitnya negara-negara ini dari reruntuhan krisis fanansial Asia 10 tahun lalu.

Sayangnya, di Indonesia, keberadaan shopisticated finansial product itu bukan untuk kepentingan lindung nilai terhadap aset keuangan yang dimiliki (financial hedging), tetapi lebih banyak justru untuk spekulasi. Akibatnya, yang terjadi, ketika rupiah terpuruk, kerugian menjadi sangat besar dan terjadi pada hampir di semua instrumen.

Korbannya bukan hanya mereka yang memang suka berjudi atau main spekulasi, tetapi juga masyarakat awam (layman) yang memang benar-benar tidak terlalu paham dengan risiko investasi di produk semacam itu. Kerugian yang terjadi, juga sedemikian masif. Data Bank Indonesia yang dikutip oleh panelis, sebelum Desember 2008 nilai perdagangan produk tersebut sudah mencapai hampir 70 miliar dollar AS.

Akibat krisis ini, regulator memang kemudian menjadi lebih hati-hati. Salah satunya, mereka tidak lagi terlalu bernafsu untuk ikut bergabung dalam gerbong integrasi sistem finansial di Asia atau global. Sebab, kalau dipaksakan, bisa-bisa Indonesia cuma menjadi korban dan dimarginalisasi pihak-pihak lain karena kita belum siap.

Lebih berhati-hati

Panelis menilai BI sendiri sebagai otoritas moneter sudah membuat langkah tepat dengan melarang produk derivatif. Namun, itu saja, menurut dia, tak cukup. Indonesia, menurut dia, juga perlu menjamin bahwa regulasi yang diciptakan, baik terkait derivatif maupun regulasi-regulasi sebelumnya, seperti terkait prinsip Kenali Nasabahmu (Know Your Customer/KNY) diterapkan secara benar.

Langkah lainnya, mereka juga harus menekan bank dan pasar modal untuk terbuka soal masalah yang mereka hadapi dengan problem derivatif dan memberlakukan penalti tinggi jika mereka tak patuh. BI sendiri perlu berperan lebih aktif dalam menyelesaikan kasus-kasus derivatif yang ada.

Menurut panelis, ketimbang mendorong pengembangan produk-produk finansial yang kompleks dan berisiko tinggi (hidden risk), lebih baik Indonesia mengadopsi beberapa langkah reformasi kunci di pasar modal yang intinya tetap ditujukan untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat proses restrukturisasi korporasi.

”Usulan saya, tinggalkan dulu penataan terhadap sophisticated financial products yang susah. Konsentrasi saja pada satu hal yang paling mendasar: memperdalam pasar modal. Plain bond, proteksi investor, proteksi investor kelembagaan. Itu sebenarnya pekerjaan rumah yang harus kita lakukan sekarang,” ujarnya.

Alasannya simpel. Krisis membuat pendanaan korporasi dari luar negeri tiba-tiba juga menguap. Demikian pula kredit perbankan domestik juga terhenti karena perbankan lebih memilih berpaling ke sektor yang high-yield, seperti UKM, sektor consumers atau kredit konsumtif yang marginnya jauh lebih besar dan risikonya dinilai juga lebih kecil.

”Jadi, sektor korporasi yang diharapkan jadi mesin pertumbuhan, tiba-tiba kehilangan sumber pembiayaan secara cukup signifikan,” ujarnya.

Sekarang ini dia mulai mencemaskan potensi gagal bayar dan potensi yang akan dihadapi sektor korporasi di Indonesia dalam proses refinancing utang mereka. ”Dan, ini tanda-tandanya sudah sangat signifikan,” ujarnya.

Kebangkrutan lembaga keuangan raksasa AS, Lehman Brothers, enam bulan lalu, menurut dia, telah memicu gelombang kebangkrutan korporasi dan restrukturisasi korporasi. Itu juga terjadi di Asia, termasuk Indonesia. Beberapa kasus high profile di sini di antaranya adalah Bumi Resources dan Bakrie, Mobile-8, CPRO dan Truba.

Secara umum, sektor korporasi di Indonesia dihadapkan pada tiga masalah. Pertama, persoalan terkait operasional, yang terutama dipicu oleh menurunnya permintaan. Selain itu, juga masalah menyangkut neraca keuangan (balance sheet) atau masalah keuangan.

”Ciri-ciri krisis finansial menimpa sektor keuangan di Indonesia adalah pertama kali adalah memburuknya operasional karena menurunnya permintaan yang cukup signifikan. Dan, banyak sekali orang mulai melanggar kesepakatan kredit dan tak mampu me-refinance utangnya,” ujarnya. Yang dicemaskan adalah jika rentetannya ke perbankan.

Persoalan yang dihadapi di dunia, menurut dia, sebenarnya bukan pada tidak adanya likuiditas. Sebaliknya, justru likuiditas berlimpah di pasar.

”Saya punya 40-50 klien, semua punya likuiditas, tetapi risk appetite-nya nol. Jadi uangnya disimpan karena menganggap risikonya luar biasa besar,” ujarnya.

Nila setitik

Yang terjadi di Indonesia sekarang ini, menurut dia, karena ”nila setitik, rusak susu sebelanga”. Akibat adanya korporasi yang nakal, investor jadi memilih menjauhi Indonesia. Sepuluh tahun lebih setelah krisis, menurut dia, situasi di Indonesia dianggap oleh investor tidak berubah.

”Kita sudah meyakinkan mereka bahwa itu tak benar. Kita bilang, kita sudah berubah substansial. Buktinya sudah banyak orang yang masuk penjara. Bankruptcy proceeding (mekanisme kepailitan) juga sudah jauh lebih baik. Asset takeover (akuisisi aset) sudah lebih jalan, demikian pula alokasi sumber daya masih bisa jalan. Tetapi yang mereka lihat, situasi tak berubah,” ujarnya.

Ia mengungkapkan pengalaman salah satu lembaga investasi besar yang sempat jera masuk ke Indonesia karena terjerumus dan merugi besar dalam kasus utang Asian Pulp & Paper (APP) tahun 1998 dan kembali mengalami kasus serupa ketika ia memberanikan masuk lagi ke Indonesia tahun 2008. Kali ini, dengan CPRO dan Truba. Dia melihat, setelah 10 tahun, kita tak berubah.

”Yang lebih parah, arsitek di belakang masalah itu masih orang yang sama, Cuma ganti perusahaan,” ujar panelis. Adanya aktor lama di balik kejahatan serupa (the same old actors behind the scene) itu, menurut dia, menggambarkan Indonesia tak pernah belajar dari kasus-kasus sebelumnya sehingga regulator selalu kecolongan dan kalah langkah dari banditnya.

”Lebih gawat lagi, the bad actors itu sudah belajar dari krisis finansial Asia. Kalau dulu mereka belum siap, sekarang mereka sudah mempersiapkan jurusnya. Jadi, mengakali struktur finansial untuk lari dari kewajiban. Jurus kaburnya juga sudah dibikin sedemikian luar biasa,” ujarnya.

Singkatnya, Indonesia belum mampu memetik pelajaran dari krisis finansial 1997 dan juga krisis finansial di AS. Kalau sudah begini, repot dehhh....(aik/ken/isw/tat)

Tidak ada komentar: