Jumat, 03 April 2009

G-20 dan Kapitalisme

A AGUS SRIYONO

Sebanyak 20 kepala negara/kepala pemerintahan dari negara maju dan berkembang bertemu di London, 2 April 2009, dalam rangka KTT G-20. KTT ini merupakan tindak lanjut KTT G-20 di Washington, 14-15 November 2008.

Pertemuan tahun ini amat krusial karena diselenggarakan di tengah krisis ekonomi global. Melalui agenda koordinasi kebijakan ekonomi makro, diharapkan KTT G-20 menyepakati langkah bersama untuk mengatasi krisis. Masalahnya, apakah penanganan krisis akan ditempuh sejalan dengan garis ”kapitalisme gaya Amerika”?

Tidak dapat dielakkan, dunia memandang AS sebagai sumber krisis. Akar masalah bukan hanya kredit macet, meningkatnya consumer spending, dan membengkaknya utang AS. Lebih jauh, ada indikasi kapitalisme gagal menyejahterakan rakyat. Para pengkritik kapitalisme heran melihat Pemerintah AS mengambil alih kepemilikan saham bank-bank terkemuka, menguasai salah satu perusahaan asuransi terbesar dunia, dan tindakan lainnya. Bukankah ini ”gaya sosialisme”?

Gugatan juga datang dari warga AS sendiri yang yang dibesarkan oleh sistem kapitalisme. Mereka bertanya, mengapa pembayar pajak harus mem-bail out para miliarder perbankan. Apa keuntungannya? Di tengah krisis, rakyat AS juga melihat naiknya angka pengangguran, anjloknya pertumbuhan ekonomi, dan tersendatnya kredit perbankan.

Peran negara

Gagasan kapitalisme antara lain bertumpu pada kekuatan pasar dan kepemilikan individu. Peran negara terbatas sebagai regulator dan stimulator. Kapitalisme berangkat dari asumsi ”mekanisme pasar akan meregulasi diri sendiri”. Tetapi, justru asumsi inilah yang kemudian menjerumuskan dunia ke resesi ekonomi. Dalam praktik, pasar bebas dan kepemilikan individu menciptakan pelaku ekonomi yang tamak.

Bertolak dari asumsi yang sama, Pemerintah AS selaku regulator tidak begitu ketat menetapkan kebijakan moneter maupun fiskal. Kredit perbankan macet. Situasi bertambah runyam saat pihak tertentu (baca: penguasa) memiliki vested interest. Akibatnya, kebijakan yang diambil lebih berpihak kepada berbagai perusahaan raksasa dengan membebaskan mereka dari kewajiban tertentu kepada masyarakat dan mengabaikan jaringan pengaman sosial. Jadilah pekerja sebagai korban sistemik.

Robert Kuttner dalam artikel ”Surviving the Great Collapse” (IHT, 13/3) berpendapat, jika Pemerintah AS tak cepat dan tepat menentukan kebijakan, krisis ekonomi global akan lebih parah dibandingkan dengan Great Depression tahun 1930-an. Alasannya, sistem finansial saat ini jauh lebih buruk dari tahun 1929. Namun, AS tidak dapat menentukan kebijakannya sendiri. Masalah global harus diatasi secara global pula. Perlu langkah koordinasi antarnegara agar krisis dapat diatasi dan tidak terulang.

Dalam rangka koordinasi di forum KTT G-20, AS perlu mendengar pandangan kritis Pemerintah Inggris. Dalam pernyataannya, PM Gordon Brown menyampaikan keinginannya agar KTT G-20 menjadi titik awal perubahan dan regulasi terhadap sistem pasar bebas ala AS. Selain itu, hasrat sejumlah negara Eropa untuk mengerem program stimulusnya juga perlu diperhatikan. Eropa tak terlalu menggebu-gebu menjalankan program stimulus ekonomi karena memiliki jaringan pengaman sosial cukup kuat.

Kepemimpinan AS

Terkait KTT G-20, Presiden AS Barack Obama menulis dalam International Herald Tribune (24/3), The United States is ready to lead, and we call upon our partners to join us. Ucapan ini wajar disampaikan seorang presiden dari negara adidaya. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan AS masih ber-”gaya kapitalisme” seperti ditampilkan saat ini? Ataukah AS bersedia merevisi dan mendengar pandangan negara lain? Jika langgamnya sama, sulit bagi masyarakat internasional untuk menerima kepemimpinan AS. Mereka berharap AS memimpin dunia dengan memberikan contoh.

Sebelum krisis, banyak pejabat AS berkunjung ke India, Brasil, China, dan Afrika Selatan untuk ”memberikan kuliah” tentang pentingnya pasar terbuka, perdagangan bebas, dan deregulasi. Mereka memberikan tips bagaimana harus menjalankan kebijakan ekonomi. Krisis ekonomi global yang berawal dari AS membalikkan semuanya. Negara-negara berkembang bahkan mulai berpikir bahwa mereka bisa menjalankan kebijakan ekonomi tanpa harus meniru AS.

Ucapan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy bahwa American- style of capitalism is over mungkin berlebihan. Namun, dari segi esensi, pernyataan itu tidak salah. Krisis ekonomi global, kalaupun bukan refleksi berakhirnya era kapitalisme, setidaknya merupakan indikasi memudarnya kapitalisme. Sudah saatnya dunia di luar AS mencari mazhab ekonomi lain yang cocok dengan dinamika ekonomi dunia selain kapitalisme. Fenomena ini mengingatkan pada slogan kaum antiglobalisasi pada awal 2000-an: another world is possible.

A AGUS SRIYONO Pemerhati Masalah Internasional

Tidak ada komentar: