Jumat, 03 April 2009

Krisis Global

Banyak Ruang untuk Tetap Optimistis
Jumat, 3 April 2009 | 02:42 WIB

Kita boleh berbesar hati. Di tengah situasi serba suram ekonomi global, Indonesia dinilai masih memiliki banyak ruang dan benteng daya tahan untuk mencegah ekonomi mengalami penurunan lebih dalam. Dengan kerja keras dan langkah yang lebih terfokus, bukan tak mungkin pertumbuhan ekonomi 5 persen masih bisa dicapai tahun ini. Syaratnya, kita mampu menjaga konsumsi swasta tak terpuruk lebih dalam dan belanja pemerintah bisa dipercepat.

Ada kesepakatan di kalangan panelis dalam Diskusi Panel Ahli Ekonomi Kompas bahwa kondisi yang dihadapi ekonomi global sekarang ini memang sangat berat dan serius.

Kondisi terburuk dinilai belum lewat, dengan berbagai lembaga berlomba untuk merevisi ke bawah target pertumbuhan. Ke depan, kondisi diperkirakan masih akan memburuk, dengan peluang prospek pemulihan ekonomi global secara cepat (V-shape) dinilai kecil dan perekonomian dunia kemungkinan masih akan mengalami pertumbuhan rendah atau minus dalam 7-8 triwulan ke depan.

Prediksi terakhir OECD, perekonomian global tumbuh minus 2,7 persen pada 2009, dengan ekonomi AS minus hingga 4 persen, jauh lebih buruk dari prediksi terakhir IMF. Untuk Indonesia, dari prediksi terakhir ADB, pertumbuhan 2009 diperkirakan 3,6 persen (lebih rendah dari target pemerintah 4,5 persen). Bahkan, The Economist memprediksikan 1,9 persen.

Kendati menunjukkan tanda-tanda perlambatan secara accross the board, para panelis melihat ada banyak alasan untuk tetap optimistis mengenai ekonomi Indonesia. Dibandingkan dengan negara Asia lain, kondisi Indonesia jauh lebih baik, antara lain karena ketergantungan terhadap ekspor dan investasi global yang tak sebesar negara Asia lain dan keterkaitan yang tak terlalu erat dengan sektor finansial AS.

Ada beberapa indikator yang menunjukkan masih cukup baiknya ketahanan ekonomi kita. Salah satunya, neraca transaksi berjalan masih surplus, kendati angkanya terus menyusut. Data terakhir BPS juga menunjukkan membaiknya neraca perdagangan kendati ekspor Februari 2009 turun 32,86 persen (yoy) dan turun 34,52 persen dibandingkan Januari 2009. Membaiknya neraca itu disebabkan impor yang anjlok lebih tajam dibandingkan dengan ekspor.

Perbankan juga relatif solid, dengan semua indikator kesehatan perbankan (ROA, ROE, NIM, dan CAR) di atas rata-rata negara tetangga, kendati ada penurunan laba bersih akibat kebijakan perbankan menaikkan provisi untuk mengantisipasi prospek ekonomi global dan domestik yang memburuk.

Kalaupun ada kenaikan kredit bermasalah (NPL), angkanya masih dalam batas wajar, di bawah China yang 7,5 persen atau 22,4 persen pada krisis 1997/1998. Ketahanan pangan juga relatif terjaga.

Ruang gerak untuk stimulus fiskal juga cukup leluasa. Ini karena kondisi kita berbeda dari China, di mana stimulus berlebih justru menimbulkan masalah baru (overproduksi).

Harga minyak yang di bawah 50 dollar AS per barrel juga akan positif bagi APBN karena memberi ruang bagi pemerintah untuk bisa mengalokasikan dana guna meredam dampak krisis.

Diciptakan sendiri

Persoalan yang kita hadapi sebenarnya ada pada Indonesia sendiri sehingga dari panelis sempat tercetus pernyataan, krisis sebenarnya kita ciptakan sendiri. Dengan terus memburuknya ekonomi global, konsentrasi pemerintah praktis habis tersita untuk merevisi target pertumbuhan sehingga melupakan apa yang seharusnya dilakukan. Kita tak seperti China yang PM-nya dengan tegas menetapkan target pertumbuhan ekonominya sendiri dan kemudian membuat roadmap serta mengerahkan segenap kekuatan untuk mewujudkan target itu.

Padahal, kalau mampu memanfaatkan kekuatan dalam negeri yang terserak itu semaksimal mungkin, kita memiliki banyak ruang untuk tetap optimistis dan tak downgrade terus.

Panelis juga mengkritisi stimulus fiskal yang didominasi potongan pajak (tax relief) dan nyaris tak menyisakan belanja langsung bagi petani atau rakyat kecil pedesaan, padahal dua pertiga penduduk tinggal di desa.

Ia juga belum melihat adanya upaya pemerintah untuk menyentuh petani. Padahal, kalau mau, dengan mudah pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan 6 juta warga petani tebu cukup dengan menaikkan rendemen dari 7,5 persen menjadi 9 persen. Atau, kesejahteraan petani sawit dengan mempercepat peremajaan tanaman.

Kebijakan menyangkut industri manufaktur sebagai sektor yang paling terpuruk tak jelas. Tak ada upaya stimulus yang dilakukan dengan menyesuaikan karakteristik industri.

Sejumlah panelis melihat, kita sekarang ini masih berpikir dengan paradigma lama dalam menyelesaikan krisis. ”Resepnya tidak berubah. Salah satunya, kita terus membuat utang dengan menjual obligasi di pasar internasional, padahal negara lain sudah mulai meninggalkan ini. Kita juga melakukan deepening dalam pengembangan pasar finansial, yang nyata-nyata membuat bangkrut ekonomi kapitalis,” ujarnya. (tat/aik/ken/isw)

Tidak ada komentar: