Selasa, 07 April 2009

G-20 untuk Siapa?

Oleh Iman Sugema

Adalah wajar kalau pasar modal di berbagai belahan dunia menyambut secara positif butir-butir keputusan dalam KTT G-20 di London. Salah satu yang dianggap spektakuler adalah komitmen untuk menambah modal IMF sebesar satu triliun dolar AS. Tentu saja, ini merupakan berita baik bagi pemodal besar yang notabene berasal dari negara-negara maju karena uang tersebut bisa menjadi katup pengaman bagi transaksi finansial global.

Bagi negara berkembang, justru tambahan modal IMF merupakan pisau bermata dua. Di satu sisi, dana tersebut dapat dijadikan bantalan bagi negara yang sedang mengalami masalah neraca pembayaran. Banyak negara berkembang, seperti Indonesia, saat ini sedang menghadapi bahaya krisis neraca pembayaran yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar dan berbaliknya arus hot money. Selain itu, pasokan devisa juga semakin seret karena jebloknya kinerja ekspor. Karena itu, banyak negara berkembang yang cadangan devisanya kini semakin tipis berharap dapat kucuran dana dari IMF.

Bahkan, seorang pejabat di Departemen Keuangan secara gamblang pernah berkata bahwa payung bagi penyelesaian krisis di Indonesia adalah IMF dan World Bank. Tak heran bila kemudian pemerintah kita pun dalam KTT G-20 sangat menyokong ide untuk memperbesar kemampuan finansial IMF dalam memberikan kredit ke negara-negara berkembang. Tampaknya, ada kesadaran yang sangat jelas bahwa suatu waktu Indonesia akan membutuhkan bantuan IMF.

Di sisi lain, kehadiran IMF dalam membantu negara-negara berkembang justru sangat berpotensi untuk membuat masalah menjadi rumit sehingga akan memperparah krisis yang dialami negara yang jadi pasien IMF. Indonesia sendiri pernah mengalami pengalaman buruk dalam berinteraksi dengan IMF sehingga kita menjadi negara yang paling parah dilanda krisis finansial sepuluh tahun yang lalu. Karena itu, saya ingin mengingatkan kembali bahwa keputusan G-20 bukanlah keputusan yang terbaik untuk negara berkembang.

Malahan, yang terjadi adalah sebaliknya, IMF akan menjadi semakin kuat sebagai kendaraan untuk mengeruk kekayaan di negara berkembang. Ada beberapa pengalaman yang bisa dijadikan pelajaran.

Kita pernah dipaksa oleh IMF dan kawan-kawan untuk melunasi utang-utang swasta kepada kreditor asing melalui Frankfurt Agreement. Timbul pertanyaan mendasar waktu itu, sebenarnya siapa yang sedang di-bail out oleh IMF, negara Indonesia ataukah lembaga keuangan asing. Utang swasta Indonesia kepada lembaga keuangan internasional adalah murni urusan business to business. Karena itu, sangat mengherankan mengapa Pemerintah Indonesia dipaksa untuk menalangi mereka.

Dari kejadian itu, kita bisa belajar bahwa sebetulnya talangan yang diberikan oleh IMF dan World Bank bukanlah murni untuk membantu pemerintah. Talangan tersebut secara implisit adalah ditujukan bagi penyelamatan aset-aset lembaga keuangan asing yang tertanam di Indonesia.

Hampir bisa dipastikan, saat ini banyak aset-aset finansial internasional tertanam di negara-negara berkembang yang terjebak oleh krisis. Kalau kelak negara-negara ini terpaksa minta bantuan kepada IMF, mereka harus tunduk kepada resep-resep IMF yang salah satunya adalah pembayaran secara segera utang-utang kepada lembaga keuangan internasional, termasuk di dalamnya adalah utang-utang perusahaan swasta. Karena itu, menjadi tidak mengherankan kemudian para pelaku di bursa global sangat menyambut baik keputusan G-20.

Mereka merasa akan diselamatkan oleh bantuan IMF secara tidak langsung.
Pemerintah negara berkembang pada akhirnya harus berkubang dengan jumlah utang yang lebih banyak, yang kemudian akan membebani anak cucu mereka.

Pembengkakan beban utang kemudian mengharuskan mereka untuk gali lubang tutup lubang yang pada akhirnya menyebabkan negara terjebak dalam utang yang tak ada habisnya. Untuk bisa memecahkan masalah ini, kemudian mereka sering diberi saran untuk menjual aset-aset negara secara murah kepada investor asing. Itulah yang pernah kita lakukan selama periode 1999 sampai 2005.

Semua bank yang direkapitalisasi pada waktu itu terpaksa dijual murah. Tak ada satu pun bank yang berada di bawah BPPN yang tidak dijual kepada asing. Alasannya, kita perlu memperkuat perolehan devisa untuk membayar utang. Lagi-lagi, kita bisa belajar dari kasus ini bahwa pada akhirnya yang diuntungkan adalah para investor dari negara maju.

Saat ini, negara-negara yang mengalami krisis pembayaran pada umumnya mengalami depresiasi nilai tukar yang tajam. Artinya, aset di negara tersebut menjadi lebih murah kalau dibeli dengan mata uang asing. Dengan demikian, ruang untuk mengakuisisi aset di negara berkembang menjadi semakin terbuka. Sekarang merupakan waktu terbaik bagi kapitalis global untuk mengukuhkan penguasaan sumber daya ekonomi di negara berkembang. Krisis memang dimulai di negara maju, namun akhirnya penderitaan akan ditimpakan kepada penduduk di negara berkembang. Itulah agenda sesungguhnya.

Solusi yang terbaik untuk mengatasi krisis yang dihadapi oleh negara berkembang adalah pemotongan utang atau minimal penundaan pembayaran utang. Tapi, tentu hal ini menjadi kurang menarik bagi negara maju karena tidak menciptakan kesempatan untuk menguasai kekayaan di negara berkembang.

Dengan melakukan pemotongan utang, ada dua hal yang sekaligus bisa dicapai oleh negara berkembang. Pertama adalah penguatan posisi fiskal sehingga mereka dapat menciptakan stimulus yang lebih besar tanpa harus berutang lebih banyak. Dengan stimulus ini, perekonomian domestik dapat dipacu kembali sehingga pengangguran massal dapat dihindari. Kedua, karena tidak harus berutang, tambahan beban di masa mendatang menjadi tidak ada. Karena itu, mereka tidak harus melego aset-aset negara dengan harga murah. Ekonomi dalam jangka panjang menjadi lebih kuat karena tidak terganggu oleh kewajiban utang. Kecanduan terhadap utang pada akhirnya akan hilang.

Keputusan G-20 tidak banyak membawa keuntungan untuk negara berkembang. Walaupun kita boleh bangga bahwa butir-butir keputusan tersebut sesuai dengan yang kita usulkan, manfaatnya ternyata bukan untuk kita. Mulai dari sekarang Indonesia harus hati-hati dalam mengusulkan agenda dalam KTT apapun. Jangan-jangan draf yang kita buat memang sejak dari awal dimaksudkan untuk memajukan kepentingan negara maju.

Tidak ada komentar: