Sabtu, 04 April 2009

Sepuluh Kearifan Krisis

Rhenald Kasali

Belakangan ini terasa benar adanya frustrasi di masyarakat. Setiap kali kesulitan, kita seperti ingin cepat menyerah, seakan- akan sudah demikian gawat dan genting.

Kata gawat, genting, atau kemelut adalah terjemahan yang diberikan John M Echols dan Hassan Shadali dari kata bahasa Inggris, crisis.

Maka, setiap hari begitu mudah kita temui kata krisis. Mulai dari krisis demam berdarah sampai flu burung; dari pangan sampai gula dan pupuk; dari transportasi dan logistik sampai, BBM, listrik, dan air bersih; dari pendidikan dan moral sampai moneter dan keuangan global.

Pemaknaan ini berbeda dengan cara bangsa lain memaknai krisis. Di Amerika Serikat, krisis ditafsirkan sebagai titik belok yang menuntut terjadinya perubahan untuk menjadi lebih baik atau lebih buruk. Di China, krisis merupakan gabungan dari dua kata: bahaya dan kesempatan.

Benarkah krisis pembawa bencana, hantu pencabut nyawa yang membuat kita menyerah?

Indonesia butuh krisis

Saya menolak anggapan bahwa kita harus jauh dari krisis. Sepanjang sejarah, kita menyaksikan bangsa-bangsa besar dibentuk oleh ancaman dan krisis. Jepang, Korea Utara, negara-negara Eropa dan AS, serta Israel adalah contohnya. Bangsa Indonesia sebaliknya, kita dikaruniai alam indah, tanah subur, cahaya matahari berlimpah, dan sumber daya alam tak terkira.

Tanpa ada krisis, kita akan menjadi bangsa yang malas, hanya mengulang-ulang apa yang sudah dilakukan, terperangkap tradisi, mudah puas diri, tak berinisiatif, akhirnya frustrasi menjadi pengutang tak berdaya.

Jadi, krisis keuangan global yang menghantui kita ini adalah baik bagi semua. Baik bagi presiden dan gubernur bank sentral agar lebih berani serta cepat bertindak dan mengambil keputusan. Baik bagi para menteri agar lebih berpikir dan mementingkan bangsa dalam bekerja. Juga baik bagi birokrat agar lebih mengutamakan rakyat. Baik bagi pemerintah daerah agar tidak menjadikan perizinan usaha sebagai pendapatan asli daerah. Baik bagi pengusaha agar lebih lincah bergulat dalam kesulitan serta lebih efisien dan inovatif, serta baik bagi aktivis agar tidak melulu mengedepankan konflik.

Namun, krisis jelas tidak baik bagi media massa, politisi busuk, dan para pemimpin oposisi yang terus menyuarakan konflik dan kebencian.

Krisis dan perubahan

Setidaknya ada sepuluh pelajaran yang dapat dipetik dari krisis keuangan global saat ini, dimulai dengan hubungan antara krisis dan perubahan.

Pertama, krisis selalu terjadi jika makhluk hidup gagal beradaptasi atau perilakunya melawan (resisten) terhadap perubahan. Krisis melanda AS saat pemimpin dan penguasanya gagal merespons aneka tuntutan baru, sama seperti yang kita alami tahun 1997-1998. Inertia yang demikian kuat tak memungkinkan perubahan dari dalam, sampai Tuhan semesta alam mengirimkan ”bantuan perubahan” berupa krisis. Di Indonesia, sepanjang 2006-2008 banyak orang menyangkal dan menahan perubahan. Jika sistem tak memungkinkan mereka melakukan evolusi, mereka dapat menerima hukuman dalam bentuk krisis.

Kedua, kendati pasar domestik tetap kuat dan pengaruh pasar internasional serta investasi asing di Indonesia hanya 10-20 persen, apakah bijak mengatakan krisis ini tidak ada di sini? Masalahnya, pemerintah yang berkuasa masih bekerja seperti biasa dan reformasi birokrasi tidak berjalan sehingga eksekusi pembangunan masih amat lamban.

Ketiga, kendati sasaran nasihat-nasihat ekonomi makro ditunjukkan kepada pemerintah, apakah bijak menyajikan fakta- fakta krisis terus-menerus kepada khalayak umum? Alih-alih menasihati pemerintah, yang takut justru dunia usaha dan konsumen yang berpotensi menahan investasi dan konsumsi sehingga mempercepat terjadinya resesi.

Keempat, krisis tidak hanya menghancurkan daya beli, tetapi juga memudarkan harapan dan aneka keinginan sehingga melemahkan pelaku usaha yang dominan. Selain sulit, keadaan ini sebenarnya menjanjikan kesempatan untuk merebut posisi dalam persaingan karena banyak pemain asing yang limbung kehilangan rasa percaya diri.

Kelima, ada pasar dan segmen yang hilang, tetapi juga ada pasar yang tiba-tiba muncul. Perjalanan wisata ke Eropa dan AS turun, beralih ke dalam negeri. Demikian pula dengan barang-barang lux, otomotif, dan makanan, terjadi pergeseran sehingga ada pasar yang hilang dan ada yang tiba-tiba muncul.

Keenam, saat jalan terasa enak, itu pertanda kita sedang menurun dan, sebaliknya, saat terasa berat, itu pertanda kita sedang mendaki ke atas.

Ketujuh, krisis bukan saat yang tepat untuk mengetatkan aturan. Ia butuh ruang gerak dan fleksibilitas. Krisis menuntut relaksasi constraint.

Kedelapan, krisis adalah saat tepat berinvestasi. Kala ekonomi membaik, itu saat memanen.

Kesembilan, tugas pemimpin adalah memelihara optimisme. Namun, bukankah orang yang optimistis dan positif pada masa krisis sering dianggap orang yang tidak kritis? Bagi sebagian besar elite, pemimpin yang kritis adalah mereka yang negatif dan pesimistis.

Kesepuluh (terakhir), meski manusia melihat dengan mata, mereka lebih percaya melalui pikiran, yaitu pikiran yang dibentuk oleh ulasan dan data yang tak terlihat. Untuk kondisi Indonesia ada kenyataan, krisis yang dilihat melalui kasatmata (baca: tidak ada krisis) amat berbeda dengan krisis yang kita lihat melalui data, kajian, dan ulasan para ahli (baca: keadaan sudah genting).

Keduanya (mata dan pikiran) harus digunakan secara simultan guna meraih kecerdasan dan keberanian bertindak. Namun, di era krisis global kali ini, tampak keduanya berseberangan jalan sehingga krisis keuangan global mengacaukan pikiran.

Saya tidak berpretensi apa-apa dengan menyatakan seolah krisis tidak ada atau, sebaliknya, krisis sudah gawat. Apa pun bentuknya, berbagai ancaman atau kegentingan, ada baiknya untuk memperbarui kesejahteraan, cara berpikir, dan cara mengelola Republik Indonesia. Tak penting betapa besar kerugian yang Anda alami, yang lebih penting adalah apa yang dapat kita pelajari dari krisis itu sendiri.

Rhenald Kasali Pengajar di Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: