Sabtu, 04 April 2009

Bunga Kredit agar Ditekan

Jakarta, Kompas - Penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia sebesar 25 basis poin menjadi 7,5 persen akan sia-sia jika tidak diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Bank BUMN harus menjadi motor penurunan suku bunga kredit sehingga persoalan kesulitan likuiditas dan pelambatan sektor riil bisa teratasi.

”Sayang sekali jika penurunan BI Rate lagi-lagi tidak diikuti penurunan suku bunga kredit. Sampai saat ini perbankan masih mempertahankan suku bunga simpanan dan kredit yang cukup tinggi sehingga likuiditas tetap kering dan sektor riil susah berjalan,” kata pengamat pasar uang, Farial Anwar, Jumat (3/4).

Penegasan Farial ini setelah Bank Indonesia, Jumat, kembali menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate sebesar 25 basis poin (BP) menjadi 7,5 persen. Hal itu merupakan penurunan yang kelima kalinya sejak Desember 2008. Berarti, BI Rate sudah turun 200 BP atau 2 persen.

Namun, penurunan belum diikuti dengan penurunan suku bunga kredit secara proporsional. Terhitung dari akhir tahun sampai kemarin, rata-rata penurunan suku bunga kredit perbankan hanya sekitar 50 BP.

Menurut Farial, untuk mengatasi tidak sejalannya kebijakan BI dengan kebijakan perbankan nasional itu, sudah seharusnya bank BUMN menjadi motor penurunan suku bunga kredit. Sebagai bank milik pemerintah, bank BUMN harus sadar bahwa salah satu tanggung jawab utamanya adalah sebagai agen pembangunan nasional. ”Saat krisis seperti ini, peranan bank BUMN sangat dibutuhkan,” kata Farial.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad mengakui, penurunan suku bunga perbankan masih belum sesuai harapan BI. ”Mudah-mudahan dengan penurunan suku bunga sebesar 25 BP ini, perbankan bisa melakukan penyesuaian,” katanya.

Cadangan devisa

Saat mengumumkan penurunan BI Rate, Gubernur BI Boediono mengatakan, saat ini perekonomian dunia masih diliputi ketidakpastian yang tinggi, meskipun akhir-akhir ini terdapat sentimen positif terkait adanya kesepakatan G-20 yang mendorong perbaikan di pasar modal dan pasar keuangan global.

Hal lainnya yang juga cukup positif, lanjut Boediono, pada akhir triwulan I-2009, cadangan devisa sebesar 54,8 miliar dollar AS atau setara 5,9 bulan kebutuhan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Cadangan devisa naik 900 juta dollar AS dari level sebelumnya.

Sementara, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia triwulan I-2009 juga baik. Volume ekspor beberapa komoditas unggulan, seperti minyak sawit dan tembaga, menunjukkan kinerja yang positif. Manufaktur mengalami penurunan. Selama triwulan I-2009, neraca pembayaran bakal surplus 3,5 miliar dollar AS.

Kondisi perbankan nasional tetap terjaga baik. Rasio kecukupan modal (CAR) cukup tinggi, yakni 17,7 persen per Februari 2009 dengan nonperforming loans (NPL) relatif terkendali. NPL gross sebesar 4,3 persen dan NPL net 1,6 persen. (Rei)

Tidak ada komentar: