Selasa, 07 April 2009

Hari Nelayan dan Sistem Ekonomi Tengkulak

Oleh Endan Suwandana ST MSc
Kasie Konservasi, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten


Mungkin, hanya sedikit orang yang tahu bahwa 6 April adalah Hari Nelayan Nasional. Belum didapatkan informasi yang jelas mengenai penetapan tanggal tersebut dan sejarahnya. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP RI) pun tampaknya belum menjadikan tanggal tersebut sebagai agenda resmi tahunan. Sejauh ini, baru Hari Nusantara-lah (13 Desember) yang rutin diperingati setiap tahun.

Terlepas dari benar atau tidaknya, tapi itulah setidaknya yang kita dapatkan dari situs wikipedia ( free-online ensiklopedia) yang menyatakan bahwa 6 April sebagai Hari Nelayan Nasional. Konon, di Pelabuhan Ratu Sukabumi, setiap tahun para nelayan memperingati hari ini dengan berbagai aktivitas yang meriah, seperti ritual adat, lomba-lomba, pesta rakyat, dan sebagainya.

Urgensi hari nelayan memang sudah patut dipikirkan karena nelayan merupakan salah satu konstituen terbesar warga negara di negeri bahari ini. Kalau kita memiliki hari buruh, hari arsitektur, hari tani, hari dokter, hari guru, dan sebagainya, tidaklah berlebihan apabila kita pun ingin mengangkat harkat martabat nelayan melalui Hari Nelayan.

Beberapa negara pun sudah lama merayakannya, seperti Filipina, India, Maladewa, Trinidad and Tobago, St Vincent Karibia, British Virgin Island Karibia, Barbados, dan sebagainya. Mereka menyebutnya sebaga fisherfolk day atau fisherman day . Pada hari-hari itu, pesta nelayan menjadi pesta rakyat yang luar biasa dan mampu mendatangkan ratusan turis mancanegara. Lomba dan pesta dipadukan menjadi sebuah rangkaian atraksi yang menarik selama beberapa hari.

Bahkan, sejak November 1998, presiden Bill Clinton telah mencanangkan Hari Perikanan Dunia ( World Fisheries Day ) yang jatuh setiap 21 November melalui Proclamation 7150. Salah satu kalimat yang penting dari teks proklamasi itu adalah World Fisheries Day is not only an occasion for celebration, it is also a time to raise awareness of the plight of so many of the world's fish resources . Demikian itulah seruan presiden Clinton agar kita dapat meningkatkan kesadaran terhadap sumber daya ikan dan tentunya juga kesadaran terhadap nasib dan kesejahteraan nelayan.

Banyak sekali permasalahan nelayan yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, seperti kemiskinan, BBM, sampah, tingkat pendidikan, sumber daya ikan, konflik antarnelayan, formalin, tengkulak, dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun telah menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan, dan masih banyak lagi.

Namun demikian, kemiskian masih menjadi trademark yang kita saksikan sehari-hari. Ratusan penelitian sosial pun dilakukan dan hampir semuanya berkesimpulan sama, yaitu kemiskinan ini adalah kemiskinan struktural ( structural poverty ) yang telah melembaga. Menghilangkan kemiskinan model ini tidak semudah teori sosial ekonomi mana pun. Implikasinya, kalau ingin berhasil, semua program pemerintah harus mengikuti dan memerhatikan pola kehidupan sosial ekonomi dan budaya mereka.

Sistem ekonomi tengkulak
Butuh waktu yang lama untuk mengurai satu demi satu permasalahan nelayan di atas. Pada kesempatan ini, cukup kita fokuskan pada peran tengkulak yang menjadi problematika tak berkesudahan bagi nelayan dan selalu muncul dalam setiap laporan penelitian sosial ekonomi nelayan.

Setuju atau tidak, negara kita menganut sistem ekonomi kapitalis. Pada sistem ini, aktivitas ekonomi tengkulak adalah hal yang dianggap sah-sah saja karena mereka adalah para pemilik modal ( capital holder ) yang boleh melakukan apa saja selama saling membutuhkan. Maka, dari kacamata bisnis, tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang sah. Di mana setiap pebisnis, apa pun bentuknya, baik firma maupun perseorangan, tentu akan berupaya untuk mempertahankan bisnisnya. Upaya tersebut bisa dalam bentuk diskon, iklan, entertain, pembentukan opini, dan sebagainya.

Sebagai sistem ekonomi, tengkulak pun mengeluarkan biaya 'iklan' dan 'entertain' untuk mempertahankan bisnisnya. Bentuknya adalah dengan melakukan pendekatan sosial ( social approach ). Mereka dapat memberikan pinjaman tanpa kolateral (agunan) kepada para nelayan kapan pun mereka butuhkan. Tentu, dengan harapan agar mereka tetap terikat dan tidak lari kepada tengkulak lain. Mirip dengan iklan berhadiah produk-produk di televisi yang selalu ingin mengikat pelanggannya. Hasilnya, kemiskinan nelayan tetap terpelihara karena monopoli harga ikan dan sistem pemasaran ditentukan oleh sang tengkulak.

Sama sekali tidak ada yang salah dengan sistem itu. Karena, itulah gambaran kecil dari sistem ekonomi yang berlaku di Indonesia. Para pemodal besarlah yang memiliki sistem kekuasaan ekonomi. Kita bisa melihat bagaimana supermarket waralaba sampai berdiri megah di sudut-sudut desa. Maka itu, apa pun upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan, jika tanpa menyentuh sistem ekonomi yang sudah mendarah daging ini, bagaikan upaya menggantang asap.

Itulah mungkin alasannya mengapa pada Agustus 2008 lalu, Wapres Jusuf Kalla setuju-setuju saja dengan usulan dibentuknya Asosiasi Punggawa Nasional (APN) yang dipimpin oleh Bupati Rembang, M Salim. Karena, memang dari kacamata pebisnis sejati, punggawa atau tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi yang tidak melanggar prinsip ekonomi, apalagi belum ada peraturan perundangan yang mengatur tengkulak.

Tentu, ide dan persetujuan wapres ini bukan untuk mengekalkan kemiskinan nelayan ( sustainable poverty ) karena tidak mungkin seorang negarawan melakukan ide yang kontraproduktif dengan program-programnya sendiri. Mungkin, beliau berpendapat, dengan dibentuknya wadah para tengkulak itu, pemerintah dapat mulai 'mewarnai' sistem ekonomi mereka yang sudah diwariskan secara turun-temurun itu.

Perfect market dan intervensi pemerintah
Untuk memahami sistem ekonomi tengkulak, kita harus berangkat dari teori ekonomi yang dikenal dengan istilah kesempurnaan pasar ( perfect market ). Secara sederhana, kondisi pasar sempurna inilah yang diharapkan oleh semua orang. Karena, pada kondisi ini, semua pihak akan merasa senang, sama-sama untung, dan tidak ada yang membatasi dan menghambat dalam setiap tahapan interaksi. Namun, dalam tataran praktis, tentu sistem ini belum pernah terwujud karena akan cukup sulit untuk memuaskan semua orang. Pasti akan selalu ada elemen yang ingin meraup keuntungam lebih sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan dengan mengefisienkan upaya. Bahkan, ada pula yang dirugikan atau bahkan terlempar dari mekanisme pasar.

Itulah alasannya mengapa pemerintah, sebagai pihak yang melindungi semua komponen pasar, harus menyediakan instrumen untuk menjaga agar tidak terjadi kegagalan pasar ( market failure ). Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap pasar, melalui berbagai instrumennya, agar roda perekonomian dapat tetap berjalan. Dari sinilah kita mengenal istilah kebijakan subsidi ( subsidy policy ) untuk petani dan nelayan kecil karena mereka tidak mampu menyediakan unsur-unsur faktor produksi, seperti pupuk dan BBM. Tanpa subsidi, mustahil akan ada beras dan ikan karena biaya produksi lebih besar daripada keuntungan ( nonprofitable ). Selain itu, kita juga mengenal istilah-istilah lain, seperti kebijakan fiskal dan moneter, pengurangan pajak, deregulasi, antimonopoli, dan sebagainya.

Intervensi semacam inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur hegemoni sistem ekonomi tengkulak, di mana pada kondisi tertentu, mereka telah menciptakan sistem ekonomi monopoli. Bagaimana tidak, mereka beroperasi mulai dari penyediaan finansial, pemilikan faktor-faktor produksi, dan menentukan jalur pemasaran. Artinya, semua mata rantai dikuasai oleh mereka. Bisa jadi sistem ini tidak sesuai dengan Pasal 17 UU No 05/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Pemerintah perlu memikirkan peraturan yang dapat membantu nelayan kecil keluar dari mekanisme pasar yang seperti ini. Tentu, bukan dengan memusuhi tengkulak karena sesuai dengan hukum ekonomi, mereka tidak dapat dipersalahkan. Begitupun dari sisi hukum budaya, mereka tidak dapat dikesampingkan karena pada kenyataanya mereka adalah orang-orang yang dihormati dan dibela oleh para pekerjanya.

Pemerintah harus menciptakan suatu sistem ekonomi yang kait-mengait antara pekerja, tengkulak, TPI, koperasi, dan pemerintah sebagai pengawas dan pengendali. Bisa saja para tengkulak dirangkul dan diberikan bantuan modal oleh pemerintah karena memang merekalah yang dianggap layak ( bankable ). Selanjutnya, bantuan itu dapat digunakan untuk membiaya para anggotanya atau memperluas usahanya. Tapi, mereka harus dipagari oleh aturan-aturan yang mengatur jalur pasar ikan, mulai dari produksi sampai pemasaran. Keterkaitan semua komponen itu harus diatur sehingga jalur-jalur distribusi ikan yang tidak melalui mekanisme ini dapat diperiksa oleh pos-pos retribusi hasil laut yang ada di jalan raya. Pada tingkat daerah, regulasi intervensi pemerintah semacam ini dapat dipikirkan mekanismenya dan diputuskan melalui perda atau peraturan kepala daerah.

Sistem bagi hasil
Ada pula sistem lain yang dapat dimasukkan dalam kebijakan 'intervensi' pemerintah terhadap sistem ekonomi tengkulak tersebut, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan, sistem bagi hasil ini sudah dipikirkan dari sejak zaman Orde Lama sebagai bukti bahwa pemerintah sudah lama peduli terhadap mereka. Pemerintahan Orde Lama yang berbau sosialis itu justru telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang betul-betul melindungi rakyat kecil, baik petani maupun nelayan, yaitu UU No 02/1960 tentang Perdjandjian Bagi Hasil (Pertanian) dan UU No 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Bahkan, pelaksanaan bagi hasil ini harus diawasi oleh pemerintah daerah untuk menghindari pemerasan dan ketidakadilan.

Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut betul-betul mengatur secara perinci praktik bagi hasil usaha perikanan. Seperti, Pasal 3 ayat 1 UU 16/1964 yang menyebutkan bahwa "Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut. Untuk perikanan laut: a. jika dipergunakan perahu layar: minimum 75 persen (tujuh puluh lima perseratus) dari hasil bersih; b. jika dipergunakan kapal motor: minimum 40 persen (empat puluh perseratus) dari hasil bersih."

Sementara itu, Pasal 3 ayat 2 menyebutkan, "Pembagian hasil di antara para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri dengan diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu)."

Itulah bukti bahwa pemerintah sebenarnya sejak dahulu telah memerhatikan kesejahteraan nelayan sampai masalah bagi hasil saja harus diatur oleh sebuah undang-undang. Entah mengapa kemudian, pada praktiknya, peraturan semacam ini malah tidak diaplikasikan. Apakah mungkin karena "sistem ekonomi kapitalis" yang berkedok "ekonomi Pancasila" itu tumbuh subur pada era Orde Baru bahkan menjadi haluan sistem ekonomi negara? Atau, karena undang-undang tadi merupakan produk Orde Lama yang berbau sosialis? Yang dapat menjawab hal ini adalah mereka yang mengalami sejarah itu sendiri.

Memang, pada konsideran "menimbang", UU No 16/1964 itu dinyatakan, "a) sebagai salah satu usaha untuk menuju ke arah perwujudan masyarakat sosialis Indonesia pada umumnya, khususnya untuk meningkatkan taraf hidup para nelayan penggarap dan penggarap tambak serta memperbesar produksi ikan; pengusahaan perikanan secara bagi hasil, baik perikanan laut maupun perikanan darat, harus diatur hingga dihilangkan unsur-unsurnya yang bersifat pemerasan dan semua pihak yang turut serta masing-masing mendapat bagian yang adil dari usaha itu; b) bahwa selain perbaikan daripada syarat-syarat perjanjian bagi hasil sebagai yang dimaksudkan di atas perlu pula lebih dipergiat usaha pembentukan koperasi-koperasi perikanan yang anggota-anggotanya terdiri atas semua orang yang turut serta dalam usaha perikanan itu."

Belum didapatkan informasi, apakah UU No 02/1960 dan UU No 16/1964 telah dicabut. Kalau memang belum dicabut, ide dasar dari UU tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemerintahan saat ini untuk menyusun sebuah kebijakan yang dapat menyelesaikan masalah market failure yang telah diciptakan oleh sistem ekonomi tengkulak tadi untuk selanjutnya melindungi kepentingan ekonomi semua pihak, termasuk tengkulak itu sendiri.

Tidak ada komentar: