Selasa, 03 Maret 2009

Memutus Lingkaran Kemiskinan


Selasa, 3 Maret 2009 | 04:45 WIB

Oleh UKAY KARYADI

Akibat krisis ekonomi global, upaya pengurangan jumlah orang miskin di Indonesia tertahan (Kompas, 13/2).

Pada tahun 2009, jumlah warga miskin diperkirakan naik menjadi 33,714 juta orang, lebih tinggi daripada target pemerintah (32,38 juta orang).

Jumlah 33,714 juta orang miskin itu setara dengan 14,87 persen jumlah penduduk Indonesia. Artinya, tingkat kemiskinan meningkat dari rencana yang ditetapkan APBN 2009, yakni 14 persen dari jumlah penduduk. Angka ini melampaui target Rencana Pembangunan Jangka Menengah. Pada akhir kepemimpinan SBY-JK (2009), kemiskinan ditargetkan 8,2 persen.

Meski kemiskinan kian akut, pemerintah bertahan dengan konsep tiga kluster penanggulangan kemiskinan (Kompas, 14/2). Kluster pertama adalah pertolongan bagi rakyat miskin yang sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar.

Kluster kedua, pemerintah menggelar Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup layak, seperti infrastruktur atau pengembangan usaha. Kluster ketiga, pemerintah mengandalkan program kredit usaha rakyat guna memastikan agar penduduk miskin tidak kian miskin atau menjauhi garis kemiskinan.

Pertanyaannya, apakah program-program itu mampu mengangkat rakyat miskin dari kubangan kemiskinan?

Untuk mereduksi angka kemiskinan, diperlukan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas, berkelanjutan, dan berkeadilan. Laju pertumbuhan ekonomi berkualitas dan berkelanjutan ditentukan oleh laju pertumbuhan akumulasi modal (investasi) dari semua pelaku usaha dan perbaikan kualitas tenaga kerja serta perbaikan dalam total factor productivity.

Sementara itu, laju pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan memiliki dimensi keadilan jika pertumbuhan ekonomi dapat dinikmati seluruh masyarakat, terutama masyarakat paling bawah. Tepatnya, penciptaan pertumbuhan ekonomi harus melibatkan partisipasi semua lapisan masyarakat. Dalam bahasa ekonomi, semua lapisan masyarakat harus terlibat dalam faktor produksi.

Dengan demikian, upaya pencapaian pertumbuhan ekonomi harus senantiasa memerhatikan variabel kelembagaan masyarakat yang bersifat struktural.

Sekadar contoh, selama ini meski rakyat miskin mayoritas adalah petani di pedesaan, model pendekatan kebijakan pertanian yang digunakan bersifat analisis teknis ekonomi, yakni hanya memerhatikan masalah yang terkait dengan hasil dan biaya. Pembangunan pertanian cukup dilihat dengan membandingkan biaya yang diinvestasikan dengan hasil produksi yang diperoleh.

Dalam konteks ini, tidak dimasalahkan kelembagaan masyarakat mana yang diberi kegiatan investasi itu dan bagaimana hasilnya dapat didistribusikan kepada masyarakat. Model kebijakan seperti ini menganakemaskan produksi secara nasional, bukan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Dengan kata lain, model pembangunan yang tidak memerhatikan variabel kelembagaan membuat kalangan bawah mustahil dapat berkompetisi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi. Hal inilah yang membuat yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin masih tetap miskin, bahkan bertambah parah.

Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan kemiskinan telah melembaga sehingga menimbulkan kultur kemiskinan (culture of poverty). Pada posisi ini, rakyat miskin dalam lingkaran kemiskinan.

Dalam literatur ekonomi pembangunan, lingkaran kemiskinan dijelaskan, ”Karena miskin, produktivitas atau pendapatan menjadi rendah karena kemiskinan membuat daya tawar (bargaining power) dan daya kerja lemah. Karena produktivitas atau pendapatan rendah, maka kemiskinan timbul. Demikian seterusnya, seiring dengan perjalanan waktu kemiskinan kian lama kian bertambah parah”.

Keadaan itu dapat mengesankan bahwa rakyat miskin tidak ingin mengubah nasibnya. Kemiskinan dipandang sebagai suatu atribut permanen bagi mereka.

Oleh karena itu, solusi mendasar untuk mengatasi masalah kemiskinan adalah bagaimana memutus lingkaran kemiskinan. Hal itu hanya dapat dilakukan jika para pengambil kebijakan dapat meningkatkan posisi tawar masyarakat miskin sehingga mereka dapat berkompetisi dalam pemanfaatan sumber daya ekonomi. Dengan demikian, diyakini kalangan miskin dapat menikmati hasil dari setiap proses pembangunan yang dilaksanakan.

Tanpa langkah itu, proses pembangunan bukan hanya tidak mampu mengatasi persoalan kemiskinan, tetapi juga bisa berubah menjadi proses pemiskinan.

UKAY KARYADI Alumnus FE Unila dan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI

Tidak ada komentar: