Minggu, 15 Maret 2009

Puncak Jatuh Tempo Utang


Hingga Tahun 2045 Tak Akan Lunas
Sabtu, 14 Maret 2009 | 03:46 WIB

Jakarta, Kompas - Beban puncak pembayaran utang yang jatuh tempo, dan harus dilunasi pemerintah, terjadi tahun ini. Nilai utang luar negeri dan surat berharga negara, atau SBN, yang jatuh tempo mencapai Rp 112,19 triliun. Ini harus dilunasi agar Indonesia tidak digolongkan negara gagal bayar.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto, pembayaran utang yang jatuh tempo sudah diatur melalui mekanisme APBN.

”Untuk pembayaran bunga utang ditutup oleh anggaran belanja bunga, yang mengambil dana dari pendapatan negara. Sementara pelunasan pokok utang ditutup dari pinjaman luar negeri baru atau penerbitan SBN,” ujarnya di Jakarta, Jumat (13/3).

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menunjukkan, dari total pinjaman pemerintah yang jatuh tempo 2009, sebesar Rp 73,28 triliun di antaranya adalah pinjaman luar negeri. Adapun utang yang jatuh tempo dari SBN senilai Rp 38,91 triliun.

Pelunasan utang luar negeri tahun ini merupakan beban tertinggi dibanding pembayaran tahun-tahun mendatang.

Secara keseluruhan, beban pembayaran utang yang jatuh tempo tahun ini merupakan yang tertinggi, setidaknya untuk 23 tahun mendatang.

Besarnya beban pembayaran utang yang jatuh tempo tahun 2009 akan terkalahkan oleh besarnya beban pembayaran utang tahun 2033. Pada 2033, utang pemerintah yang jatuh tempo mencapai Rp 131,81 triliun. Besarnya beban itu akibat penumpukan surat utang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada BI, yakni 129,34 triliun.

Jika tak ada tambahan penerbitan SBN, utang pemerintah dalam bentuk obligasi akan habis pada 2039. Namun, ini hanya berdasarkan data hingga 31 Januari 2009, yang dipublikasikan Depke, padahal hasil penerbitan obligasi negara periode 1 Januari- 13 Maret 2009 saja sudah Rp 59 triliun.

Terjerat hingga 2045

Menanggapi hal itu, Kepala Divisi Jaringan dan Kampanye International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Wahyu Susilo mengatakan, perkembangan utang pemerintah sangat mengkhawatirkan. Tingginya nilai pinjaman negara akan membuat Indonesia tidak akan terlepas dari jerat utang setidaknya hingga tahun 2045.

”Besarnya beban pinjaman itu memberatkan APBN setiap tahunnya,” kata Wahyu.

Dalam empat tahun terakhir, kata Dirjen Pengelolaan Utang Negara, jumlah pinjaman luar negeri yang ditarik pemerintah lebih rendah dibanding utang luar negeri yang dilunasi, atau terjadi penurunan utang luar negeri baru (negative net additional foreign loans). Namun, kondisi sebaliknya terjadi pada SBN.

Nilai SBN baru yang dilepas ke pasar modal, di dalam maupun luar negeri, lebih tinggi dibandingkan SBN yang dibayar kembali oleh pemerintah.

Hal itu, kata Rahmat, karena hasil penerbitan SBN digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain menutup defisit APBN, membiayai cadangan risiko fiskal, mendukung investasi infrastruktur, dan melunasi pinjaman luar negeri yang jatuh tempo.

Adapun pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk proyek dan program spesifik. Dananya dialirkan ke kementerian dan lembaga nondepartemen, serta BUMN. (OIN)

Tidak ada komentar: