Jumat, 27 Maret 2009

KEUANGAN NEGARA


Krisis Utang Belum Teratasi
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:11 WIB

Oleh Kusfiardi

Pada awal masa pemerintahannya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-M Jusuf Kalla—populer disebut SBY-JK—sudah diingatkan berbagai kalangan untuk menyikapi persoalan utang luar negeri dengan tepat. Peringatan tersebut berkaitan dengan kondisi keuangan negara untuk pembangunan dan menggulirkan perekonomian rakyat, sudah tersedot untuk pelunasan utang.

Pada tahun 2004, pemerintah harus mengalokasikan sebesar 9,032 miliar dollar AS untuk cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Pelunasan kepada kreditor di luar negeri tersebut sebenarnya sudah menggerus pendapatan nasional dan merugikan keuangan negara.

Oleh karena itu, Presiden SBY dan Kabinet Indonesia Bersatu didesak untuk memberikan prioritas pembenahan anggaran negara untuk mencegah terjadinya krisis fiskal. Langkah yang harus ditempuh pemerintah tentu saja adalah mengurangi tekanan beban utang dalam keuangan negara (APBN).

Namun, sayangnya kebijakan yang dijalankan pemerintah masih jauh dari langkah untuk mengurangi beban utang. Kebijakan pemerintahan SBY-JK masih mempertahankan ketergantungan pada utang walaupun penerimaan utang baru setiap tahun jauh lebih kecil dibanding kewajiban melunasi utang pada tahun yang sama.

Kebijakan lainnya adalah menggantungkan pengurangan utang hanya pada mekanisme pertukaran utang dengan program kegiatan (debt swap).

Sedangkan usaha untuk melakukan pengembalian utang yang belum dan tidak digunakan pemerintah, dan menuntut pengembalian commitment fee atas pinjaman yang belum dipakai, tidak diupayakan secara maksimal. Apalagi melakukan proses evaluasi atas keabsahan transaksi utang yang berjalan sebelumnya.

Kebijakan tersebut tentu saja tidak bisa mengatasi besarnya stok utang pemerintah. Padahal, tingginya stok utang pemerintah sudah menimbulkan crowding out di pasar uang. Dampaknya akan membuat alokasi kredit bank pada dunia usaha serta rumah tangga berkurang.

Sementara, di sisi lain mendorong terjadinya peningkatan tingkat suku bunga di pasar uang dalam negeri. Beban utang pemerintah yang besar itu sekaligus meningkatkan risiko devaluasi nilai tukar rupiah maupun country risk republik ini. Kondisi ini lagi-lagi akan meningkatkan suku bunga yang dikenai dunia internasional bagi pelaku ekonomi di negeri ini.

Beban meningkat

Sebagaimana pemerintahan sebelumnya, pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY masih melanjutkan transaksi pembuatan utang luar negeri melalui forum Consultative Group on Indonesia (CGI). Sampai tahun 2006, utang luar negeri pemerintah yang disanggupi CGI berjumlah 26.069,70 miliar dollar AS.

Utang tersebut terdiri dari utang bilateral sebesar 10.147,70 miliar dollar AS dan utang multilateral berjumlah 15.922,00 miliar dollar AS. Secara akumulatif, jumlah utang luar negeri pemerintah yang disetujui oleh CGI setiap tahunnya selalu meningkat walaupun secara nominal jumlah utang yang disetujui setiap tahun angkanya fluktuatif.

Kebijakan penambahan utang baru setiap tahun untuk menutupi defisit anggaran pada saat yang sama bukan saja meningkatkan jumlah dan outstanding utang luar negeri pemerintah. Kebijakan tersebut juga berpengaruh pada meningkatnya beban pembayaran utang luar negeri yang terdiri dari cicilan pokok dan bunga. Beban tersebut secara akumulatif telah membuat pembayaran utang semakin memberatkan keuangan negara.

Meskipun pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengembalikan pinjaman siaga dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan membubarkan CGI, ternyata outstanding utang luar negeri pemerintah justru meningkat.

Menurut data yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, outstanding utang luar negeri pemerintah pada tahun 2005 berjumlah 80,072 miliar dollar AS. Pada triwulan pertama tahun 2008, outstanding utang luar negeri pemerintah sudah meningkat lagi menjadi 87.519 miliar dollar AS.

Kondisi ini membuktikan bahwa pemerintah tidak berhasil dalam menurunkan outstanding utang luar negeri. Selain itu, meningkatnya outstanding utang luar negeri tersebut diikuti pula dengan meningkatnya utang komersial pemerintah yang jumlahnya sudah lebih besar dibanding utang nonkomersial.

Pada tahun 2005, outstanding utang luar negeri komersial pemerintah berjumlah 9,440 miliar dollar AS. Pada triwulan I-2008, posisi utang luar negeri komersial pemerintah sudah berjumlah 21,185 miliar dollar AS.

Kenaikan outstanding utang luar negeri komersial tersebut merupakan kompensasi dari menurunnya outstanding utang luar negeri nonkomersial. Outstanding utang luar negeri nonkomersial pemerintah pada tahun 2005 berjumlah 54,362 miliar dollar AS. Pada triwulan I-2008, utang luar negeri komersial pemerintah berkurang menjadi 51,026 miliar dollar AS.

Melihat perkembangan outstanding utang luar negeri pemerintah tersebut, wajar saja jika pembayaran utang luar negeri pemerintah menunjukkan kecenderungan meningkat. Pada tahun 2005 pembayaran utang luar negeri pemerintah berjumlah 7,048 miliar dollar AS. Pada tahun 2006 jumlah tersebut meningkat menjadi 17,056 miliar dollar AS. Kemudian dalam APBN Perubahan 2008 pemerintah mengalokasikan Rp 92,242,7 triliun untuk pembayaran utang luar negeri, maka pada tahun 2009 nanti jumlah tersebut meningkat menjadi Rp 94,891,4 triliun.

Dengan meningkatnya kewajiban pembayaran utang luar negeri, maka strategi yang ditempuh pemerintah tidak banyak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya. Untuk sumber pembiayaan dari dalam negeri pemerintah akan menggunakan dana dari perbankan dalam negeri. Kemudian diikuti dengan upaya menggalang penerimaan dari privatisasi, penjualan aset, menerbitkan surat utang negara, dan tentu saja dengan meneruskan pembuatan utang baru.

Untuk tahun anggaran 2009 nanti pemerintah akan menarik pinjaman luar negeri baru yang terdiri dari utang program dan utang proyek, yang masing-masing berjumlah Rp 21, 173,4 triliun dan Rp 24,876,3 triliun.

Presiden SBY memang sudah mengambil keputusan berarti menjelang akhir 2006 lalu, yaitu mengembalikan pinjaman IMF dan membubarkan CGI. Namun sayangnya, kondisi tersebut tidak diikuti dengan kemampuan untuk menurunkan beban utang luar negeri pemerintah. Bahkan yang terjadi justru beban utang luar negeri pemerintah semakin meningkat.

Peningkatan beban utang tersebut, diikuti dengan potensi ancaman semakin membebani keuangan negara, mengingat peningkatan utang luar negeri pemerintah justru terjadi pada utang komersial. Utang luar negeri komersial adalah utang yang masa jatuh temponya pendek dan suku bunga yang berlaku mengikuti tingkat suku bunga pasar.

Dengan demikian, pemerintahan yang dipimpin Presiden SBY belum mampu mengatasi krisis utang. Namun sebaliknya, justru menambah jumlah utang yang semakin memberatkan keuangan negara dan membebani rakyat.

Dengan beban utang yang besar akan sulit bagi rakyat untuk memperoleh hak-hak konstitusinya yang sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Kecuali apabila pemerintahan baru yang terpilih nanti tidak lagi tergantung pada utang dan mau menegosiasikan pengurangan utang.

Kusfiardi Pengamat Ekonomi dan Dewan Pakar Koalisi Anti Utang (KAU)

Tidak ada komentar: