Senin, 30 Maret 2009

Paradigma IMF Era G-20


Senin, 30 Maret 2009 | 04:20 WIB

Tahun ini lembaga keuangan internasional (Bank Dunia dan IMF) yang dibentuk pada akhir Perang Dunia II di Bretton Woods memasuki usia pensiun 65 tahun. Secara aksidental, dunia dilanda tsunami krismon dari episentrum kekuatan ekonomi terbesar dunia, AS.

Ironisnya, AS sangat bergantung pada RRC yang dalam usia 60 tahun menjadi kreditor dan bankir terbesar dengan dana yang dipinjamkan dan ditanam di AS sudah melewati 1 triliun dollar AS. Sementara bank-bank papan atas Eropa hampir semua turut tersedot kubangan KPR suprima AS.

Karena dana Eropa dan selu- ruh dunia terbenam dalam lumpur Wall Street yang seolah memiliki impunitas, Presiden Sarkozy memprakarsai peningkatan KTM G-20 menjadi KTT yang dilangsungkan di Washington, 15-16 November. Presiden Bush masih menjadi tuan rumah KTT pertama G-20 yang mewakili 80 persen PDB dunia dan dua pertiga penduduk bumi.

KTT Washington sudah mengisyaratkan arus kuat reformasi struktur Bank Dunia/IMF serta perlunya menciptakan lembaga pengawas supranasional untuk mencegah terulangnya tsunami Wall Street. Reformasi Bank Dunia/IMF merupakan tuntutan realitas sejarah yang telah berubah sejak lahirnya kedua lembaga itu. Kekuatan ekonomi yang dulu menjadi pemegang saham mayoritas telah susut kekuatannya. Sedangkan kekuatan ekonomi baru, seperti BRIC (Brasil, Rusia, India, dan China) belum memperoleh porsi saham yang setara dengan kekuatan riil mereka.

Monster predator

AS mengalami kemerosotan ekonomi karena dua faktor utama. Pertama, beban sebagai polisi dunia dan perang teror yang mengakibatkan pengeluaran nonproduktif sangat besar. Kedua, sektor produktif manufaktur telah kehilangan daya saing secara signifikan. Karena itu, elite sektor finansial Wall Street menciptakan produk derivatif yang nilainya 684 triliun dollar AS atau 11 kali total PDB dunia yang 60 triliun dollar AS. Industri derivatif itu bertiwikrama menjadi monster predator yang menelan sektor keuangan dan perbankan konvensional dengan aset bermasalah dan beracun. Monster inilah yang ingin dijinakkan oleh elite global G-20.

Uni Eropa tidak ingin dipaksa terus mengeluarkan stimulus tanpa pemulihan kepercayaan kepada perbankan global karena itu impunitas pelaku monster beracun harus segera dituntaskan.

Pada 14 Maret 2009, KTM G-20 London mengeluarkan komunike. Pasal 7-nya menyatakan, International Organization of Securities Commission (IOSCO) akan ditingkatkan peranannya sebagai badan pengawas supranasional untuk mencegah terulangnya krisis. Pasal 8 KTM menyebut, perombakan kuota IMF untuk meningkatkan porsi emerging markets harus selesai pada Januari 2011. Sedangkan perombakan Bank Dunia harus diselesaikan pada April 2010, termasuk demokratisasi pimpinan BD/IMF harus berdasarkan meritokrasi dan bukan lagi kuota duopoli AS untuk BD dan Eropa untuk IMF.

Komunike ini akan dikukuhkan dan menjadi substansi KTT G-20 pada 2 April di London. Presiden Yudhoyono akan berangkat di tengah kesibukan karena makna strategis KTT ini bagi Indonesia. Sayang, karena elite Indonesia sibuk berkampanye saling kritik, mungkin kurang menyadari polemik serius antarelite puncak G-20. Tanggal 13 Maret, Perdana Menteri Wen Jiabao tanpa basi-basi menyatakan khawatir terhadap nasib investasi dan dana RRC yang telanjur ditanam di AS. Presiden Obama setelah berdialog dengan Presiden Lula da Silva di Gedung Putih dan menelepon Presiden Yudhoyono, 14 Maret langsung menyatakan jaminan bahwa investasi siapa pun terjamin di AS sebagai negara yang paling tepercaya sistem politiknya.

Tapi, Rusia melontarkan gagasan meninggalkan dollar seba- gai penyangga internasional. Suatu usulan yang terus dibolasaljukan oleh Gubernur Bank Sentral Tiongkok. Presiden Obama sendiri harus menghadapi front domestik dan menjadi kolumnis di 31 koran seluruh dunia untuk menjelaskan posisi AS dalam tsunami keuangan global.

Jelas bahwa krismon global ini masih akan berlangsung sepanjang tahun 2009 dan pemulihan hanya bisa mulai terasa pertengahan 2010. Tampaknya KTT G-20 masih diwarnai dikotomi sikap AS yang mau stimulans seluruh dunia sebagai prasyarat pemulihan ekonomi, sedang kubu Eropa, BRIC, dan emerging markets ingin pemulihan kepercayaan dengan merombak otorita moneter supranasional baru sehingga kredibilitas pulih dan pasar menjadi normal kembali. Penggelontoran stimulus dalam kondisi lenyapnya kredibilitas tak akan menjamin suksesnya stimulus.

BRIC telah mengeluarkan pernyataan sendiri di samping komunike resmi KTM London. Indonesia tak ikut dalam ”statement BRIC” barangkali karena posisi SBY sebagai incumbent harus berhati-hati dalam mengambil sikap. Padahal, Indonesia memerlukan kecanggihan diplomasi komprehensif yang tidak terlalu teknokratis, tetapi merupakan sinergi tindak strategis.

Bukan cuma figuran

Diplomasi kemitraan komprehensif yang dikumandangkan Obama dan Hillary rupanya tidak cukup canggih direspons oleh elite Indonesia. Penyebabnya: mentalitas oposisi sektarian partisan yang bisa menyulitkan incumbent dalam mengambil putusan. Akibatnya, Indonesia amat canggung dalam melakukan manuver. Mikhail Gorbachev, misalnya, berkeliling AS dengan mendukung Medvedev dan Putin yang akan mengurangi peranan dollar dalam arsitektur keuangan pascaperombakan IMF.

Inti masalah yang harus disosialisasikan ialah bahwa kehadiran kita di KTT G-20 bukan untuk sekadar mengulangi minta dana dari IMF walau itu merupakan hak kita dan IMF sendiri juga sudah bertobat dan mengakui kesalahan ”malapraktik” dalam terapi dan resep krismon 1998. Paradigma era G-20, Indonesia sebagai anggota G-20 justru ikut merombak dan menentukan pola operasi IMF.

Meminjam kembali dari IMF bukan hanya suatu kebodohan mengulangi masa lalu, sebab hanya akan membebani kita dengan suku bunga termahal untuk obligasi 5-10 tahun. Sementara RRC malah menerima bunga 3,25 persen untuk obligasi AS jangka 30 tahun. Indonesia perlu bermanuver untuk memperoleh dana dari IMF yang lebih murah. Kalau RI membayar dua kali lebih mahal dibandingkan AS, akan lebih murah menerima dana dari RRC.

Ini memerlukan pendekatan geopolitik komprehensif dan bukan sekadar teknokratis belaka. Juga memerlukan kesadaran elite akan paradigma baru arsitektur keuangan global di mana kita ikut berperan proaktif dan bukan sekadar sebagai figuran atau obyek pasif.

Christianto Wibisono Analis Ekonomi Politik Internasional

Tidak ada komentar: