Senin, 30 Maret 2009

Prospek Pemulihan Ekonomi


Senin, 30 Maret 2009 | 04:17 WIB

Hampir semua orang bertanya, kapan krisis global ini berakhir? Sudahkah batas terbawah terlalui atau masih akan menyusur lebih dalam lagi? Benarkah perekonomian dunia akan pulih pada tahun 2010 sebagaimana diramalkan Ketua Bank Sentral Amerika Serikat Ben Bernanke? Tak seorang pun memiliki jawaban meyakinkan.

Dana Moneter Internasional (IMF) terpaksa berkali-kali menurunkan prediksi pertumbuhan ekonomi global, terakhir pada 0,5 persen untuk tahun 2009. Baru-baru ini, Bank Dunia bahkan meramalkan ekonomi global akan mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 1-2 persen. Pertanyaannya, mengapa lembaga sekaliber IMF dan Bank Dunia tidak mampu memprediksi dengan baik?

Di situlah letak gawatnya persoalan. Perekonomian tak lagi digerakkan oleh ”faktor-faktor fundamental”, tetapi didominasi oleh ”faktor spekulatif”. Itulah mengapa resesi lebih cepat datang dan lebih dalam dari perkiraan. Jangan kaget pula kalau nanti perekonomian juga pulih lebih cepat dari dugaan. Semua itu karena faktor spekulasi. Apa risikonya bagi kita, jika pemulihan ekonomi didorong faktor spekulasi?

Akar masalah

Ada banyak argumen menjelaskan akar krisis global ini. Tapi, satu hal krusial yang mengerucut, berkembangnya secara liar sistem perbankan bayangan (shadow banking system). Dalam sistem perbankan tradisional, uang yang dikumpulkan sebagai dana pihak ketiga (DPK) akan disalurkan kembali dalam bentuk kredit, baik produktif (industri) maupun konsumtif (kredit rumah, kartu kredit).

Dalam sistem perbankan bayangan, uang tak dikembalikan dalam bentuk kredit, melainkan diputar dalam instrumen-instrumen investasi yang semakin lama semakin canggih. Mulai dari commercial mortgage-backed securities (CMBS) hingga collateralized debt obligations (CDO). Aktor yang terlibat pun banyak, yaitu bank investasi, hedge funds, money-market funds, hingga perusahaan keuangan lain.

Sistem perbankan bayangan telah meniupkan gelembung ekonomi hingga meletus dengan pemicu subprime mortgage yang terjadi mulai Juli 2007 di AS. Rentetan masalahnya begitu panjang, krisis finansial telah menyebabkan kekeringan likuiditas sehingga menyeret krisis manufaktur. Dan, bukannya mereda, kini justru memicu krisis tenaga kerja (The Economist, 14-20/3).

Kegusaran dunia tecermin dalam pertemuan para menteri keuangan G-20 yang baru lalu. Ada ketegangan dalam penyusunan agenda, apakah fokus pada pengetatan regulasi sistem keuangan (agenda Uni Eropa) atau menambahkan dana stimulus untuk menggerakkan ekonomi (agenda AS). Gaung yang terasa di negeri kita, dana stimulus harus ditambah karena amanat G-20 menyatakan defisit anggaran harus minimal 2 persen terhadap PDB.

Memang pengeluaran pemerintah menjadi satu-satunya kekuatan yang masih bisa diandalkan menggerakkan perekonomian. Tapi, benarkah uang yang mengucur akan membenahi faktor-fakor fundamental dalam perekonomian atau justru menambah amunisi perilaku spekulasi. Untuk itulah pengetatan regulasi sistem keuangan tidak bisa ditawar lagi.

Jebakan krisis

Dampak krisis global pada perekonomian Indonesia makin terasa. Pertama, krisis likuiditas (credit crunch) sektor perbankan makin terasa tingkat kegawatannya. Meski BI Rate sudah diturunkan ke level 7,75 persen, bunga kredit masih pada kisaran 14-16 persen. Memang benar pada saat krisis instrumen suku bunga tak akan efektif. Bank ketakutan menyalurkan kredit karena tidak yakin terhadap kondisi keuangan para peminjam. Bahkan, pasar uang antarbank (PUAB) juga seret sehingga memerlukan jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Kedua, sektor-sektor industri yang terpukul karena mandeknya permintaan semakin hari semakin banyak. Pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi tak terelakkan. Pertumbuhan ekonomi pun diperkirakan tak akan melampaui 3,5 persen. Sementara tambahan dana stimulus juga mengundang persoalan, siapa yang berhak mendapatkan talangan dan dengan cara apa. Sudah jamak di negeri ini, setiap pengucuran dana disertai ”kutipan” dalam persentase tertentu. Jika begitu, muara pada politik uang terkait pemilu tak terhindarkan.

Malaysia dan Korea Selatan mengalami guncangan lebih besar karena perekonomian mereka sangat bergantung pada pasar ekspor. Kita masih beruntung karena dua hal, perekonomian lebih ditopang permintaan domestik dan pasar finansial belum terlalu maju. Namun, kita juga punya risiko lebih besar karena krisis sangat mungkin akan berlangsung lebih lama. Ada kekhawatiran, Indonesia bersama Filipina, Pakistan, dan negara-negara Eropa timur akan mengalami fase krisis lebih lama dari yang lain.

Secara umum, negara maju akan mengalami fase krisis cukup panjang sebelum akhirnya bangkit (U-shape). Namun, saya menduga, begitu situasinya tenang, lebih mudah bagi negara maju untuk bangkit karena ditopang faktor spekulasi para investor di pasar finansial. Tak lama lagi, Pemerintah AS akan mengeluarkan surat utang negara sebesar lebih kurang 2 triliun dolar AS. Maka, minat para investor global akan tersedot pada instrumen tersebut, sementara untuk mempertahankan peminat, pemerintah kita harus mematok bunga obligasi hingga kisaran 15 persen.

Itulah salah satu sebab mengapa AS cenderung enggan meregulasi secara ketat sistem finansialnya. Hidup matinya perekonomian AS masih akan bergantung pada pasar finansial. Justru negara sedang berkembang seperti kita, risiko jebakan krisis akan semakin menguat.

Melihat peliknya persoalan ekonomi domestik, tak mengherankan jika nanti negara tetangga, seperti Malaysia dan Korea Selatan, bisa keluar dari krisis, kita justru diam-diam terjerat dalam krisis yang makin dalam.

A Prasetyantoko Pengamat Ekonomi dan Pengajar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Tidak ada komentar: