Jumat, 27 Maret 2009

STRATEGI UTANG


Tak Sekadar untuk Menambal Defisit
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:12 WIB

Pemerintah membantah kebiasaan mengadakan utang setiap tahun, baik utang dalam negeri maupun luar negeri, sebagai suatu bentuk ketagihan terhadap utang yang sangat kental bernuansa strategi ”gali lubang tutup lubang”.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen keuangan Rahmat Waluyanto, kepentingan menutup defisit hanya salah satu alasan pemerintah terus menambah utang setiap tahun. Ada beberapa alasan lain mengapa pemerintah terus terperangkap dalam rutinitas membuat utang baru, khususnya lewat penerbitan instrumen surat utang negara.

Salah satunya, penerbitan utang baru diperlukan dalam rangka pengelolaan risiko pembiayaan (financing). Hal ini dilakukan dengan menerbitkan surat utang baru bertenor lebih panjang untuk membayar utang lama (baik dalam negeri maupun luar negeri) yang jatuh tempo.

Rahmat tak begitu setuju langkah ini disebut sebagai strategi gali lubang tutup lubang. ”Memang ini boleh dikatakan gali lubang tutup lubang. Tetapi, di dalam gali lubang tutup lubang ini, kita harus mendapatkan terms yang lebih baik. Ini bisa kita lakukan, misalnya jangka waktunya lebih panjang. Yang tadinya hanya bisa utang lima tahun, sekarang bisa sampai 10 tahun, bahkan 30 tahun, baik itu utang dalam negeri maupun luar negeri. Ini untuk mengurangi refinancing risk,” ujarnya.

Penerbitan utang juga diperlukan sebagai acuan (benchmarking) dalam penetapan harga bagi aset finansial lain di pasar modal atau pasar uang. Untuk kepentingan benchmarking ini, perlu dilakukan penerbitan surat berharga negara (SBN) secara reguler.

Pengembangan pasar SBN bukan hanya bisa menjadi tumpuan pembiayaan APBN, tetapi juga landasan bagi pengembangan pasar modal secara keseluruhan. ”Pasar modal, termasuk pasar uang, itu bertumpu pada sejauh mana pasar surat berharga suatu negara berkembang karena harga surat berharga negara menjadi acuan aset keuangan lainnya,” ujarnya.

Ketiga, pengadaan utang baru juga diperlukan dalam rangka meningkatkan likuiditas dan kedalaman pasar (market depth). Hal ini dilakukan dengan menambah jumlah pasokan atau suplai instrumen tertentu ke pasar.

Keempat, penerbitan utang baru juga diperlukan dalam rangka diversifikasi instrumen atau jenis surat berharga negara (SBN) baru guna memperluas basis investor atau sumber pembiayaan, terutama di dalam negeri.

”Kita tak bisa bergantung pada perbankan saja, apalagi perbankan dalam negeri. Kita sudah belajar dari krisis tahun 1997/1998. Keterpurukan waktu itu dipicu oleh krisis sektor keuangan dan perbankan sehingga dampaknya terasa sampai sekarang. Pada saat perbankan kolaps, kita tak punya alternatif. Berbeda dengan negara maju yang sudah memiliki pasar modal. Pasar modal di negara kita belum berkembang dengan baik,” ujarnya.

Penerbitan utang baru juga bisa menjadi instrumen investasi atau instrumen pengelolaan kas negara atau instrumen investasi. ”Berbagai negara maju menggunakan untuk mengelola kelebihan uang tunai mereka,” ujarnya.

Bukan ketagihan

Rahmat juga membantah tudingan tidak adanya strategi yang jelas dalam pengelolaan utang selama ini. Dibandingkan sebelumnya, menurut Rahmat, paradigma pemerintah menyangkut utang kini sangat jauh berbeda.

Kalau sebelumnya kita hanya mengenal administrasi utang, kini pemerintah menempatkan pengelolaan utang sebagai suatu aspek prioritas dan bersifat dinamis, terutama karena sebagian besar utang yang ada sekarang ini merupakan utang yang berasal dari pasar.

”Dalam pengelolaan utang, kita tak hanya melihat aspek dinamika pasar yang terus bergerak. Tetapi, ada satu tujuan yang harus dilakukan, yaitu mengelola risiko dan biaya. Intinya, meminimalkan biaya pada tingkat risiko yang bisa dikelola dengan baik (manageable) dalam jangka panjang,” ujarnya.

Parameternya, antara lain, pengelolaan utang yang semakin efisien. Artinya, setiap sen utang yang diterima benar-benar dipakai untuk menumbuhkan aktivitas ekonomi produktif atau produk domestik bruto (PDB). Selain itu, rasio bunga terhadap belanja juga terus menurun. Demikian pula, tingkat risiko yang juga turun. Penurunan ini, menurut dia, tidak harus dalam arti nominal, tetapi bisa dalam angka rasio.

Risiko dalam manajemen utang meliputi antara lain risiko yang dihadapi dalam pembiayaan kembali utang (refinancing risk).

Hal ini terutama penting untuk negara seperti Indonesia yang profil jatuh tempo utangnya cenderung menumpuk pada suatu periode tertentu sehingga tanpa adanya upaya menata kembali profil jatuh tempo utang, risiko gagal bayar utang (default) dan biaya yang diperlukan untuk me-refinancing utang juga sangat besar.

Utang yang semakin besar, menurut Rahmat, tidak perlu dikhawatirkan sejauh itu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan masih dimungkinkan melakukan refinancing.

”Defisit APBN dan refinancing memang meningkat sehingga utang juga nambah. Tetapi, utang itu harus dilihat untuk apa. Kalau itu untuk restrukturisasi atau pengelolaan terhadap risiko refinancing, ya enggak apa-apa dong. Kalau kita menambah utang dan tiap sen utang itu bisa kita kelola dengan baik untuk mendorong aktivitas ekonomi produktif sehingga PDB naik dan rasio utang terhadap PDB mengecil, tidak masalah. Sepanjang cost-nya juga masuk akal. Itu namanya bukan ketagihan,” kata Rahmat.

Risiko lainnya adalah risiko pasar atau risiko finansial, seperti risiko terhadap perubahan suku bunga, risiko nilai tukar mata uang, dan risiko likuiditas.

Risiko suku bunga bisa ditekan dengan mengurangi porsi surat utang dengan tingkat suku bunga variabel dalam portofolio utang kita. Sementara risiko nilai tukar bisa dikurangi dengan mengurangi porsi utang dalam denominasi valuta asing.

”Itu sudah kita lakukan. Porsi obligasi variable rate yang tadinya 55 persen sekarang tinggal 30 persen. Demikian pula porsi pinjaman dalam valas. Porsi utang rupiah sekarang ini masih di atas 50 persen,” ujarnya.

Risiko likuiditas bisa ditekan dengan diversifikasi instrumen di pasar. ”Yang dimaksud risiko likuiditas, kalau orang yang memegang obligasi kita—terutama yang jangka panjang—perlu uang, dia enggak bisa menjual ke market atau bisa jual ke market, tetapi dengan diskon yang sangat besar. Jadi, instrumen tak likuid,” ujarnya.

Peran surat berharga negara sebagai instrumen fiskal, instrumen moneter, instrumen pengelolaan portofolio utang negara, instrumen benchmarking, dan instrumen pengelolaan kas negara itu membuat penambahan utang atau penerbitan surat utang negara akan tetap dilakukan pemerintah kendati tak ada lagi defisit yang perlu ditutup atau APBN mengalami surplus.

Jadi, kalau ditanya, sampai kapan kita akan bergantung pada utang atau terus membuat utang baru? Mungkin tak ada yang bisa menjawab. Rahmat mengatakan, dari pemerintah sendiri tidak ada target definitif.

”Kalau pinjaman luar negeri mungkin bisa. Sejak tahun 2005, pinjaman luar negeri terus mengalami penurunan sebagai dampak dari semakin menurunnya kegiatan yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Selain itu, jumlah pinjaman yang jatuh tempo juga jauh melampaui jumlah pinjaman baru yang dilakukan. Jadi terjadi negative net adfitional external loans,” ujarnya

Untuk utang domestik, sampai kapan pun, sepanjang masih ada orang yang kelebihan uang mau investasi, menurut Rahmat, akan tetap diperlukan instrumen seperti SBN. Artinya, ya nambah utang terus.... (tat/aik)

Tidak ada komentar: