Senin, 30 Maret 2009

analisis danareksa


Meneropong Angka Penjualan Mobil
Senin, 30 Maret 2009 | 04:37 WIB

Prestasi penjualan mobil tahun 2008 cukup fantastis. Melambungnya permintaan telah mendongkrak penjualan mobil 2008 hingga tembus 603.774 unit, atau naik 39,3 persen dari tahun sebelumnya. Rekor penjualan bulanan tertinggi pun tercapai pada bulan Juli 2008 yang mencapai 60.352 unit. Handri Thiono

Besarnya permintaan mobil ini juga berpengaruh positif bagi bisnis pembiayaan konsumsi. Hingga akhir September 2008, nilai persetujuan kredit konsumsi mencapai Rp 42 triliun, atau meningkat lebih dari 42 persen dibandingkan periode sebelumnya.

Namun, memasuki akhir 2008, penjualan mobil terlihat melambat. Pertumbuhan penjualan mobil periode Oktober-Desember 2008 melambat dari 76,1 persen menjadi 1,78 persen.

Pelemahan ini justru terjadi ketika indeks kepercayaan konsumen yang menggambarkan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi mengalami perbaikan.

Kondisi ini memicu pendapat bahwa membaiknya keyakinan konsumen tidak serta-merta mendorong perbaikan angka penjualan mobil. Benarkah demikian?

Sejak tahun 2007, pasar mobil nasional memang berkembang cerah. Jumlah mobil yang laris terjual pada tahun 2007 mencapai 433.341 unit (naik 35,9 persen) dan kembali meningkat pada tahun 2008 menjadi 603.774 unit (naik 39,3 persen).

Angka penjualan pada 2008 ini bahkan merupakan rekor penjualan tertinggi dalam lima tahun terakhir. Meskipun total penjualan mobil tahun 2008 meroket, tetapi tingkat pertumbuhannya justru semakin melambat.

Pertumbuhan penjualan mobil melambat menjadi 1,8 persen pada Desember 2008, bahkan mengalami kontraksi 26,8 persen pada bulan Februari 2009.

Menariknya, kondisi ini ternyata terjadi di tengah semakin membaiknya kepercayaan masyarakat pada perekonomian. Hal ini tergambar dari naiknya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) Danareksa Research Institute (DRI) sejak Juli 2008.

IKK adalah indeks yang disusun berdasarkan survei terhadap 1.700 rumah tangga Indonesia, yang menggambarkan persepsi rumah tangga terhadap kondisi perekonomian, pendapatan rumah tangga, dan ketersediaan lapangan kerja (lihat Grafik 1).

Pascakenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi Mei 2008, IKK sempat terjerembab ke level terendah sepanjang sejarah. Namun, seiring melonggarnya tekanan inflasi akibat terkendalinya harga bahan pangan, IKK kembali meroket.

Melihat kondisi ini, penting rasanya untuk menganalisis lebih jauh kondisi yang mendorong rumah tangga membeli mobil sepanjang tahun 2008.

Salah satunya adalah dengan melihat data rencana pembelian mobil yang ada di dalam survei kepercayaan konsumen. Rencana pembelian (buying intention) mengukur proporsi rumah tangga yang merencanakan pembelian barang (dikelompokkan berdasarkan pendapatan rumah tangga) dalam 6 bulan mendatang.

Perubahan proporsi rumah tangga atas rencana pembelian barang berguna untuk melihat kecenderungan belanja rumah tangga pada bulan-bulan mendatang.

Selanjutnya, rumah tangga dikelompokkan berdasarkan pendapatan per bulan, yaitu kelompok rumah tangga berpendapatan kurang dari Rp 500.000 (RT 1), kelompok rumah tangga berpendapatan antara Rp 500.001-Rp 700.000 (RT 2), kelompok rumah tangga berpendapatan antara Rp 700.001-Rp 1.500.000 (RT 3), dan kelompok rumah tangga berpendapatan di atas Rp 1.500.000 (RT 4).

Sepanjang periode Januari-Juni 2008, penurunan IKK ternyata diikuti penurunan rencana pembelian mobil oleh rumah tangga.

Keyakinan konsumen

Pada saat IKK merosot dari level 78,4 ke level 65,3, proporsi rencana pembelian mobil juga merosot dari level 58,3 menjadi 36,4. Artinya, melemahnya keyakinan konsumen terhadap kondisi perekonomian akan mendorong rumah tangga mengurangi atau menunda pembelian mobilnya pada masa datang.

Hanya saja, memang terdapat jeda antara membaiknya keyakinan konsumen dan meningkatnya rencana pembelian mobil. Pada saat IKK rebound Juli 2008, rencana pembelian baru menunjukkan kenaikan kembali pada bulan Oktober 2008.

Naiknya kepercayaan konsumen serta didukung meningkatnya rencana rumah tangga untuk membeli mobil dapat mendorong realisasi peningkatan pembelian mobil pada masa datang.

Grafik 2 menunjukkan adanya jeda waktu (6-7 bulan) antara kenaikan rencana rumah tangga untuk membeli mobil dan realisasi peningkatan penjualan mobil. Keterkaitan keduanya baru sekadar indikasi awal, yang tentunya membutuhkan analisis lebih mendalam.

Di sisi lain, hasil survei menunjukkan bahwa kelompok RT 1, RT 2, dan RT 3 merupakan kelompok rumah tangga dengan proporsi rencana pembelian mobil terkecil.

Kelompok RT 1 dan RT 2 bahkan tidak berencana membeli mobil pada masa datang. Kelompok rumah tangga ini biasanya menggunakan sebagian besar pendapatannya untuk konsumsi bahan pokok. Adapun kelompok RT 3 masih memiliki rencana pembelian mobil pada masa mendatang, tetapi dengan proporsi yang sangat rendah.

Berbeda dengan tiga kelompok rumah tangga sebelumnya, RT 4 merupakan kelompok rumah tangga dengan rencana pembelian mobil tertinggi.

Rumah tangga dalam kelompok ini merupakan kelompok masyarakat menengah ke atas, yang memiliki kemampuan lebih untuk membeli mobil.

Perlu juga diketahui, mengingat sebagian besar pembelian mobil dibiayai secara kredit, peran suku bunga kredit dalam rencana pembelian mobil kelompok RT 4 tidak dapat diabaikan.

Grafik 3 menunjukkan bahwa proporsi rencana pembelian mobil oleh RT 4 terkait dengan tren pergerakan suku bunga kredit. Ketika suku bunga kredit bergerak turun, rencana pembelian mobil cenderung tinggi.

Hal ini terlihat pada naiknya rencana pembelian mobil (periode September 2007-April 2008) dari level 96,8 ke level 120,9, seiring luruhnya tingkat suku bunga kredit pada periode tersebut.

Namun, ketika suku bunga kredit merangkak naik pada Juni 2008, proporsi rencana pembelian mobil terjerembab dari level 97,3 pada bulan Mei 2008 menjadi level 49,9 pada September 2008. Tampaknya, kenaikan suku bunga mendorong kelompok RT 4 mengurangi atau menunda rencananya membeli mobil.

Kenaikan rencana beli kelompok RT 4 pada bulan Oktober dan November 2008 lebih terkait pada pengaruh hari raya Idul Fitri. Hal ini dibuktikan dengan proporsi rencana pembelian mobil yang kembali menurun pada bulan Januari 2009, seiring masih naiknya suku bunga kredit.

Di sisi lain, mengetatnya kucuran kredit konsumsi juga ditengarai menjadi faktor yang memengaruhi angka penjualan mobil nasional.

Pada tahun 2007, pertumbuhan kredit konsumsi yang disetujui terus mengalami peningkatan, dari 35,1 persen (Februari 2007) menjadi 95,5 persen (Desember 2007).

Kondisi ini tentu saja kontras dengan yang terjadi pada 2008. Pertumbuhan kredit konsumsi yang disetujui melambat dari 147,4 persen pada bulan Februari 2008, menjadi hanya 5 persen pada Desember 2008.

Selain itu, pada pertengahan tahun 2008, nilai kredit konsumsi yang disetujui pun semakin mengecil, yaitu dari Rp 45 triliun menjadi Rp 29 triliun.

Nilai kredit ini bahkan terus mengecil menjadi Rp 17 triliun pada Januari 2009. Keringnya ketersediaan uang tampaknya mendorong perbankan lebih selektif membuka keran kredit konsumsi, yang berimbas pada melemahnya pertumbuhan penjualan mobil.

Pada grafik terlihat bahwa membaiknya kepercayaan masyarakat dan diikuti turunnya suku bunga kredit akan mendorong konsumen melakukan pembelian mobil.

Masyarakat yang optimistis terhadap kondisi pendapatannya pada masa datang cenderung akan melakukan pinjaman jika didukung biaya pinjaman yang murah. Sebab, aktivitas meminjam berhubungan dengan mengonsumsi sebagian pendapatan mereka pada masa depan.

Di sisi lain, dukungan dari sistem pembiayaan berupa kemudahan meminjam dan kucuran kredit yang memadai juga dapat mendongkrak angka penjualan mobil.

Jadi, pernyataan bahwa membaiknya keyakinan konsumen tidak memengaruhi keinginan masyarakat membeli mobil tidak sepenuhnya tepat. Keyakinan konsumen yang semakin baik justru menjadi fondasi kuat yang akan mendorong penjualan mobil semakin ”ngebut”.

Handri Thiono Economist Danareksa Research Institute

Tidak ada komentar: