Jumat, 13 Maret 2009

Probabilitas Depresi Ekonomi Meningkat


Jumat, 13 Maret 2009 | 03:02 WIB

Sementara negara-negara berkembang Asia berjuang untuk tak terjerumus kembali dalam krisis seperti krisis finansial 1997, ekonom dunia mulai mencemaskan risiko tergelincirnya ekonomi dunia dalam depresi.

Probabilitas resesi ekonomi global menjadi depresi, menurut ekonom Universitas Harvard, Robert J Barro, sekitar 20 persen. Yang menakutkan, tak satu kebijakan pun yang sudah maupun yang akan ditempuh mampu mencegah terjadinya depresi.

Depresi didefinisikan sebagai penurunan produk domestik bruto (PDB) dan konsumsi 10 persen atau lebih selama empat triwulan berturut-turut.

Menurut Barro, banyak alasan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya depresi. Data jangka panjang dari 25 negara hingga 2006 mencatat terjadinya 195 peristiwa crash (anjloknya pendapatan riil kumulatif 25 persen atau lebih) di pasar saham dan 84 depresi ekonomi, di mana pada 58 kasus di antaranya keduanya terjadi bersamaan. AS mengalaminya dua kali, yakni Depresi Besar 1929-1933 dan depresi pasca-Perang Dunia I (1917-1921), yang dipicu epidemi influensa yang melanda dunia saat itu.

Sebanyak 45 persen dari 58 kasus itu terkait perang, termasuk dua Perang Dunia. Dalam situasi crash pasar saham, probabilitas depresi kecil (penurunan PDB minimal 10 persen) adalah 30 persen, sedangkan probabilitas depresi besar (penurunan sedikitnya 25 persen) adalah 11 persen.

Dalam situasi tidak ada perang, probabilitas terjadinya depresi juga menurun, tetapi tetap substansial, yakni 20 persen untuk depresi minor dan 3 persen untuk depresi besar.

Crash berantai pasar saham di AS dan negara lain pada 2008-2009, menurut Barro, sudah cukup sebagai alasan mencemaskan risiko depresi. ”Kemungkinan satu banding lima bahwa resesi sekarang ini seperti bola salju berkembang menjadi penurunan makroekonomi hingga 10 persen atau lebih, yang menandai terjadinya depresi,” demikian diungkapkan Barro dalam artikel di Wall Street Journal baru-baru ini.

Ekonom dunia lain umumnya masih menahan diri untuk bicara probabilitas depresi kendati mengakui kondisi ekonomi saat ini terburuk sejak Depresi Besar 1930-an.

Stag-deflasi

Ekonom terkemuka Nouriel Roubini mengatakan, probabilitas untuk terjadinya pemulihan ekonomi global secara cepat mengikuti pola huruf V (ekonomi pulih 2010) sudah lenyap. Yang ada, resesi mengikuti pola U yang terjadi sekarang ini berisiko meningkat menjadi stag-deflasi (penurunan ekonomi global mengikuti huruf L) seperti di Jepang. Stag-deflasi adalah kombinasi mematikan stagnasi yang dibarengi dengan resesi dan deflasi.

Data pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2008 (angka tahunan) di berbagai penjuru dunia menunjukkan kondisi yang jauh lebih buruk dari perkiraan. Perekonomian global sekarang ini, menurut Roubini, praktis seperti terjun bebas dengan semakin cepatnya kontraksi di semua lini: dari konsumsi, belanja modal, investasi residensial, produksi, lapangan kerja, hingga ekspor dan impor.

Sejumlah indikator menunjukkan situasi sekarang sudah mendekati, bahkan lebih buruk, dari Depresi 1930-an. Kemerosotan ekonomi di beberapa negara Asia, seperti penurunan tingkat produksi industri di Taiwan, sudah melampaui yang dialami AS era Depresi Besar.

Menurut HSBC, spread suku bunga pinjaman korporasi juga sudah mencapai 30 persen, melebihi level pada Depresi Besar yang 20 persen. Ini bisa memicu gelombang kebangkrutan skala besar global. Padahal, banyak perusahaan induk negara berkembang harus melakukan refinancing utang luar negeri mereka sebesar 200 miliar dollar AS tahun ini, dengan debitor terbesar terutama dari Rusia, Turki, Meksiko, Uni Emirat Arab, dan Korea Selatan.

Diprediksikan terjadi kebangkrutan eksplosif, 20.000 di antaranya di Eropa. Di AS, 62.000 perusahaan diperkirakan bangkrut tahun ini, menyusul 42.000 perusahaan (2008).

Semua negara maju sudah mengalami resesi. China, India, dan negara ASEAN mengalami pelambatan lebih tajam dari perkiraan. Penurunan ekonomi juga meluas ke Amerika Latin.

Bank Dunia memperkirakan, setiap persen penurunan pertumbuhan ekonomi global menambah 20 juta penduduk miskin baru. Penurunan pertumbuhan global menjadi 0,9 persen 2009 berpeluang menambah jumlah penduduk miskin sebanyak 53 juta (berdasarkan patokan garis kemiskinan pendapatan 1,2 dollar AS per hari).

Lingkaran setan

Ekonom Center for Strategic and International Studies, Hadi Soesastro, melihat perdagangan dunia sedang berada dalam proses kehancuran yang sangat serius. Pada triwulan IV-2008, sejumlah negara mengalami kemerosotan tajam perdagangan. Turki mengalami penurunan rata-rata 41 persen per bulan, Brasil 33 persen, China 32 persen, Italia 26 persen, Perancis 25 persen, AS 23 persen, dan Australia 22 persen.

Sumber utama kemerosotan perdagangan adalah pelambatan ekonomi global. Selama hal ini masih berlanjut, perdagangan dunia akan terus melambat. ”Pelambatan perdagangan dunia kian menurunkan tingkat pertumbuhan dunia sehingga sebenarnya ekonomi dan perdagangan dunia sudah berada dalam lingkaran setan,” ujarnya.

Namun, ia menduga upaya mencari jalan keluar belum mendapat tempat dalam agenda KTT G-20 di London 2 April 2009. Perhatian sejumlah negara, khususnya Eropa, masih terpaku pada urusan memperketat peraturan bidang keuangan dan tak mendukung usulan AS untuk memberikan perhatian lebih besar pada upaya menggerakkan kembali pertumbuhan ekonomi.

”Perbedaan pendapat dua kekuatan ekonomi dunia ini mungkin tak akan dapat diselesaikan dalam KTT London. Artinya, kemerosotan perdagangan dunia masih akan berlanjut, dan mungkin semakin parah,” ujarnya. (TAT)

Tidak ada komentar: