Kamis, 19 Maret 2009

Menimbang Ulang Kapitalisme

B Herry Priyono

Tulisan kecil ini diajukan sebagai tantangan kepada para calon presiden dan wakil presiden, calon anggota legislatif, dan siapa saja yang berambisi menjadi pemimpin Indonesia melalui Pemilihan Umum 2009.

Dan, tantangan ini diajukan dalam bayang-bayang kampanye yang sedang kian bergerak menjadi praktis, dengan perhatian pada urusan taktik pemenangan suara. Tentu pada minggu-minggu terakhir sebelum pemilu ini perhatian pada urusan taktik pemenangan itu tidak terelakkan.

Namun, justru karena perhatian pada urusan taktis itu, banyak persoalan fundamental juga tersingkir dari horizon riuh rendah perebutan kursi kekuasaan. Salah satunya adalah perdebatan besar yang sedang melanda dunia sejak meletusnya krisis ekonomi global 2008. Inilah musim ketika para negarawan dan pemikir dunia sedang berdebat tentang masa depan sistem ekonomi, tetapi hampir-hampir tak ada timbangan apa pun mengenai perkara itu di negeri ini.

Apa yang dimaksud bukan sekadar urusan stimulus ekonomi karena pada akhirnya stimulus hanyalah langkah ”memadamkan kebakaran ekonomi”. Sesudah api krisis dapat terkendali, sebuah masa depan tata ekonomi tetap menganga menunggu agenda. Yang dimaksud juga bukan urusan polemik tentang sosialisme baru lantaran polemik itu telah terperosok pula menjadi fanatisme ideologi kubu-kubu.

Apa yang saya maksud lebih berupa timbangan ulang atas prinsip ekonomi politik yang hendak kita pakai untuk menata Indonesia. Dan, persis ketika para pemburu kursi kepemimpinan Indonesia hari-hari ini sedang bermunculan ke panggung kampanye, tepatlah saatnya mengajukan persoalan ini sebagai tantangan kepada mereka.

Selama ini, entah karena fanatisme atau kenaifan, timbangan atas prinsip ekonomi politik itu selalu saja terpelanting ke dalam oposisi otoritarianisme lawan demokrasi, atau sering pula tampil dalam oposisi kapitalisme lawan sosialisme.

Oposisi semu

Dari mana oposisi itu berasal? Tentu dari sejarah lantaran lintasan sejarah pernah tersobek-sobek oleh perang doktrin seperti itu. Akan tetapi, dalam periode sejarah dewasa ini, oposisi itu lebih mungkin berakar dalam ketidakmatangan intelektual atau semacam kekanak-kanakan ideologis.

Sebagai contoh, di tengah kencangnya desakan regulasi atas berbagai malapraktik bisnis yang membawa dunia terperosok ke dalam malapetaka ekonomi dewasa ini, John Castellani, Presiden Business Roundtable (jaringan lobi perusahaan-perusahaan swasta raksasa Amerika Serikat), bersungut-sungut, ”Kita tidak tahu bagaimana keluar dari bahaya besar musim ini, yaitu petualangan sosialisme yang membuat sektor swasta tidak dapat melakukan yang terbaik yang mesti dibuat” (Financial Times, 13/3). Yang dimaksud ”sosialisme” dalam ungkapan itu adalah regulasi dan pengambilalihan bank oleh pemerintah sebagai upaya ”memadamkan kebakaran” dan rekapitalisasi.

Yang ganjil di situ, apa saja yang tak disukai bisnis swasta diberi nama ”sosialisme”. Bukankah itu mirip dengan gejala di negeri ini dari dulu sampai hari ini ketika apa saja yang tak disukai diberi nama ”komunis”? Itulah yang dimaksud dengan ketidakmatangan dan kekanak-kanakan ideologis. Namun, mengapa disebut ketidakmatangan?

Penjelasannya tidak terletak dalam urusan teknis ekonomi atau politik, melainkan dalam cara berpikir primitif yang berisi kesesatan melakukan dilema pilihan. Untuk menjelaskan maksudnya, barangkali ada gunanya menimbang perbedaan dua jenis dilema berikut.

Pertama, andaikan kita harus memilih calon presiden A atau B. Memilih A berarti tidak memilih B, dan sebaliknya. Silakan menambah jumlah calon presiden C, lalu D, sampai ke N, dan tetap saja pola eksklusif pilihan itu berlaku.

Sama halnya jika memilih pergi ke Medan, kita tidak mungkin sekaligus berada di Bali. Teknologi informasi tentu dapat membantu kita ”tersambung” dengan Bali, tetapi tetap saja tidak bisa menggantikan kehadiran fisik kita. Pilihan berada di Bali atau Medan itu bersifat eksklusif. Artinya, kita hanya memilih dengan melepaskan pilihan lain karena fakta keterbatasan fisik kita. Itulah ”dilema praktis” yang solusinya hanya membutuhkan putusan praktis. Memilih salah satu dari keduanya bukanlah cacat, melainkan kelugasan putusan yang sederhana.

Kedua, akan tetapi, manakah yang mesti kita pilih: individualitas atau sosialitas? Kebebasan atau tertib tatanan? Aksi atau refleksi? Kita dapat memilih salah satu pada momen tertentu, tetapi tata hidup masyarakat yang bermutu dan matang secara niscaya berisi keduanya. Ringkasnya, pilihan individualitas atau sosialitas (juga kebebasan atau tertib tatanan) merupakan oposisi semu. Maka, pertanyaan mesti memilih individualitas atau sosialitas bisa dikatakan sebagai salah pertanyaan.

Karena sulitnya menemukan istilah yang sederhana, bolehlah teka-teki itu disebut ”dilema eksistensial”. Solusinya bukan dengan memilih yang satu dan membuang lainnya, tetapi hidup suatu masyarakat yang matang dan tidak kekanak-kanakan hanya mungkin terjadi jika, dan hanya jika, kita menghidupi tegangan di antara keduanya.

Itu juga berarti, memilih individualitas dengan mengorbankan sosialitas (dan sebaliknya) adalah resep pasti menuju kesesatan. Dalam menghidupi tegangan itulah terletak kunci kematangan suatu bangsa. Tidak kalah penting, suatu tatanan ekonomi, politik, atau kultural disebut progresif bukan pertama-tama karena tatanan itu ikut mode terbaru, tetapi persis karena menghidupi serta menjelmakan tegangan individualitas dan sosialitas.

Oleh karena itu, sistem ekonomi yang hanya memuja individualitas dengan mengabaikan daya sosialitas niscaya akan membawa kita menuju malapetaka. Begitu pula sebaliknya, tata ekonomi yang hanya merayakan kolektivitas dengan menyingkirkan daya spontanitas individual bukanlah sistem ekonomi yang sehat. Prinsip ini juga berlaku bagi kehidupan politik dan kultural.

Sering terjadi, kita merujuk pada praktik ekonomi AS untuk membenarkan keganasan individualisme dalam tata ekonomi kita. Tentu saja cara membenarkan diri seperti itu mengundang gelak tawa. Bahkan, dari cara berpikir paling sederhana, apa yang sedang berbondong-bondong dilakukan oleh banyak orang bukanlah panduan baik untuk ditiru begitu saja. Bukankah ganjil hanya karena sesuatu dilakukan oleh banyak orang Amerika, lalu kita merasa harus menirunya?

Apa yang terjadi dalam krisis besar tata ekonomi dunia dewasa ini persis merupakan akibat langsung dari kesesatan memperlakukan ”dilema eksistensial” sebagai ”dilema praktis”. Tentu kesesatan ini terjadi dalam simpang siur berbagai kepentingan. Sejarah memang bukan linear, bukan juga siklis, tetapi lebih mirip orang mabuk yang terhuyung ke kiri dan ke kanan. Dan, setiap kali terperosok ke ekstrem kiri, kita rindu pada ekstrem kanan. Begitu pula ketika jatuh ke lembah ekstrem kanan, kita merengek ingin ke kiri.

Atau, titik tengah mungkin merupakan kondisi yang membosankan lantaran ia terasa tidak punya gereget maupun kejelasan. Akan tetapi, di situ pula tersimpan rahasia bahwa tata hidup yang tidak mabuk rupanya berisi jalan luhur untuk menghidupi tegangan. Dan, tegangan itu merupakan ”tegangan eksistensial” antara kiri dan kanan atau juga antara sosialitas dan individualitas. Lalu, apa yang layak dijadikan pandu?

Sosialitas laba

Jika bulan-bulan ini Anda menyimak laporan berbagai media yang selama ini gegap gempita merayakan ekonomi fundamentalisme pasar, Anda akan bertemu gejala lucu. Contohnya, mingguan The Economist yang sering menyebut diri ”juru bicara kapitalisme global” dan selalu cenderung memandang rendah buruh sembari memuja eksekutif bisnis bak para pangeran yang gagah menunggang kuda putih. Tiba-tiba pada beberapa bulan ini berbagai liputannya penuh kepanikan, lalu membuat pelesetan logika apa saja untuk membenarkan garis ideologinya. Sementara itu, pemikir neokonservatif seperti Francis Fukuyama atau jurnalis neoliberal seperti Thomas Friedman mulai meratapi cacat besar pada klaim mereka sebelumnya.

Sebuah era baru bagi pencarian arah tatanan ekonomi politik sedang dimulai. Namun, ada gunanya pencarian itu berangkat dari pengakuan sederhana. Dalam ”The Schumacher Lecture” (6 Oktober 2008), sebuah kuliah publik tahunan di Inggris untuk menghormati ekonom EF Schumacher (penulis Small is Beautiful), Susan George (penulis The Lugano Report) melukiskan kapitalisme sekarang dengan ungkapan begini, ”Kapitalisme dewasa ini tidak lagi waras menurut arti ’kewarasan’ yang dipahami orang-orang waras”.

Apa yang tidak waras pada kapitalisme dewasa ini? Amartya Sen, pemikir ekonomi yang biasanya santun itu, melukiskannya sebagai jenis kapitalisme ”yang menyiapkan malapetaka” karena ”tidak adanya regulasi atas berbagai malapraktik keuangan yang niscaya berakibat pada spekulasi ganas dan kebuasan pengejaran laba” (New York Review of Books, 26/3).

Atau, dengan meminjam ungkapan Adam Smith, kapitalisme dewasa ini ada di tangan ”para pemboros dan penjudi” yang membuat modal ”jatuh ke tangan orang- orang yang paling berperan menghancurkannya”. Kalau itu belum cukup, Jack Welch si pencipta gerakan ”aktivisme pemegang saham” menyebut dengan sangat kasar apa yang dikejar kapitalisme dewasa ini sebagai ”kedunguan paling besar” (Financial Times, 13/3).

Dalam bayang-bayang malapraktik yang terbongkar inilah para pemboros dan penjudi mulai panik, lalu melihat desakan ke arah regulasi pasar keuangan sebagai sosialisme. Padahal, naluri dasarnya sederhana, yaitu mereka khawatir tidak bisa lagi mengeruk laba dan bonus raksasa seperti yang mereka raup sebelum krisis.

Maka, dengan lugas mesti dikatakan, desakan regulasi yang kencang dewasa ini tidak punya kaitan apa pun dengan sosialisme. Bahkan, ekonom serius seperti Dani Rodrik melihat ”regulasi dan supervisi finansial pada tingkat nasional agar diperketat dan diperluas” (The Economist, 14/3). Tentu saja regulasi serampangan di tangan pemerintah yang korup juga hanya akan menjadi jalan lempang menuju kebusukan lain.

Lalu, bagaimana sebaiknya memahami desakan regulasi yang kencang dewasa ini? Tuntutan bagi regulasi terutama di sektor keuangan itu tidak punya kaitan apa pun dengan oposisi kapitalisme lawan sosialisme. Regulasi itu hanya tuntutan akal sehat sederhana agar ”uang” diabdikan kembali bagi tujuan ”ekonomi”, yaitu kesejahteraan bersama. Itulah tuntutan agar ”uang” tidak lagi menjadi obyek kebuasan pengerukan laba yang selama ini dilakukan para tuan besar bisnis dan keuangan beserta stafnya.

Pada akhirnya, desakan regulasi itu hanya dapat dipahami dari latar belakang corak kapitalisme yang sedang begitu memuja individualisme laba. Dan, regulasi merupakan tuntutan sederhana untuk menyuntikkan kembali daya sosialitas ke dalam tata ekonomi. Karena itu, apa yang sedang dituntut bukanlah sosialisme ekonomi, tetapi sosialitas laba. Jika Anda tetap bersikeras menyebut itu sebagai ”sosialisme”, cukup pasti Anda tersesat. Sebab, tatanan ekonomi yang matang dan tidak kekanak-kanakan pada akhirnya bukan penyembah kapitalisme ataupun sosialisme, melainkan tata ekonomi yang menghidupi tegangan antara individualitas dan sosialitas. Dan, di situ pula letak ciri progresif sebuah sistem ekonomi.

Tegangan itu bukan untuk dihindari, bukan pula untuk dilenyapkan, melainkan untuk dirawat melalui berbagai kebijakan publik, baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, hukum, pendidikan, maupun sektor-sektor lain dalam semesta hidup berbangsa. Sekali lagi, terpelanting ke salah satu kutub adalah jalan menuju kesesatan.

Kepada yang terhormat para pemburu tongkat kepemimpinan Indonesia, berkenanlah menerima ini sebagai tantangan. Selebihnya, semoga Anda memimpin Indonesia keluar dari kekanak-kanakan dan ketidakwarasan kapitalisme yang sedang mendera kita.

B Herry Priyono Pengajar pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Tidak ada komentar: