Jumat, 27 Februari 2009

Institusi Nirlaba yang Dipajaki


Kamis, 26 Februari 2009 | 00:30 WIB

Indira Permanasari dan Ester Lince Napitupulu

Terdapat tiga hal yang pasti dalam kehidupan, yakni kematian, pajak, dan reformasi perpajakan,” ujar pengamat perpajakan dari Universitas Indonesia, Darussalam, mengutip ungkapan pemimpin revolusi Amerika, Benjamin Franklin.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan termasuk tidak luput dari persoalan pajak. Bahkan, dalam tubuh UU BHP terdapat benturan soal perpajakan.

Kalau ada UU yang agresif ingin mengatur sendiri pajaknya, tentulah itu UU BHP, bahkan melebihi UU perpajakan. Tidak hanya cukup sekali mencantumkan kata ”pajak”, kata itu muncul tiga kali dalam UU itu, yakni dalam Pasal 38 Ayat 4, Pasal 43 Ayat 4, dan Pasal 45 Ayat 3.

”Agak aneh UU BHP mengatur pemajakan tentang dirinya sendiri. Ini tugasnya undang-undang pajak,” ujar Darussalam dalam diskusi bertajuk ”Dampak Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP)” yang diselenggarakan harian Kompas, 5 Februari 2009.

Dia mencontohkan Pasal 43 Ayat 4 UU BHP. Dalam pasal itu badan hukum pendidikan penyelenggara pendidikan tinggi dapat berinvestasi dengan mendirikan badan usaha berbadan hukum untuk memenuhi pendanaan pendidikan. Lebih lanjut dalam Pasal 43 Ayat 4 terungkap bahwa seluruh dividen yang diperoleh dari badan usaha itu, setelah dikurangi pajak penghasilan yang bersangkutan, digunakan sesuai dengan ketentuan, yakni untuk kepentingan pendidikan.

”Sebetulnya ada kemungkinan tidak terkena pajak. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 3 telah diatur pengecualian objek pajak. Intercorporate dividend (dividen yang dibagikan antarbadan usaha) termasuk non-obyek pajak sehingga tidak harus dipotong dulu. Terkesan UU BHP malah menyodorkan diri dikenai pajak,” ujarnya.

Kata Darussalam, tidak ada artinya perpajakan itu dirumuskan dalam UU BHP lantaran UU itu bersifat lex generalis sehingga yang dirujuk tetap ketetapan pajak dalam perundang-undangan pajak sebagai lex specialis.

Nirlaba tetapi dipajaki

Perlukah badan hukum pendidikan dipajaki? Darussalam lalu merujuk pemikiran para ekonom klasik yang menyatakan, dalam perekonomian terdapat dua aktor utama, yakni negara dan swasta. Negara berfungsi menjalankan sektor-sektor yang swasta enggan berperan dengan pertimbangan sulit memperoleh keuntungan. Sektor-sektor yang memenuhi kepentingan publik atau sosial secara teoretis merupakan kewajiban negara. ”Sektor pendidikan, misalnya, apakah dipandang sebagai barang publik atau privat oleh pemerintah,” ujarnya.

Dalam UU BHP Pasal 4 tercantum badan hukum pendidikan berprinsip nirlaba. ”Laba” yang diperoleh tak boleh didistribusikan kepada pemiliknya atau tidak berorientasi keuntungan sehingga dapat diasumsikan sebagai sektor publik.

Berangkat dari asumsi itu, penarikan pajak dari kegiatan pendidikan dipertanyakan. Apalagi pemerintah belum menggelontorkan anggaran memadai untuk pendidikan. ”Seharusnya pemerintah malah memberikan insentif bagi pihak-pihak yang peduli pendidikan,” kata Darussalam.

Di banyak negara, pemajakan atas lembaga nirlaba bervariasi. Umumnya, negara yang sadar belum mampu menjalankan tanggung jawabnya sehingga sebagian fungsi pendidikan dijalankan masyarakat, ada keinginan kuat memberikan kemudahan dan mengurangi pungutan. Di Denmark, misalnya, organisasi pendidikan yang bersifat nirlaba dikenai pajak. Namun, pemerintah mengucurkan anggaran besar untuk pendidikan. Pemungutan pajak juga tidak memberatkan dan digunakan untuk kepentingan lain.

Keringanan pajak

”Tidak adanya biaya untuk pajak penghasilan badan sampai 28 persen, misalnya, tentu meringankan dan menekan biaya,” ujarnya. Di tengah kekhawatiran kian mahalnya pendidikan dan belum memadainya anggaran pendidikan, sebenarnya pemerintah dapat memberikan keringanan pajak, baik PPh, PPN, maupun PBB, kepada badan hukum pendidikan, terutama Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Saat ini, pembangunan prasarana gedung untuk belajar-mengajar tetap dikenai PPN.

Pajak itu dirasa memberatkan penyelenggara pendidikan. Penasihat Badan Musyawarah Perguruan Swasta Pusat sekaligus Ketua Yayasan Perguruan Budhaya Pudentia MPSS mengatakan, untuk gedung sekolah, misalnya, yayasan yang dipimpinnya harus membayar pajak Rp 250 juta tahun lalu. Padahal, yayasan tersebut mengelola pendidikan dengan tujuan sosial.

Direktur Pelaksana Yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD) Tunggul Siagian berpandangan sama. ”Salah satu sekolah kami di kawasan Kebayoran harus membayar Rp 410 juta untuk memperbarui sertifikatnya. Penghasilan sekolah tidak begitu besar,” ujarnya.

Perpajakan seharusnya berpihak pada pembangunan pendidikan. ”Mahalnya harga buku pelajaran bukan karena hak cipta pengarang yang persentasenya kecil itu, melainkan biaya PPN kertas, PPN impor barang, PPN dalam mencetak, dan PPN dalam menjual,” katanya.

Aturan perpajakan seputar kegiatan pendidikan itu mencerminkan pula komitmen pemerintah terhadap pembangunan pendidikan dan pencerdasan bangsa.

Tidak ada komentar: