Senin, 16 Februari 2009

Mengapa Rupiah Tak Kunjung Menguat?




Senin, 16 Februari 2009 | 00:13 WIB

A TONY PRASETIANTONO

Kurs rupiah, pekan lalu, terus melemah ke level Rp 12.000 per dollar AS. Meski fenomena pelemahan kurs ini juga praktis terjadi pada hampir semua mata uang dunia terhadap dollar AS, tetap saja ini menimbulkan kekhawatiran. Kita masih dihinggapi trauma pelemahan rupiah sebagaimana terjadi pada krisis 1998.

Setidaknya bisa dipetakan adanya lima faktor penyebabnya. Pertama, dalam setahun terakhir terjadi penurunan hebat arus modal masuk (capital inflow) dari negara-negara maju ke negara-negara emerging markets di Asia. Pada Januari-Agustus 2008, modal masuk terpangkas 40 persen, dari 100 miliar dollar AS menjadi 60 miliar dollar AS (World Bank, Global Economic Prospects 2009: Commodities at the Crossroads).

Modal asing yang masuk dapat dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni penerbitan obligasi, penjualan saham (equity issuance), dan pinjaman perbankan. Ini belum termasuk penurunan modal asing langsung.

Situasi kian memburuk sejak 15 September 2008 ketika Lehman Brothers bangkrut. Investor di New York, Amerika Serikat, pun kemudian melakukan konsolidasi. Mereka menarik dananya dari seluruh dunia untuk menata ulang portofolionya.

Kini emerging markets bahkan diperkirakan mengalami defisit aliran modal, berarti lebih banyak modal keluar daripada modal masuk. Dalam kasus Indonesia, hal itu dapat dideteksi dari merosotnya cadangan devisa dari level tertinggi 57 miliar (Juli 2008) menjadi 51 miliar dollar AS. Repatriasi modal menyebabkan naiknya permintaan terhadap dollar AS sehingga kurs dollar AS menguat. Inilah penjelasan, mengapa dollar AS justru menguat ketika perekonomian AS memburuk?

Kedua, surplus perdagangan Indonesia menurun tajam, dari 40 miliar dollar AS (2007 dan 2006) menjadi hanya 11 miliar dollar AS (2008). Surplus 2008 berasal dari ekspor 136 miliar dollar AS dikurangi impor 125 miliar dollar AS. Ekspor mulai melemah sejak Oktober 2008 ketika AS dan seluruh dunia sudah memasuki periode krisis. Hal ini juga diikuti oleh menurunnya impor, seiring dengan kian mahalnya dollar AS. Menipisnya surplus perdagangan menghilangkan peluang untuk menambah cadangan devisa.

Ketiga, euforia Barack Obama dan stimulus fiskal AS. Keputusan untuk menginjeksi stimulus fiskal 787 miliar dollar AS juga berkorelasi dengan kenaikan kurs dollar AS.

Keempat, sebelum 15 September 2008, banyak mata uang dunia cenderung terlalu mahal (overvalued) terhadap dollar AS. Akibatnya, neraca perdagangan tertekan hebat (defisit).

Indonesia kurang lebih punya masalah mirip. Karena kurs dollar AS terlalu murah (undervalued), impor melonjak sangat besar. Pada Juli 2008, impor kita mencapai rekor tertinggi 12,82 miliar dollar AS, padahal ekspor cuma 12,55 miliar dollar AS. Akibatnya, terjadi defisit perdagangan hampir 300 juta dollar AS. Saya menduga hal ini terjadi karena dollar AS undervalued, atau sebaliknya rupiah overvalued. Koreksi yang diperlukan adalah kombinasi antara dollar AS menguat dan rupiah melemah.

Kelima, Bank Indonesia menurunkan suku bunganya terlalu cepat. Kebijakan ini memang sangat diperlukan untuk memacu sektor riil. Namun, penurunan BI Rate yang terakhir dari 8,75 persen ke 8,25 persen justru dilakukan pada saat rupiah lemah, yakni Rp 11.700 per dollar AS. Saya rasa waktunya salah.

Masih bisa menguat

Rupiah saya yakini masih bisa menguat. Syarat utamanya, modal global yang kini sedang mudik ke New York harus kembali lagi ke sini. Pemilik dana sedang menimbang-nimbang, mau dikemanakan uangnya? Mereka pasti cenderung menghindari derivatif, dan mencari portofolio aman, misalnya obligasi pemerintah dan korporasi kredibel. Cepat atau lambat, dana-dana itu akan mengalir lagi ke emerging markets karena tetap paling prospektif.

Dalam berbagai versi proyeksi pertumbuhan ekonomi, Indonesia menempati urutan ketiga sesudah China dan India. Dalam versi Bank Dunia (2009), misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan 4,4 persen, atau di bawah China (7,5 persen) dan India (5,8 persen). Level ini masih di atas kompetitor terdekat kita dalam menarik modal global, yaitu Thailand (3,6 persen), Malaysia (3,7 persen), dan Filipina (3,0 persen).

Negara-negara emerging markets masih bisa tumbuh, meski melambat, karena kecilnya exposure pada produk surat berharga yang berbasis subprime mortgage. Sedangkan negara Asia yang banyak bermain derivatif semuanya terpukul dan mengalami kontraksi: Singapura dengan pertumbuhan ekonomi minus 2,2 persen, Hongkong (minus 1 persen), dan Korea Selatan (minus 1,7 persen).

Berdasarkan peta ini, Indonesia masih cukup prospektif menerima lagi aliran modal. Indonesia dapat meminimalkan krisis karena dua hal. Pertama, tidak terlibat derivatif terlalu dalam. Kedua, punya andalan komoditas primer. Meski harganya sempat terpukul, diyakini pada 2009 akan membaik, meski tidak setinggi 2008.

Ketika sebagian modal global kelak kembali mengalir ke sini, rupiah pun akan menguat. Setidaknya rupiah menjadi Rp 11.000 per dollar AS, atau bahkan lebih kuat lagi. Itu saya perkirakan bakal terjadi pada semester II nanti. A Tony Prasetiantono Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM; Chief Economist BNI

Tidak ada komentar: