Sabtu, 14 Februari 2009

Impor Pupuk Pilihan Akhir


Tiap Tahun Lebih dari 2,8 Juta Ton Urea Terbuang
Sabtu, 14 Februari 2009 | 01:43 WIB

Jakarta, Kompas - Rencana pemerintah mengimpor pupuk jenis urea sebanyak 500.000 ton sebagai cadangan hendaknya menjadi pilihan akhir. Impor pupuk harus dilakukan setelah berbagai tindakan penghematan, peningkatan produksi, dan jaminan pasokan gas diupayakan secara maksimal.

Hal itu diungkapkan Ketua Umum Dewan Pupuk Indonesia (DPI) Zaenal Soedjais, Jumat (13/2) di Jakarta. Menurut mantan Direktur Utama PT Pupuk Sriwidjaja (Pusri) dan PT AAF ini, masalah pertama yang harus segera dituntaskan adalah penggunaan pupuk urea oleh petani yang berlebih.

”Berdasarkan berbagai studi, hanya sekitar 40 persen dari total pupuk yang terserap tanaman. Sebagian besar justru terbuang percuma,” tutur Zaenal yang sudah 22 tahun malang melintang sebagai pimpinan produsen pupuk BUMN.

Pupuk yang tidak terserap tanaman ini akan menyebabkan kerusakan sumber daya pertanian, mencemari air dan tanah, mengakibatkan nitrifikasi pada makanan yang berbahaya bagi kesehatan, dan menimbulkan evaporasi zat pengikat nitrogen ke udara. Begitu pula ancaman dari terlalu banyaknya penggunaan zat kimia yang tidak terurai.

Pada 2008, pemerintah mengalokasikan urea bersubsidi untuk sektor tanaman pangan, perkebunan skala kecil, dan tambak 4,8 juta ton. Dengan menghitung 60 persen dari jumlah pupuk yang tidak terserap tanaman, ada lebih dari 2,8 juta ton urea tiap tahun yang terbuang.

Padahal, tahun ini total anggaran subsidi pupuk Rp 17 triliun. Dengan mempertimbangkan penghematan penggunaan urea, akan lebih banyak anggaran negara yang bisa dihemat.

Departemen Pertanian merekomendasikan penggunaan urea untuk budidaya padi rata-rata 250-300 kilogram per hektar.

Persoalan kedua yang harus dilakukan adalah bagaimana meningkatkan produktivitas. Caranya, harus memaksimalkan produksi, melakukan antisipasi kerusakan dengan perawatan dini, dan meningkatkan produksi secara optimal.

Persoalan ketiga, pemerintah harus bisa menjamin pasokan gas untuk industri pupuk. ”Apa benar gas itu sedemikian sulit dialirkan ke dalam negeri untuk menyuplai kebutuhan industri pupuk,” katanya.

”Janganlah impor ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman pangan, karena petani kita yang brand minded belum tentu mau pakai pupuk urea impor,” ujar Zaenal.

Selain itu, ada aspek distribusi yang harus dibenahi. Lihat saja kapal-kapal pengangkut pupuk milik Pusri yang usianya rata-rata 25-35 tahun.

Pupuk organik

Direktur Pemasaran PT SMS Indoputra—produsen pupuk organik merek Agrobost dan Golden Harvest—Amal Alghozali menyayangkan sikap pemerintah yang hendak impor urea di tengah kegairahan industri pupuk organik dalam negeri.

”Yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengampanyekan gerakan penggunaan pupuk organik, seperti yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat mencanangkan gerakan revitalisasi pertanian,” katanya.

Menurut Amal, sekarang ini petani sedang ”demam” pupuk organik. Jadi tidak sulit mengubah cara pandang petani dari biasa menggunakan pupuk kimia ke organik.

Asal ada semacam gerakan dan petunjuk pelaksanaan yang jelas di setiap departemen dan dinas teknis untuk mendorong penggunaan pupuk organik. (MAS)

Tidak ada komentar: