Selasa, 17 Februari 2009

Stop Pemekaran

Wahyudi Kumorotomo

Setelah isu kebijakan pemekaran daerah memakan korban meninggalnya Ketua DPRD Sumut, wacana yang berkembang adalah menstop pemekaran.

Bisakah ini dilakukan melihat masih banyaknya tuntutan dari daerah?

Dalam lima tahun terakhir, pemerintah dan DPR telah berkali- kali menyerukan moratorium pemekaran. Juga sudah ada PP Nomor 78 Tahun 2007 menggantikan PP Nomor 129 Tahun 2000 yang dianggap kurang ampuh mencegah tuntutan pemekaran.

Namun, pemecahan wilayah administratif terus berlanjut. Indonesia kini terbagi dalam 33 provinsi dan 491 kabupaten. Daerah amat banyak, sulit dikendalikan secara administratif, sedangkan pelayanan publik justru menurun.

Dalam hal penduduk, provinsi terkecil hanya dihuni kurang dari 800.000 jiwa (Gorontalo), yang terbesar dihuni 35 juta jiwa (Jawa Timur). Untuk kabupaten/kota, jumlahnya antara 11.800 jiwa (Kabupaten Supiori) dan 4,1 juta jiwa (Kota Bandung).

Secara teoretis, pemekaran sebenarnya merupakan akibat logis desentralisasi. Masalahnya, pemekaran di Indonesia kini sudah kurang rasional dan landasan argumentasinya lemah (Ferrazzi, 2008). Pemekaran tidak lagi mengedepankan tujuan desentralisasi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada rakyat, menciptakan pemerintah daerah yang responsif, dan meningkatkan kemakmuran di daerah.

Usul pemekaran biasanya karena faktor sejarah, adat, bahasa, etnis, atau merasa tertinggal dibandingkan dengan daerah sekitar. Lalu elite politik, calon bupati, atau anggota DPRD mendorong usul itu dengan menebar janji. Pemekaran juga didorong jajaran pemda karena peluang jabatan baru. Mereka mendapat manfaat dari kenaikan eselon atau adanya proyek gedung baru.

Sebuah kabupaten pemekaran di Maluku didapati tim anggaran berada dalam posisi sulit karena proyek-proyek gedung sudah seizin dinas pekerjaan umum dan bupati baru untuk dikerjakan sebelum APBD disahkan. Jika pemda tak ingin malu karena utangnya kepada rekanan tidak terbayar, tim harus menyetujui alokasi dana untuk proyek itu.

Ketika muncul usulan pemekaran daerah, elite politik di pusat cenderung menyetujui tanpa pertimbangan matang. Dari 17 paket RUU pembentukan yang diusulkan DPR tahun lalu, sebenarnya hanya tiga yang layak (Kompas, 23/12/2008). Berbeda dengan RUU Antipornografi atau RUU Badan Hukum Pendidikan terkait pendidikan tinggi yang disorot media dan LSM, pembahasan RUU pemekaran hampir selalu mulus. Dapat ditambahkan, uang sidang dan honor bagi anggota DPR untuk membahas semua RUU itu tetap sama.

Instrumen disinsentif

Upaya menstop pemekaran akan ditentang elite di daerah atau pihak-pihak yang mengedepankan primordialisme. Namun, melihat konflik di Sumut, Sumsel, Sulsel, Papua, dan semua daerah yang hendak dimekarkan, tidak ada kata lain kecuali menghentikannya. Perlu pemikiran jernih para anggota DPR, Departemen Dalam Negeri, dan DPOD agar otonomi daerah benar-benar berpihak pada kemakmuran rakyat daerah, bukan segelintir elite politik.

Syarat-syarat yang disebutkan PP No 78/2007 sebenarnya sudah ketat. Daerah yang dimekarkan harus sudah berfungsi selama 10 tahun untuk provinsi dan 7 tahun untuk kabupaten/kota. Provinsi minimal harus punya 5 kabupaten/kota, kabupaten punya 5 kecamatan, dan kota punya 4 kecamatan. Usulan mesti didukung dua pertiga dari seluruh wilayah desa atau kelurahan.

Sebaliknya, peraturan ini mendorong penggabungan daerah jika terjadi penurunan kualitas pelayanan. Maka, kini tinggal niat pemerintah untuk menegakkan peraturan ini. Syarat minimum jumlah penduduk harus dipertimbangkan bagi setiap usulan pemekaran yang masuk DPOD. Yang jauh lebih penting adalah agar anggota DPR jangan justru ikut menyiasati atau menerobos aturan yang telah disepakati.

Instrumen lain yang cukup mudah adalah dana perimbangan. Selama ini, DAU selalu diberikan dengan proporsi berdasarkan status administratif. Selain tidak bisa mengatasi kesenjangan horizontal antardaerah, alokasi semacam ini akan terus mendorong pemekaran. Jika DAU diberikan secara netral, daerah pemekaran akan mendapat jumlah dana yang dibagi dari daerah induknya, para pejabat dan elite lokal akan berpikir ulang untuk memekarkan diri.

Upaya yang harus dilakukan secara berkelanjutan adalah pendidikan politik di daerah. Warga harus menahan diri agar tidak mengedepankan primordialisme, seperti etnisitas, sejarah, atau sentimen sempit. Sebaliknya, warga perlu didorong untuk mementingkan hal-hal substansial, seperti tingkat kemakmuran yang merata dan pelayanan publik yang efisien. Dengan begitu, mereka tidak akan mudah dimobilisasi elite politik daerah untuk aneka kepentingan sempit. Inilah pendidikan demokrasi yang sesungguhnya.

Wahyudi Kumorotomo Dosen Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM

Tidak ada komentar: