Kamis, 12 Februari 2009

Republik Birokrasi


Kamis, 12 Februari 2009 | 01:01 WIB

Oleh Sri Palupi

Pemilu sudah di ambang pintu. Beragam iklan politik kian mendominasi ruang publik.

Di tengah maraknya tebar pesona para elite, kita patut bertanya tentang apa makna pemilu bagi rakyat kebanyakan jika pemerintahan Republik tak lagi dijalankan. Hingga hari ini, belum ada bukti meyakinkan, negeri ini sungguh berpemerintahan republik, seperti digariskan UUD ’45. Yang terjadi, kita kian terperangkap dalam sebuah republik birokrasi.

Urusan elite

Republik, asal katanya adalah res publica berarti ”urusan publik”. Negeri berpemerintahan republik, dengan demikian, menjadikan kepentingan publik sebagai tujuan dan dasar adanya. Namun, yang terjadi, sasaran kebijakan bukan kepentingan publik, tetapi kepentingan elite. Urusan publik diselewengkan menjadi urusan kaum elite dan pejabat publik. Buktinya bisa ditemukan dalam sekian banyak produk undang- undang dan kebijakan pemerintah.

Di tingkat pusat, dari sekian banyak undang-undang yang dihasilkan pemerintahan selama ini, tidak sampai 10 persen bicara tentang pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Lebih dari 90 persen produk undang- undang berbicara tentang politik dan pemekaran daerah. Ujung- ujungnya adalah kepentingan elite politik.

Hal senada terjadi di daerah. Di NTT, misalnya, kajian Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Advokasi Rakyat (PIAR) tentang kebijakan publik menemukan, pada tahun 1999-2005 ada 59 perda yang dihasilkan Pemerintah Provinsi NTT. Dari jumlah perda itu, hanya empat perda (6,8 persen) yang berbicara tentang pelayanan publik. Mayoritas (74,6 persen) perda mengatur retribusi dan 18,6 persen lainnya berbicara tentang pemutihan aset. Bukan hanya NTT, hal serupa juga terjadi di daerah-daerah lain. Ribuan perda dari berbagai daerah yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri mengindikasikan, mayoritas kebijakan yang dibuat pemerintah daerah kehilangan status sebagai kebijakan publik.

Republik birokrasi

Peraturan dan kebijakan yang berorientasi pada kepentingan para elite itu akhirnya melahirkan dan merawat birokrat, pejabat, dan wakil rakyat yang menjadikan birokrasi sekadar alat untuk melayani kepentingan sendiri. Ini bisa dinilai, di antaranya dari tingginya angka korupsi dan alokasi anggaran yang tidak berpihak pada kepentingan publik.

Di tingkat pusat maupun daerah, mayoritas anggaran dialokasikan untuk kepentingan birokrasi. Meski otonomi daerah sudah berlangsung hampir 10 tahun, tingginya alokasi belanja pemerintah pusat yang hampir mencapai 70 persen dari APBN menunjukkan masih rendahnya komitmen pemerintah pusat dalam melaksanakan otonomi daerah. Meski desentralisasi sudah dijalankan, alokasi anggaran tetap berstruktur piramida terbalik, di mana porsi anggaran terbesar ada pada birokrasi pemerintah pusat.

Padahal, otonomi daerah dibuat dengan ide dasar mendekatkan negara pada masyarakat lokal, di antaranya melalui perencanaan partisipatif dan perbaikan pelayanan publik, yang tujuan akhirnya adalah kesejahteraan rakyat. Namun, praktik otonomi daerah sejak 1999 masih jauh dari harapan. Bukan kesejahteraan rakyat yang dihasilkan, tetapi ironi desentralisasi. Anggaran daerah tidak dialokasikan untuk kepentingan masyarakat, tetapi sebagian besar dihabiskan oleh birokrat dan elite daerah dalam bentuk gaji, insentif, dan honorarium.

Hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tahun 2007 di 27 daerah menunjukkan, anggaran daerah sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan birokrasi, mayoritas untuk belanja pegawai. Di Kabupaten Lampung Selatan, misalnya, alokasi dana desa (ADD) di satu desa hanya berkisar Rp 29 juta per tahun, tetapi uang tunjangan rapat bagi seorang pejabat bisa mencapai Rp 16 juta per bulan.

Di kabupaten yang sama, anggaran untuk pendidikan seolah 30 persen dari total APBD. Namun, setelah ditelusuri, hanya 3 persen anggaran daerah yang benar-benar dialokasikan untuk pendidikan. Sebab, dari total anggaran pendidikan itu, sebagian besar (88 persen) dialokasikan untuk belanja pegawai.

Hasil audit BPK di berbagai daerah menunjukkan, banyak cara dipakai pejabat dan elite daerah untuk menjadikan APBD sebagai sarana memperkaya diri dan orang-orang terdekat. Bahkan, di daerah miskin, bupati tidak malu menaiki mobil dinas senilai Rp 1 miliar dan mendiami rumah pribadi senilai Rp 2 miliar di tengah situasi masyarakat yang sarat dengan busung lapar. Belum lagi rumah dinas pejabat dan anggota DPRD serta kantor bupati yang dibangun dengan biaya miliaran rupiah, tetapi kemudian ditelantarkan.

Bagaimana mungkin kita bicara penghapusan kemiskinan bila biaya birokrasi demikian tinggi. Sulit menyebut negeri ini republik jika anggaran untuk kepentingan publik dikalahkan oleh kepentingan birokrasi. Yang disebut republik sebenarnya tidak lebih dari birokrasi yang melayani kepentingan birokrat dan pejabat. Bukan lagi republik yang menjalankan amanat kesejahteraan rakyat.

Calon anggota legislatif

Momen pemilu bagi komunitas-komunitas warga yang belum mengalami dampak positif desentralisasi adalah momen menanam harapan. Semoga dari 11.600 caleg DPR, 112.000 caleg DPRD provinsi, dan 1,5 juta caleg DPRD kabupaten/kota akan lahir para wakil rakyat yang memiliki akuntabilitas tinggi di hadapan rakyat pemilihnya. Semoga pemilu menghasilkan para wakil rakyat yang sungguh punya komitmen untuk mereformasi birokrasi dan mengembalikan anggaran demi kepentingan rakyat, bukan untuk menambah kekayaan birokrat dan pejabat.

Reformasi birokrasi seharusnya menjadi bagian agenda desentralisasi. Sebab, buruknya birokrasi merupakan salah satu problem terbesar yang dihadapi negeri ini. Kini, birokrasi bukan lagi alat untuk melayani masyarakat, tetapi telah menjadi tujuan pada dirinya. Buruknya birokrasi yang ditandai dengan tingginya tingkat korupsi dan inefisiensi kian menjadi beban dalam proses desentralisasi. Sebab, birokrasi yang korup dan inefisien itu justru menjadi penghambat dan sumber masalah bagi berkembangnya demokrasi di daerah.

Ide dasar otonomi daerah, sekali lagi, adalah mendekatkan negara pada masyarakat lokal. Upaya mengembalikan otonomi daerah pada ide dasarnya ini menuntut model birokrasi yang lebih dari sekadar mesin. Yang dibutuhkan bukan birokrasi yang digerakkan peraturan dan dikendalikan oleh birokrat dan pejabat, tetapi birokrasi yang dikendalikan rakyat dan digerakkan oleh misi memberdayakan masyarakat. Sebab, tidak akan ada otonomi daerah tanpa otonomi masyarakat.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

Tidak ada komentar: