Sabtu, 20 Juni 2009

Pengusaha, Apa yang Salah?

Oleh Andi Suruji 

Tokoh pengusaha senior, Sofjan Wanandi, tempo hari di harian ini mengeluarkan pernyataan mengejutkan. Dengan tegas ia menyatakan bahwa pengusaha juga punya hak untuk menjadi presiden, bukan hanya politisi dan militer.

Apa salah pengusaha sampai mereka harus berteriak untuk menegaskan haknya sebagai warga negara tersebut?

Siapa pun yang pernah mendapat pelajaran kewarganegaraan di sekolah pastilah paham soal itu. Konstitusi secara tegas mengatur hak setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih menjadi presiden. Kalau ada yang tidak tahu, mungkin cuma pura-pura tidak tahu atau sudah lupa pelajaran itu. Ah, masa?

Kalau anak-anak kita sekarang ini tidak tahu soal itu, orangtua perlu waspada dan pasang alarm. Buku pelajaran mereka patut diperiksa. Jangan-jangan tidak ada lagi bagian seperti itu dalam buku pelajaran mereka. Atau, saat guru menerangkan bagian pelajaran kewarganegaraan ini, barangkali mereka sedang bolos, ngacir ke mal.

Sebenarnya, banyak sekali pengusaha yang menjadi pemimpin pemerintahan di negaranya dan dicintai pula oleh rakyatnya. Di Indonesia baru Jusuf Kalla yang berlatar belakang pengusaha dan berhasil terpilih dalam Pemilihan Umum 2004 untuk menduduki kursi nomor dua republik ini sebagai wakil presiden berdampingan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Semua pemimpin negara di dunia ini pasti hormat kepada pengusahanya. Penguasa tak berani melecehkan pengusahanya. Sebab, mereka menyadari peran pengusaha dalam perekonomian suatu negara amat besar. Para pemimpin negara umumnya siap melakukan lobi, yang lembut sampai paling keras, ketika membela kepentingan pengusahanya dalam menghadapi persoalan bisnis di forum internasional.

Di Amerika Serikat, suara pengusaha amat didengar pemerintah karena mereka membayar pajak yang sangat besar. Suara pengusaha bisa menjatuhkan presiden dari kursinya melalui kongres kalau kebijakan penguasa ngawur dalam mengelola perekonomian dan pemerintahan.

Di Jepang, ketika pemerintah mulai bangkit membangun kembali perekonomiannya setelah kalah dalam Perang Dunia II, pengusahalah yang tampil berperan. Negara sudah bangkrut, penguasa tidak punya uang. Terjadilah ”koalisi” antara pengusaha dan penguasa. Bukannya penguasa menghantam pengusaha.

Penguasa yang bangkrut tidak punya cara lain kecuali mendorong sekuat tenaga para pengusaha yang masih memiliki modal (dalam arti luas) untuk mengambil peran dalam pembangunan kembali bangsa Jepang. Pengusaha didorong berdagang dengan pihak luar negeri, membangun bisnis di dalam negeri, mengirim pekerja dan anak muda ke luar negeri untuk belajar supaya pulang menerapkan ilmunya dalam pembangunan kembali bangsa yang ”hancur” dihantam perang itu.

Semua upaya itu didukung habis dan sepenuhnya oleh pemerintah dengan aneka fasilitas yang bisa diberikan. Pendeknya, pengusaha berjasa besar dalam kebangkitan ekonomi Jepang dan pembangunan secara keseluruhan. Karena jasa-jasa pengusaha itulah sehingga penguasa secara turun-temurun merasa ”berutang budi” kepada pengusaha. Tidak heran jika penguasa di Jepang amat getol membela pengusaha Jepang untuk mencapai kemajuan bisnis. Di dalam maupun di luar negeri.

Kemajuan bisnis pengusaha berarti kemajuan ekonomi suatu negara yang akhirnya menjadi kebanggaan bangsa. Hanya negara yang perekonomiannya maju yang disegani dan diperhitungkan serta dihormati bangsa lain.

Di mana pun, yang namanya pengusaha memang ada saja yang jahat. Contoh pengusaha jahat, ya, ngemplang pajak, mengabaikan kesejahteraan buruh, dan tak peduli lingkungan. Doyan fasilitas negara karena suka setor upeti kepada penguasa. Sama jahatnya penguasa yang doyan komisi dari pengusaha.

Tetapi, sangat banyak pengusaha yang baik, heroik, nasionalis. Pengusaha yang baik taat membayar pajak untuk dipakai pemerintah membayar gaji aparat negara, menjalankan roda pemerintahan, dan membangun segala macam kebutuhan dasar rakyat yang dipimpinnya. Pengusahalah yang berani mengambil risiko investasi dan bisnis supaya membuka lapangan kerja.

Panggung pengusaha

Seperti sering diutarakan surat kabar ini, ada tiga panggung utama yang memengaruhi kehidupan manusia, yaitu negara, masyarakat sipil, dan ekonomi. Peran negara mulai bergeser dari otokrasi ke demokrasi. Panggung civil society ditandai oleh gerakan aktif LSM, masyarakat, dan ormas yang secara historis sudah berakar di masyarakat dan kesadaran rakyat berubah menjadi kesadaran sebagai warga negara. Dua hal ini kita sudah maju walaupun masih ”in the making”.

Pemahaman tentang panggung ekonomi masih minim. Itu sebabnya kita perlu mengoreksi pemahaman ini dengan melakukan reformasi yang komprehensif. Ekonomi yang mana yang harus mendapat panggung? Yaitu ekonomi pasar sosial. Pelaku usaha, pelaku ekonomi, selain mengejar keuntungan, juga memikul tanggung jawab sosial, secara pribadi maupun lembaga berupa corporate social responsibility. Tanggung jawab moral secara pribadi tentu termasuk tampil memimpin negara karena memang berhak.

Sayang keberadaan pelaku usaha, pengusaha, di panggung peran negara dewasa ini memang masih sering kali digugat masyarakat. Keberadaan pengusaha dalam kabinet, pemerintahan, dipersepsikan seolah merusak tatanan birokrasi.

Padahal, sudah ada contoh eksistensi pengusaha dengan karakternya yang get things done justru memberikan warna tersendiri pada kabinet, pemerintahan, birokrasi yang suka ”mati angin” manakala menghadapi hal baru dan di luar kebiasaan.

Karakter semacam itulah yang sesungguhnya diperlukan bangsa ini ke depan untuk mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain.

Tidak ada komentar: