Kamis, 04 Juni 2009

Mafia Berkeley ke Neo Liberalisme



Mendadak neo liberalisme menjadi jargon yang sering dikumandangkan oleh beberapa kandidat capres dalam pemilu ini. Mereka mengkritik paham ekonomi pemerintahan SBY yang cenderung membebaskan pada mekanisme pasar. Sebebas bebasnya. Ini bukan istilah asing, karena sejak orde baru berkuasa, Soeharto sendiri mempercayakan urusan ekonomi kepada sekelompok pakar ekonomi lulusan University of California at Berkeley, Amerika Serikat.

Walau tidak semuanya alumni Berkeley seperti Frans Seda atau Radius Prawiro yang alumni sekolah ekonomi Roterdam, kelompok ini tetap disebut Mafia Berkeley.
Wijoyo Nitisastro sebagi koordinator mafia Berkeley, menjadi super minister dengan kekuasaan di Bapenas dan kemudian Menteri Ekuin. Semua calon calon menteri ekonomi Pemerintahan Soeharto berdasarkan rekomendasinya.

Ekonom mafia Berkeley selalu dicekoki paham ekonomi neoklasik, menyerahkan sepenuhnya ekonomi pada mekanisme pasar dan kurang patriotik. Ini berbeda dengan kebijakan berdikari Bung Karno sebelumnya. Ia tidak membuka seluruh konsensi pertambangan, dengan alasan menunggu sampai Indonesia memiliki insinyur insinyur sendiri.

Hutang luar negeri saat itu hanya untuk paket pembelian senjata, yang ketika di akhir kekuasaannya sejumlah 2 milyar dollar. Bandingkan dengan peninggalan ratusan milyar dollar pemerintahan orde baru.

Mafia Berkeley mengamankan konsensus dari Washington, yakni kebijakan anggaran ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi keuangan, liberalisasi industri, liberalisasi perdagangan dan privatisasi.

Liberalisasi sector keuangan, terlihat dalam sistem lalu lintas devisa dan nilai tukar rupiah, membuat rupiah sangat fragile. Mata uang rupiah dibuat mengambang, sehingga bisa melemah dan menguat secara ekstrim. Anehnya, di Indonesia orang boleh meninggalkan Negara dengan membawa rupiah atau dollar amerika berapapun. Sementara Amerika yang kampiun liberalisasi, orang tidak boleh membawa keluar lebih dari US $ 10,000,-

Ketika krisis moneter melanda Asia, ekonomi Cina tidak goyah karena sistem lalu lintas devisa diatur dengan ketat. Ekonomi Malaysia hanya sedikit mengalami guncangan lalu pulih kembali, karena ringgit dipatok.

Presiden Soeharto di penghujung kekuasaannya sempat putus asa dengan resep resep devisa bebas. Ia sempat tertarik konsep CBS ( Currency Board System ) yang ditawarkan Steve Hanke, seorang pakar ekonom asal Amerika yang selalu menyerang kebijakan IMF terhadap Negara Negara berkembang.
Dengan berbagai argumentasi, mafia Berkeley berusaha meyakinkan masyarakat bahwa liberalisasi keuangan sangat penting, demi menjamin investasi Negara maju. Hanya dengan liberalisasi penuh, modal dan deviden bisa mengalir ke Negara maju.

Liberalisasi perdagangan menghancurkan ekonomi Indonesia. Pasar Indonesia dibanjiri produk asing dan dalam perjalanan waktu, Indonesia tergantung dengan barang asing termasuk produk pertanian.

Jika di Negara asalnya Perancis, Carefour tidak pernah ditemukan di tengah kota Paris. Ia harus berada di pinggiran kota – karena begitu konsep asal Hypermarket – untuk melindungi pedagang kecil, toko kecil dan pasar tradisional. Justru di Indonesia, Carefour bertebaran dengan jarak hanya 3 kilometer satu sama lain di tengah kota Jakarta.

Indonesia di dorong menandatangani persetujuan WTO untuk membuka pasar selebar lebarnya meski pelaku ekonomi dalam negeri belum siap bersaing dengan raksasa global. Tarif impor dan ekspor berbagai komoditas dipotong hingga nol.
Penurunan pajak ekspor membuat orang lebih suka menjadi pedagang daripada membangun pabrik atau industri dalam negeri. Ketika pemerintah mengijinkan ekspor log. Banyak pabrik plywood gulung tikar. Ketika ekspor ikan segar dibuka, banyak pabrik pengolahan ikan tutup karena kekurangan bahan baku.

Amerika mengancam akan menutup ekspor tekstil Indonesia ke paman Sam jika, Indonesia tidak membebaskan kuota impor film film Holywood ke Indonesia. Kini ekspor tekstil Indonesia ke Amerika sudah sedikit, karena sudah dibanjiri produks tekstil asal Vietnam dan Cina. Sementara film film Amerika sudah menancapkan giginya di Indonesia.

Negara maju tidak ingin Indonesia menjadi Negara Industri tangguh . Itulah sebabnya selama kebijakan Mafia Berkeley, Indonesia diarahkan menjadi negeri pedagang dan konsumen. Para ekonom acap kali mengatakan Indonesia belum mampu menguasai teknolog dan barang modal. Mereka tak pernah melihat sejarah bahwa LAPAN sudah mampu meluncurkan roket Kartika pada tahun 1964, yang membuat Indonesia menjadi salah satu Negara Asia selain Cina yang sudah menguasai teknologi roket.

Juga lupa bahwa Korea 30 tahun yang lalu sama miskin dan terbelakangnya dengan Indonesia.
Malaysia dulu belajar perminyakan dengan Indonesia serta mengimpor dosen deosen dari ITB, UGM dan UI untuk mengajar di sana.
Kini Korea memiliki sejumlah perusahaan dunia, India sudah melewati Indonesia meluncurkan satelit sendiri ke ruang angkasa.

Malaysia sudah menghasilkan product domestic bruto per kapita sebesar US $ 11,000, Korea US $ 17.000 sementara Indonesia masih berkutat diangka US $ 1.200,-.

Metode pembangunan Indonesia selalu dibuat defisit dalam Anggaran belanjanya sehingga bisa menjadikan alasan untuk mendapatkan utang luar negeri. Proyek yang dibiayai umumnya sarat marked up sehingga membebani. Akibat utang luar negeri yang terus membesar, pendapatan Negara – termasuk pajak yang terus digenjot – hanya untuk membayar hutang luar negeri.

Dengan alasan defisit, asing lewat tangan tangannya gemar mengobral perusahaan negara dengan privatisasi yang cenderung sebagai perampokan. Padahal Negara sudah mengeluarkan lebih dari 700 trilyun untuk penyelamatan ekonomi.
Tidak masuk akal, uang sebesar itu menguap begitu saja. Apalagi dengan penjualan yang berkisar dibawah sepuluh trilyun pada umumnya.

Mafia Berkeley identik dengan paham neo liberalisme. Tak ada yang bisa menduga sampai sejauh mana sisa sisa pengaruhnya dalam kebijakan ekonomi pemerintahan era sesudah reformasi.
Satu hal, kita terlalu takut untuk berkata tidak terhadap Negara barat. Padahal tidak ada implikasi yang harus dicemaskan. Ketika Chavez menasionalisasi dan meratifikasi perjanjian dengan perusahaan minyak asing yang beroperasi di negerinya. Mereka akhirnya tunduk tak berdaya.

Karena tak ada yang bisa menghalangi kekuasaan kedaulatan rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Res Republica.

Tidak ada komentar: