Kamis, 11 Juni 2009

Gus Dur Kritik Ekonomi Kerakyatan

Gus Dur Kritik Ekonomi Kerakyatan
JAKARTA -- Ketua Umum Dewan Syuro PKB kubu Kalibata, Abdurrahman Wahid, mengatakan banyak sejarah di Indonesia yang masih tersembunyi dan perlu digali. Dia pun melontarkan kritik kepada jargon ekonomi kerakyatan yang tak mengacu pada sejarah. Menurut dia, sejarah Indonesia dipenuhi dualistik.

''Kita teriak-teriak ekonomi kerakyatan, padahal tidak tahu sejarahnya ya bagaimana,'' kata Abdurrahman Wahid saat memberikan tausyiah pembukaan musyawarah pimpinan (muspimnas) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Kalibata, Kamis (11/6) siang. Ekonomi kerakyatan yang mengacu pada konsep dari para pendiri bangsa Indonesia, menurut dia sebenarnya adalah elitis.

''Karena, para pemimpinnya (sejak merdeka 1945) semua bangsawan,'' kata Abdurrahman. Konsep ekonomi yang disusun pun menurutnya sesuai dengan keadaan para pemimpin itu. Abdurrahman pun menyindir, bangsawan itu kependekan dari 'bangsa tangi awan' (bangsa yang bangun tidurnya siang, red).

Karena itu Abdurrahman mengatakan bahwa Indonesia pada 1945 itu baru merdeka secara politik. Tetapi secara ekonomi, ujar dia sembari minta maaf, belum lah merdeka. ''Dualistik. Karena hanya selalu elitis, rakyat tidak dipikirkan,'' ujar dia. Abdurrahman menyebutkan semua tokoh pendiri bangsa - dari Bung Karno, Bung Hatta, sampai Mr Sartono - semuanya adalah bangsawan.

Persoalan konsep ekonomi ini, menurut Abdurrahman adalah salah satu contoh dari dualistik sejarah Indonesia, bagian dari sejarah yang banyak tersembunyi. Contoh lainnya, ujar dia, adalah tentang DI/TII. ''Pendiri DI/TII itu ya Bung Karno, Panglima Soedirman, ayah saya (Hasyim Asy'ari), dan itu Karto Suwiryo,'' ujar dia.

Sejarah pembentukan DI/TII, papar Abdurrahman, bermula dari hasil perjanjian Renville. Perjanjian tersebut mengharuskan APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia, cikal bakal TNI) kembali ke daerah asal masing-masing. ''Maka dibentuklah DI/TII. Karto Suwiryo itu kental sekali dengan Bung Karno,'' ujar dia.

Persoalan sejarah semacam ini, kata Abdurrahman prihatin, adalah contoh hal-hal yang kita tidak tahu dan tidak merasa perlu tahu. ''Saya rasa, kita harus menggali kembali sejarah kita secara terbuka dan apa adanya,'' tegas dia.

Menurut Abdurrahman, banyak hal yang tanpa merunut sejarahnya menjadi hal yang diributkan sekarang. Termasuk, ujar dia, gagasan negara Islam menggantikan Indonesia sebagai negara multietnis.

Meskipun, tegas Abdurrahman, ketika bicara Indonesia maka harus bicara tentang Islam di Indonesia juga. Karena pembahasan atas apa yang banyak dipersoalkan di Indonesia akhir-akhir ini sudah dibahas sejak abad 13 Masehi oleh tokoh-tokoh Islam.

Semuanya pun tak terlepas dari sejarah organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah, NU, dan - yang kontroversial - Ahmadiyah. ''Tidak usah kaget soal yang begitu. Dualistik (di Indonesia) itu sejak lama,'' tegas dia. - ann/ahi

Tidak ada komentar: