Kamis, 18 Juni 2009

Jujur Menghitung Utang

 



Polemik panas mencuat setelah kubu Megawati- Prabowo menyodorkan data membengkaknya utang Indonesia. Sebagai pihak yang dipersalahkan, kubu Susilo Bambang Yudhoyono pun membantah dengan angka pula. Menarik, tapi argumennya sama-sama lemah. Debat kusir ini tak berkepanjangan jika keduanya membaca data secara jernih. 

Kubu Megawati, yang kini bersaing lagi dengan SBY dalam pemilihan presiden, berkukuh bahwa jumlah utang kita meningkat. Dalam lima tahun terakhir, pinjaman meningkat rata-rata Rp 80 triliun per tahun. Jumlah utang sampai akhir Mei 2009 pun menembus Rp 1.700 triliun. Dus, rakyat—dari kakek sampai bayi baru lahir—kecipratan menanggung kewajiban Rp 7,5 juta per jiwa. 

Menerima tuduhan itu, pejabat pemerintah dan anggota tim kampanye SBY cepat memberi tanggapan. Melihat utang semata dari jumlah, menurut mereka, adalah menyesatkan. Mereka menganjurkan menyimak utang seraya membandingkannya dengan produk domestik bruto (PDB). 

Sejak 1999, rasio utang-PDB kita memang terus menurun. Sepuluh tahun silam, rasio itu mencapai 100 persen. Tahun lalu sudah turun menjadi 33 persen, dan akhir tahun ini diharapkan susut lagi menjadi 32 persen. Dilihat dengan cara itu, tampaklah bahwa kemampuan pemerintah dalam membayar utang semakin meningkat. 

Masalahnya, perbandingan itu pun kurang pas. Utang pada dasarnya persoalan cash flow alias arus kas. Sedangkan produk domestik bruto (begitu pula produk nasional bruto) merupakan urusan output alias produksi. Bila mau jujur dan berhati-hati dalam mengelola utang, pinjaman sebaiknya dibandingkan dengan arus pendapatan atau aset likuid yang dimiliki negara. Tujuannya, bila kreditor menagih, kita bisa membayar utang dengan isi kantong kita sendiri atau menjual dengan cepat harta yang kita miliki. 

Dengan nalar itu, lazimnya di negara lain utang dibandingkan dengan total cadangan devisa, total aktiva bersih pemerintah atau arus penerimaan pajak. Maka tengoklah perbandingan ini: utang kita Rp 1.700 triliun, sedangkan cadangan devisa pemerintah hanya US$ 58 miliar atau Rp 580 triliun dan penerimaan pajak cuma Rp 660 triliun. Jadi, utang kita hampir tiga kali lipat cadangan devisa. 

Pada 2000, utang luar negeri kita US$ 74,9 miliar atau 2,5 kali lipat cadangan devisa saat itu, US$ 29,4 miliar. Empat tahun kemudian, utang luar negeri naik menjadi US$ 82,7 miliar, sedangkan cadangan devisa bertambah menjadi US$ 35,4 miliar. Perbandingannya dua kali lipat lebih. 

Jika rasio itu yang dipakai, terlihat bahwa tingkat utang kita memang semakin mengkhawatirkan. Melihat anggaran yang selalu defisit, muncul pula kesan kuat bahwa kita tak sanggup membayar cicilan utang tanpa harus berutang lagi. 

Bukan berarti pemerintah harus bersikap antiutang. Utang tetap diperlukan asalkan dikelola dengan benar dan hati-hati. Ini bisa dimulai dengan mengedepankan sikap jujur dalam menghitung utang.

Tidak ada komentar: