Rabu, 10 Juni 2009

Angka Bergaung Lebih Nyaring

Makmur Keliat

Anggaran\Pendapatan dan Belanja Negara bukan sekadar angka.

Besaran maupun struktur alokasi pembelanjaannya yang secara teknis kerap disebut dengan istilah belanja publik atau pemerintah (public atau government expenditure) dapat digunakan untuk menjadi alat ukur ketika menilai pola hubungan antara pemerintah dan masyarakatnya. Karena merupakan suatu pola, belanja pemerintah atau publik juga dapat digunakan untuk memproyeksikan berbagai perubahan yang mungkin dapat diharapkan pada masa depan.

Refleksi perjalanan APBN

Merujuk pada laporan Bank Dunia, Indonesia Public Expenditure Review 2007 maupun laporan Bank Pembangunan Asia, Outlook 2008, ada beberapa hal menarik untuk merefleksikan perjalanan APBN Indonesia sejak 2001 sekaligus memproyeksikannya pada masa depan.

Pertama, besaran belanja publik menunjukkan kecenderungan meningkat. Tahun 2001 sebesar Rp 353.561 triliun, sedangkan tahun 2007 menjadi Rp 793.176 triliun. Kecuali tahun 2001 ke 2002 yang menunjukkan penurunan drastis 14,6 persen, persentase peningkatan terjadi tidak secara drastis, tetapi cenderung berpola landai. Rata-rata peningkatan setiap tahun dari 2002 hingga 2007 sekitar 9,5 persen.

Kedua, meski terus menunjukkan peningkatan, total besaran belanja publik itu sebenarnya relatif kecil jika dihitung dalam dollar AS. Sebagai misal, total besaran belanja publik tahun 2007 yang sekitar 100 miliar dollar AS hanya sekitar seperdelapan nilai paket stimulus pemerintahan Obama sebesar 800 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, menarik mencatat laporan dari jurnal Military Balance 2008. Disebutkan, belanja pertahanan (military expenditure) China dan Jepang tahun 2007 sekitar 46 miliar dollar AS dan 41 miliar dollar AS. Ini berarti, untuk anggaran pertahanan saja, kedua negeri itu menghabiskan hampir 45 persen dari total belanja publik Pemerintah Indonesia. Karena itu, meski kita sering disebut sebagai kekuatan regional, dari sudut kemampuan ekonomi dan militer, Indonesia jauh tertinggal dari China dan Jepang.

Ketiga, jika diukur secara persentase terhadap kekuatan ekonomi nasional, total belanja pemerintah hanya pada kisaran di bawah 20 persen dari GDP. Artinya, 80 persen dari kekuatan ekonomi nasional masih berada di tangan masyarakat. Hanya sekitar 20 persen berada di tangan pemerintah. Masalahnya, distribusi 80 persen GDP di masyarakat itu tidak tersebar merata. Kita tahu ada 30 juta lebih penduduk Indonesia yang pendapatannya di bawah 2,0 dollar AS per hari. Kita juga tahu sejumlah pemimpin negeri ini memiliki kekayaan luar biasa melimpah. Yang menjadi teka-teki besar dan mengusik batin adalah apakah kekuatan APBN yang 20 persen dari GDP yang kini sedang diperebutkan partai politik di legislatif dan eksekutif itu dapat diandalkan untuk mengubah distribusi yang timpang dari 80 persen GDP di masyarakat itu.

Subsidi dan bunga

Keempat, struktur belanja publik dalam APBN 2001-2007 masih didominasi pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga yang disebut Bank Dunia sebagai belanja multisektor. Disebut belanja multisektor karena di dalamnya tercakup pengeluaran untuk pengembangan bisnis dan perdagangan. Sektor ini menjadi kategori belanja dominan karena porsinya amat besar dalam APBN. Tahun 2001 persentasenya 54,5 persen, lalu menurun hingga 37,2 persen tahun 2007. Penurunan ini disebabkan penurunan pembayaran bunga utang pada 2001 sebesar 25 persen, tetapi tahun 2006 menyusut menjadi 11 persen dan disebabkan berkurangnya subsidi harga energi. Namun, untuk memproyeksikan apakah pada tahun-tahun mendatang beban utang ini menunjukkan penurunan, masih teka-teki. Hal ini disebabkan laporan Bank Pembangunan Asia menunjukkan tidak stabilnya data tentang jumlah utang luar negeri Indonesia. Jika tahun 2004 sebesar 137 miliar dollar AS, angka ini menurun masing-masing menjadi 130 miliar dollar AS (2005) dan 128 miliar dollar AS (2006), tetapi tiba-tiba meningkat lagi menjadi 136 miliar dollar AS (2007).

Pendidikan dan kesehatan

Kelima, posisi kedua pengeluaran belanja publik pada 2007 ditempati sektor pendidikan, disusul belanja aparat pemerintah masing-masing 28 persen dan 13,3 persen. Angka ini meningkat dari persentase sebelumnya pada 2001, masing-masing 11,4 persen dan 9,0 persen pada 2001. Meski demikian, harus dicatat, menurut Bank Dunia, peningkatan belanja di sektor pendidikan belum berhasil mengurangi gap pendidikan antarwilayah antara lain karena sebaran guru yang tidak merata.

Keenam, sektor yang mendapat perhatian paling kecil adalah pertanian dan kesehatan. Meski 40 persen penduduk Indonesia hidup di sektor pertanian, alokasi belanja publik untuk sektor ini hanyalah 2,8 persen tahun 2006, artinya hanya meningkat 1,0 persen dari tahun 2001. Untuk sektor kesehatan meningkat lebih tinggi 2,6 persen (2001) menjadi 4,9 persen pada 2007. Namun, harus dicatat, investasi Pemerintah Indonesia di sektor kesehatan termasuk yang terendah di kawasan Asia Timur sekaligus menunjukkan besarnya peran swasta pada sektor ini, tetapi dengan kualitas kontrol amat terbatas.

Apa artinya?

Apakah arti angka-angka itu dalam kehidupan politik? Jawabannya sederhana. Siapa pun yang sedang berkampanye dalam pemilu presiden dan wakil presiden saat ini, dan siapa pun yang kelak menjadi pemenang, tampaknya akan sulit meloloskan diri dari angka-angka belanja publik secara sektoral ini. Mereka harus mengambil sikap. Sikap itu adalah apakah semua pasangan yang sedang berkompetisi akan dapat mengubah secara substansial pola-pola belanja publik dalam lima tahun mendatang atau pilihan lain, mereka akan tetap melestarikannya.

Ringkasnya, kita jangan mudah terpesona untaian kata dalam masa kampanye. Ingat ungkapan, angka biasanya bergaung lebih nyaring daripada kata-kata.

MAKMUR KELIAT Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia

Tidak ada komentar: